Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti upaya penegak hukum dalam mengembalikan aset negara pada kasus korupsi. ICW menyebut, pengembalian aset negara dari kasus korupsi belum maksimal.
Berdasarkan catatan ICW, pada tahun 2018 negara mengalami kerugian sebesar Rp 9,2 triliun berdasarkan 1.053 putusan yang dikeluarkan pengadilan terhadap 1.162 terdakwa. Sementara pengembalian aset negara dari pidana tambahan uang pengganti hanya Rp 805 miliar dan USD 3.012 (setara Rp 42 miliar).
"Maka hanya sekitar 8,7 persen kerugian negara yang diganti melalui pidana tambahan berupa uang pengganti," ujar Peneliti ICW Lalola Easter di kantornya, Jakarta Selatan, Minggu (28/4/2019).
Advertisement
Selain itu, ICW juga menyoroti masih rendahnya pengadilan memvonis para koruptor dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Padahal penerapan UU TPPU merupakan salah satu upaya penjeraan terhadap koruptor melalui mekanisme pemiskinan.
Â
Maksimalkan Pidana Tambahan
Di sisi lain, alternatif yang ingin ditempuh melalui penggunaan pasal gratifikasi (Pasal 12 B UU Tipikor) juga dinilai belum maksimal. Pada tren vonis perkara korupsi tahun 2018, hanya ada 62 terdakwa dari total 1.162 yang dituntut dan divonis dengan pasal gratifikasi.
Karena itu, ICW menyarankan agar para penegak hukum bisa memaksimalkan pidana tambahan tersebut. Selain untuk membuat jera koruptor, juga untuk memaksimalkan pengembalian kerugian negara.
Menurut Lola, penegak hukum, seperti Kejaksaan dan KPK harus memaksimalkan tuntutan pidana tambahan berupa uang pengganti. Meski uang hasil korupsi tak semuanya dinikmati terdakwa, harus ada perhitungan yang jelas mengenai aliran dana tersebut.
"Dengan demikian, perumusan dakwaan dengan menggunakan UU TPPU semakin relevan, agar mekanisme asset recovery bisa dilakukan dengan maksimal," ucap Lalola.
Advertisement