Liputan6.com, Jakarta Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menegaskan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bisa jadi pahlawan dalam mengawal perubahan.
"Syaratnya harus menjadi pemberani. Berani bersuara dalam rangka menjaga keutuhan NKRI, dalam menghadapi dunia yang berubah sangat cepat, kompleks dan penuh risiko," kata Moeldoko di acara Hari Penyiaran Nasional di Palu, Sulawesi Tengah, Senin (2/4/2018).
Sekarang ini, menurut Moeldoko, masyarakat sering diombang-ambingkan dengan informasi yang simpang siur dan tidak benar.
Advertisement
Contohnya, seringkali Pemerintah dituding hanya membangun fisik, membangun infrastruktur saja.
"Padahal, jika dipahami lebih jauh, dalam pembangunan fisik dan infrastruktur, di dalamnya terkandung upaya membangun konektivitas, membangun mentalitas masyarakat, membangun peradaban manusia," kata Moeldoko melalui pesan tertulis.
Di tempat yang sama, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, penyiaran yang sehat hanya bisa diwujudkan jika industrinya sehat. Bisnisnya harus berjalan baik dan berkualitas.
Menurut catatan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rudi mengatakan, terdapat 2.673 izin yang sudah beroperasi.
"Sekitar 1.100 adalah izin siaran televisi, dan sekitar 1.600 izin radio, termasuk LPP dan LPK. Pemerintah moratorium izin baru, karena peduli dengan keberlangsungan industri penyiaran yang sudah ada. Pemerintah bertugas membina supaya industrinya dapat berkelanjutan," jelas Rudiantara.
Industri penyiaran sekarang sedang menuju ke arah digital, dan potensinya luar biasa besar. Nilainya sekitar 39,9 miliar USD atau sekitar Rp 500 triliun dalam 7 tahun ke depan.
"Selain itu akan terbuka lapangan pekerjaan baru, peningkatan pajak dari industri penyiaran digital. Ada kurang lebih 230 ribu lapangan kerja baru dari industri penyiaran digital ini," kata Rudiantara.
Masih Ada PR
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Yuliandre Darwis menjelaskan, bahwa perubahan teknologi dan komunikasi telah mengubah cara masyarakat mengonsumsi informasi.
Menurutnya, penyiaran Indonesia masih meninggalkan pekerjaan rumah terkait revisi Undang-undang Penyiaran No 32 tahun 2002, status anggaran dan sebagainya.
"Di sisi lain, ujaran kebencian, siaran yang berorientasi rating menjadi dewa, juga masih menjadi pekerjaan rumah penyiaran kita. Kita tidak bisa menyalahkan industri. Juga tidak bisa saling menyalahkan, tetapi kita harus mencari solusi bersama," ujar Yuliandre.
Advertisement