Liputan6.com, Jakarta - Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menegasakan penetapan status tersangka pada aktivis HAM Robertus Robet adalah wewenang pihak kepolisian. Menurut dia, pemerintah tak bisa ikut campur.
"Terhadap apa yang pada akhirnya mengarah pada tindakan-tindakan yang melawan hukum, itu di luar domain kami. Itu sepenuhnya domain tugas kepolisian, kami tidak bisa ikut campur," ujar Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat 8 Maret 2019.
Baca Juga
Mantan Panglima TNI itu menilai bahwa penetapan tersangka pada Robertus bukanlah sebuah ancaman berekspresi. Moeldoko memastikan negara memberikan tempat seluas-luasnya untuk siapapun berekspresi, termasuk kritik.
Advertisement
"Kalau sifatnya kritik membangun presiden dengan sangat terbuka. KSP membuka seluas-luasnya, silakan ngomong apa saja kami dengarkan. Tidak ada kami alergi dan membatasi cara berekspresi," kata dia.
Moeldoko meminta masyarakat untuk membedakan saat menyampaikan ekspresinya, mana kritik yang membangun dan yang melanggar Undang-Undang. Jangan sampai, kata dia, masyarakat menyampaikan kritik tanpa berpikir panjang terlebih dahulu.
"Jangan ada kecenderungan sekarang ini ngomong aja, begitu kena semprit minta maaf. Kedua kecenderungan tidak mengaku," tuturnya.
Seperti diketahui, Robertus ditangkap setelah penggalan videonya diduga menghina TNI viral di media sosial. Nyanyian Robertus yang dinilai menghina TNI itu diduga dilakukan saat Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka pada Kamis 28 Februari 2019.
Dalam perkara ini, dosen Universitas Negeri Jakarta itu dipersangkakan dengan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum di Indonesia. Meski begitu, polisi tidak menahan Robertus karena ancaman hukumannya di bawah lima tahun.