Pernah Dibatalkan MK, Ini Beda Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP

Pasal penghinaan presiden sebelumnya pernah dibatalakan Mahkamah Konstitusi. Namun, kembali masuk dalam RUU KUHP.

oleh Yunizafira Putri Arifin Widjaja diperbarui 07 Feb 2018, 15:39 WIB
Diterbitkan 07 Feb 2018, 15:39 WIB
Ilustrasi penghinaan presiden
Ilustrasi

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Panja Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Adies kadir mengatakan, terdapat perbedaan isi pasal penghinaan presiden yang saat ini terus digodok dengan pasal yang sebelumnya telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Perbedaan paling signifikan terdapat pada perubahan delik dalam pasal tersebut. Delik hukum yang digunakan saat ini merupakan delik aduan, bukan delik umum seperti dalam pasal yang dibatalkan MK.

"Jadi ini tidak seperti yang lalu. Ini delik aduan. Jadi perbedaannya dengan kemarin ini kita kunci dengan delik aduan," ungkap Adies ditemui di Gedung DPP Partai Golkar, Jakarta Selatan, Rabu (7/2/2018).

Dengan perubahan delik ini, maka jika presiden dan wakil presiden merasa namanya dicemarkan, ia harus melaporkannya. Jadi, pilihan untuk membuat laporan atau tidak berada di tangan presiden dan wakil presiden.

"Sekarang kan tinggal presiden kita beliau mau lapor enggak," sebut Adies.

Meski begitu, ia menegaskan bukan berarti presiden ataupun wapres tidak boleh dikritik atau tidak boleh diberi masukan. Hanya saja ia menyatakan, sepantasnya pemimpin negara dihormati.

"Kalau adek-adek mahasiswa demo, itu tidak masalah. Misalnya kaya kemarin, disemprit kartu kuning. Itu kan kritik membangun," Adies berpendapat.

Ia pun meyakini pasal tersebut semata-mata untuk memenuhi hak presiden. Jikapun pasal tersebut telah disahkan, presiden maupun wakil presiden diyakininya tidak akan menggunakan haknya secara semena-mena atau tanpa pikir panjang.

"Presiden juga akan berpikir, kita yakin bahwa presiden tidak semena-mena atau dengan gampang menggunakan haknya," ujarnya.

Perdebatan Lama Hukuman

Mengenai lama hukuman, sebelumnya Anggota Panja RUU KUHP lainnya yakni Arsul Sani telah menjelaskan, mengapa lama humuman masih juga belum ditetapkan. Ia menyebutkan, jika tetap dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara, maka dapat memberikan ruang kepada pihak polisi untuk langsung menahan seseorang yang dianggap menghina presiden ataupun wakilnya.

Ia ingin masa ancaman hukuman diturunkan. Gunanya, kata dia,agar dapat mengurangi daya represi dari pasal tersebut.

"Kalo ancaman pidana 5 tahun atau lebih, penyidik bisa memiliki kewenangan untuk menahan, itu yang kami gak mau. Cuma kemarin belum sepakat, akan diangkat di panja," jelasnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya