Johannes Kotjo Mengaku Telah Keluarkan Rp 10 M untuk Proyek PLTU Riau-1

Ia mengaku menyesal pemberian uang Rp 4,75 miliar kepada Eni masuk dalam kategori tindak pidana korupsi berupa suap.

oleh Liputan6.com diperbarui 18 Des 2018, 17:05 WIB
Diterbitkan 18 Des 2018, 17:05 WIB
Kasus PLTU Riau-1, Johannes Budisutrisno Kotjo Dituntut Empat Tahun Penjara
Terdakwa dugaan suap pembangunan PLTU Riau-1, Johannes Budisutrisno Kotjo saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (26/11). Sidang mendengar pembacaan tuntutan dari JPU KPK. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo mengaku telah menggelontorkan Rp 10 miliar untuk proyek PLTU Riau-1, meski pada akhirnya proyek senilai USD 900 juta itu dihentikan sementara waktu. Proyek itu dihentikan akibat adanya proses hukum yang melibatkan Kotjo dan Eni Maulani Saragih, mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR.

Pengakuan itu ia utarakan saat memberi keterangan sebagai saksi untuk terdakwa Eni Maulani Saragih di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.

"Anda sudah keluarkan berapa dari proyek ini?" tanya hakim Anwar kepada Kotjo, Selasa (18/12/2018).

"Sudah Rp 10 miliar yang mulia," jawab Kotjo.

Ia pun mengaku menyesal jika pemberian uang Rp 4,75 miliar kepada Eni masuk dalam kategori tindak pidana korupsi berupa suap. Dalam kasus ini, Eni bertindak sebagai fasilitator sekaligus penyambung lidah antara pihak Kotjo dengan PLN.

Adanya Eni dalam pusaran suap tersebut sebab Kotjo meminta bantuan Setya Novanto sebagai Ketua DPR atas kesulitannya berkomunikasi dengan pihak PLN untuk mempertanyakan penyediaan listrik di Riau ke dalam rancangan usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL).

Pada 2015 anak perusahaan Blackgold Natural Resources (BNR), Samantaka mengirim surat permohonan proyek pengadaan listrik di Riau ke PLN. Namun tak ada respons.

Kotjo kemudian mengadu ke Novanto yang tak lain adalah teman lamanya. Mendapat keluhan tersebut Novanto kemudian mengutus Eni untuk mengawal Kotjo dalam menggarap proyek di PLN.

"Kalau itu dianggap sebagai suap saya menyesal. Tapi saya itu sering membantu seperti itu," kata Kotjo.

Ia juga menjelaskan, keuntungan sama rata yang dia peroleh dengan Novanto karena Kotjo masih memiliki sumber keuntungan lainnya dari proyek PLTU Riau-1, yakni kepemilikan saham Blackgold Natural Resources (BNR). Perusahaan itu merupakan perusahaan yang turut serta dalam proyek tersebut.

"Untuk Anda fee agency USD 6 juta, Pak SN juga USD 6 juta, kok sama besar?" tanya jaksa kepada Kotjo.

"Sebenarnya saya lebih dari itu, karena saya punya saham di Blackgold harga saham pasti naik otomatis saya dapat lebih dari USD 6 juta. Saya keuntungannya dua, dari USD 6 juta (fee agency) itu plus harga saham yang diprediksi akan naik jadi saya sebenarnya saya dapat banyak," jawab Kotjo.

 

Uang untuk Eni Saragih

Eni merupakan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR yang membidangi energi dan kelistrikan. Mitra Komisi VII DPR di antaranya adalah PLN.

Melalui campur tangan Eni, atas perintah Novanto, Kotjo berhasil melakukan beberapa pertemuan dengan Direktur Utama PT PLN Persero, Sofyan Basir dan Direktur Pengadaan Strategis II PLN, Iwan Supangkat. Dampak dari beberapa pertemuan itu, salah satunya adalah masuknya proyek pengadaan listrik di Riau ke RUPTL di tahun 2017.

Selama pembahasan tersebut, Eni menerima sejumlah uang dari Kotjo. Penerimaan pertama sebesar Rp 2 miliar pada Bulan Desember 2017 untuk kepentingan Munaslub Golkar. Selanjutnya, mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR itu kembali menerima Rp 2 miliar dari Kotjo untuk kepentingan Pilkada suaminya, di Temanggung.

Eni kembali menerima Rp 250 juta melalui anak buah Kotjo, beberapa hari kemudian uang kembali diterima Eni sebesar Rp 500 juta. Penerimaan uang-uang itu masih untuk keperluan biaya kampanye Pilkada sang suami dan keperluan pribadi Eni.

Dalam kasus ini, uang tersebut dianggap sebagai pelicin bagi Eni agar ia membantu Kotjo mendapat proyek PLTU Riau-1. Peran Eni di sini sebagai fasilitator sekaligus penyambung lidah antara Kotjo dengan pihak PLN.

Atas penerimaan itu, ia didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

 

Reporter: Yunita Amalia

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya