Dewan Pers Imbau Media Tak Overdosis Beritakan Terorisme

Stanley menuturkan, pemberitaan terorisme yang overdosis itu dapat membuat penonton bingung dan khawatir akan keadaan.

oleh Yunizafira Putri Arifin Widjaja diperbarui 17 Mei 2018, 08:27 WIB
Diterbitkan 17 Mei 2018, 08:27 WIB
Bom Meledak di Markas Polrestabes Surabaya
Aparat kepolisian mengambil posisi saat melakukan penjagaan menyusul serangan bom bunuh diri di Polrestabes Surabaya, Senin (14/5). Seluruh akses menuju Mapolrestabes ditutup total dan tiap jalur dijaga polisi bersenjata laras panjang (AFP/JUNI KRISWANTO)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo mengimbau media massa untuk tidak overdosis dalam memberitakan berita terorisme. Pemberitaan berlebihan terorisme justru dapat menyampaikan pesan dari terorisme itu sendiri.

"Ya harus hati-hati. Kami mengingatkan temen-teman media jangan terlalu overdosis dalam pemberitaan," kata Stanley di Kantor Kemkominfo, Jakarta Pusat, Rabu 16 Mei 2018. 

Stanley menuturkan, pemberitaan terorisme yang overdosis itu dapat membuat penonton bingung dan khawatir akan keadaan. Padahal, bisa jadi peristiwa yang diperlihatkan itu telah terjadi kemarin.

"Jadi jangan berlebihan, jangan memberitakan live.  Boleh saja breaking news, ya artinya update saja dari peristiwa-peristiwa yang ditemukan korbannya, yang tadi masih hidup dibawa ke rumah sakit lalu meninggal, seperti itu. Jangan siaran terus menerus, kamera diarahkan ke situ," tuturnya.

Dia juga mengingatkan, untuk tidak menyiarkan berita dalam bentuk video yang berulang tanpa ada teks yang menerangkan waktu terjadinya. 

"Ada pukul sekian, tanggal berapa itu penting dalam video. Kenapa? Karena memori itu akan ingat dalam orang 'oh ini ada bom lagi baru'," kata dia.

 

Bukan Membatasi

Pria Mencurigakan di Area Mapolrestabes Surabaya
Mobil lapis baja milik kepolisian menuju Mapolrestabes Surabaya setelah terjadinya serangan bom bunuh diri, Jawa Timur, Senin (14/5). Polisi mendata ada 10 korban luka dalam tragedi bom bunuh diri di Markas Polrestabes Surabaya. (AP Photo/Achmad Ibrahim)

Namun, Stanley menegaskan, bukan berarti berita tersebut harus diminimalisir. Kata dia, bisa dengan cara meningkatkan profesionalitas dengan mentaati kode etik jurnalistik.

"Misalnya begini, ditemukan ada bom di Palmerah. Yang muncul adalah gambar-gambar anggota TNI yang mengepung, kemudian blokir oleh polantas supaya tidak boleh lewat dan seterusnya. Padahal di sana karton itu mungkin isinya Indomie," tegas Stanley.

Dia juga menegaskan, agar semua media klarifikasi dan verifikasi dulu sebelum berita itu naik ke publik. Salah satunya dia mencontohkan, seringnya terjadi pemberitaan mengenai kepanikan masyarakat namun belum tau apakah kepanikan itu bersumber dari persoalan yang jelas atau tidak. Menurut Stanley, ini justru dapat membuat masyarakat luas ikut panik.

"Di sinilah butuh profesionalisme wartawan. Cek dulu datanya, bila perlu di delay (beritanya) untuk 5 menit 10 menit, tapi kita mendapatkan kepastian bahwa ini konyol aja ulahnya orang-orang iseng," tegasnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya