Perjalanan Panjang Revisi UU KPK hingga Disahkan DPR

Pro dan kontra muncul di masyarakat sebelum revisi Undang-Undang atau UU KPK akhirnya disahkan oleh DPR.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Sep 2019, 18:28 WIB
Diterbitkan 17 Sep 2019, 18:28 WIB
DPR Sahkan Revisi UU KPK
Wakil Ketua DPR selaku Pimpinan Sidang Fahri Hamzah mengetuk palu dalam sidang paripurna ke-9 Masa Persidangan I 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (17/9/2019). Rapat Paripurna DPR menyetujui Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - DPR akhirnya resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK menjadi undang-undang dalam sidang paripurna yang digelar hari ini, Selasa (17/9/2019).

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah selaku pimpinan sidang mengetuk palu pengesahan setelah anggota dewan lainnya menyatakan setuju. Tiga kali Fahri menegaskan persetujuan terhadap revisi UU KPK menjadi undang-undang.

"Apakah pembicaraan tingkat dua pengambilan keputusan terhadap rancangan UU tentang perubahan kedua atas UU 30/2002 tentang KPK, dapat disetujui dan disahkan menjadi UU?" ujar Fahri dalam sidang paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat.

"Setuju," jawab anggota dewan serentak.

Namun jauh sebelum akhirnya disahkan oleh DPR, perjalanan revisi UU KPK menjadi undang-undang cukup panjang. Pro dan kontra muncul di masyarakat. Bagi yang menentang, revisi tersebut dianggap sebagai upaya melemahkan KPK.

Perlawanan juga berasal dari KPK. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menegaskan, pihaknya akan melawan segala upaya pelemahan KPK. 

Berikut perjalanan panjang revisi UU KPK hingga akhirnya disahkan oleh DPR menjadi undang-undang dihimpun Liputan6.com:

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Asal Muasal Usulan Revisi UU KPK

Banner Infografis Poin-Poin Krusial Revisi UU KPK
Banner Infografis Poin-Poin Krusial Revisi UU KPK. (Liputan6.com/Abdillah)

Revisi UU KPK mendapat banyak kritik. DPR dituding ingin melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terlebih, tak ada gembar-gembor saat revisi ini diusulkan dalam rapat.

Sejumlah anggota DPR menuding balik jika usulan revisi tersebut bukan berasal dari legislator. Justru, revisi UU KPK diusulkan oleh pihak lembaga antirasuah.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan menyebut usulan itu datang sejak November 2015.

"DPR selalu disudutkan, disalahkan. Padahal kami hanya merespons keinginan KPK sendiri," kata Arteria di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat.

Mendengar pemaparan Arteria, mantan Ketua KPK Abraham Samad menyatakan pada November itu sudah tidak lagi menjabat. Pimpinan KPK saat itu dipimpin oleh seorang Plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki.

Oleh karena itu, dia akan meminta Ruki untuk mempertanggungjawabkan usulan tersebut.

"Kita nanti minta pertanggungjawaban Plt dalam hal ini Pak Ruki, karena apa yang dilakukan itu melanggar," ucap Samad.

Dia mengatakan, seorang Plt tidak bisa mengeluarkan kebijakan krusial, terlebih mengusulkan revisi UU KPK. "Enggak benar plt-nya," ucap Samad.

Sementara itu, Taufiequrachman Ruki membantah pernah mengusulkan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) kepada DPR, saat menjadi Plt Ketua KPK periode 2011-2015. Saat itu dia memimpin KPK untuk menggantikan Abraham Samad.

Ruki mengatakan, surat yang dia buat saat itu merupakan jawaban pimpinan KPK atas surat Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang meminta pendapat KPK terkait revisi UU KPK.

"(Surat ini) ditandatangani kami berlima. Tidak cuma Taufiek sendiri, tapi lima pimpinan. Apa jawaban kami terhadap surat itu? Pertama pada prinsipnya kami pimpinan KPK tidak setuju keinginan beberapa anggota DPR untuk merevisi UU KPK," ujar Ruki dikonfirmasi, Jakarta.

Ruki menjelaskan, KPK menyarankan pemerintah dan DPR supaya melakukan revisi terhadap UU Tipikor, KUHP, dan KUHAP lebih dahulu sebelum merevisi UU KPK. Apabila melakukan revisi pun, harus demi agenda menguatkan KPK.

"Terhadap rumusan substansi di atas, KPK berharap pemerintah bisa pertahankan usul KPK," ucap Ruki.

