Liputan6.com, Jakarta - Pakar Komunikasi Politik Effendi Gazali mengatakan tak ingin Pemilu 2019 berakhir dengan calon tunggal. Karena itu, dia melakukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut dia, dengan keberadaan Pasal 222 UU Pemilu tentang ambang batas calon Presiden, justru akan menimbulkan calon tunggal. Yang dipandangnya hilangnya hak konstitusional dalam menentukan pemimpin.
Adapun agenda yang digelar hari ini, dengan nomor perkara 59/PUU-XV/2017, adalah perbaikan permohonan.
Advertisement
Selain Effendi, turut yang menggugat adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan nomor perkara 60/PUU-XV/2017, kemudian Partai Aceh dan Samsul Bahri dengan nomor perkara 61/PUU-XV/2017, dan Partai Perindo dengan nomor perkara 62/PUU-XV/2017.
"Jelas ada kerugian nyata yang sudah terjadi. Ada kerugian potensial, misalnya ada calon pilihan kita jadi terbatas. Padahalkan demokrasi kan intinya banyak atau memadainya calon-calon. Masa demokrasi, calon tunggal. Itu kan susah dibayangkan," kata Effendi di Gedung MK, Jakarta, Senin (18/9/2017).
Menurut dia, jelas dengan adanya calon tunggal. Akan membahayakan proses demokrasi di Indonesia. Baik proses tersebut memang terjadi secara alami atau by design alias intervensi dari si calon.
"Kalau dia mengarah ke calon tunggal, apakah dengan desain alami atau dengan intervensi, itu akan membayakan demokrasi kita," tutur Effendi.
Saksikan video menarik di bawah ini:
Terkesan Manipulatif
Selain itu, masih kata dia, ambang batas presiden yang mengacu pada hasil 2014, terkesan manipulatif. Harusnya bisa diterapkan di Pemilu 2024.
"Enggak bisa digunakan pada Pemilu 2019, baru bisa 2024. Karena waktu saya memilih di 2014, kan enggak dikasih tahu kalau ini kan digunakan untuk presidential threshold. Kalau enggak dikasih tahu, berarti itu manipulatif. Ini membohongi kita".
"Ini enggak pernah ada di negara demokrasi, kalau anda sudah milh, eh tahu-tahunya digunakan untuk yang lain," tandas Effendi.
Advertisement