 

Poin-Poin Revisi UU KPK

Infografis Poin-Poin Krusial Revisi UU KPK
Infografis Poin-Poin Krusial Revisi UU KPK. (Liputan6.com/Abdillah)

DPR telah menyetujui revisi UU KPK sebagai usulan dewan dalam sidang paripurna, Kamis, 5 September 2019. Ada enam poin yang sudah disepakati oleh DPR dalam revisi tersebut.

1. Kedudukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), sebagai lembaga penegak hukum yang berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan. Meskipun KPK merupakan bagian dari cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan, namun dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK bersifat independen. Pegawai KPK merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tunduk kepada peraturan perundang- undangan di bidang aparatur sipil negara.

2. KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dapat melakukan penyadapan. Namun pelaksanaan penyadapat dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas KPK.

3. KPK selaku lembaga penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia (integrated criminal justice system). Oleh karena itu, KPK harus bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.

4. Di dalam upaya meningkatkan kinerja KPK di bidang pencegahan tindak pidana korupsi, setiap instansi, kementerian dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara sebelum dan setelah berakhir masa jabatan.

5.. KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diawasi oleh Dewan Pengawas KPK yang berjumlah 5 (lima) orang. Dewan Pengawas KPK tersebut, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dibantu oleh organ pelaksana pengawas

6. KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama (satu) tahun. Penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas dan diumumkan kepada publik. Penghentian penyidikan dan penuntutan dimaksud dapat dicabut apabila ditemukan bukti baru yang berdasarkan putusan praperadilan.

 

Mereka yang Mendukung

20170317- Forum Rektor dan Guru Besar Hadiahi KPK Lentera-Jakarta- Helmi Afandi
KPK menggelar konferensi pers usai menerima perwakilan dari Forum Rektor dan Guru Besar Antikorupsi, Jakarta, Jumat (17/3). Forum tersebut memberikan dukungan kepada KPK dan menolak revisi UU KPK. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang sempat menyatakan mendukung revisi UU KPK. Namun dia meminta, revisi tersebut harus memperkuat KPK secara kelembagaan, misalnya dengan menambah jumlah deputi.

"Banyak yang mendukung revisi. Saya juga termasuk, revisi yang memperkuat KPK. Seperti contoh sederhana, tambahin deputinya satu lagi. Saya pengin Deputi Penindakan ditambah lagi unit-unitnya," katanya di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.

Menurut Saut, lembaga lain memiliki deputi hingga sembilan. Sementara deputi di KPK tak sampai angka tersebut, sehingga harus ditambah agar kinerjanya lebih optimal. Selain itu jumlah personel di KPK kurang dari 2 ribu orang.

"Kita berharap kepada rakyat karena KPK tidak bisa berdiri sendiri. Kami hanya kurang dari 2 ribu orang. Kalau rakyatnya minta seperti itu ya pejuang KPK tidak akan pernah berhenti. Karena kami digaji sesuai UU KPK. Kami digaji dengan kode etik KPK. Kita akan terus berjuang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di KPK," jelasnya.

Saut merespons pendapat yang mengatakan UU KPK sudah terlalu lama sehingga perlu direvisi. Dia mengatakan, UU yang ada saat ini membuat KPK bisa melakukan penangkapan lima hingga 10 orang per hari. Ada sekitar 6 ribu surat pengaduan di KPK dan 30 persennya berpotensi terjadi korupsi.

"Jadi yang kita lakukan OTT kurang dari 200 itu, orang bilang KPK OTT terus. OTT itu kurang dari setengah dari penindakan kita. Dari seribu lebih yang sudah kita penjarakan, kurang 200 yang OTT. Jadi lebih banyak di pencegahan. Jadi Deputi Pencegahannya kita bagi lagi khusus Deputi LHKPN dan sebagainya. Pokoknya yang memperkuat harus kita terima tapi bukan untuk memperlemah," jelasnya.

Kader muda Nahdlatul Ulama (NU) juga mendukung rencana revisi Undang-Undang (UU) KPK Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di DPR RI.

Perwakilan kader muda NU Gus Soleh Marzuki menjelaskan, dukungan itu diberikan lantaran rencana revisi UU tersebut dinilai tidak membuat kewenangan lembaga antirasuah itu menjadi lemah dalam menindak praktik korupsi di Indonesia.

"Mengenai revisi UU KPK berpendapat menyepakati sebab khususnya mengenai pengawasan disini. Kalau pengawasan untuk menuju suatu bentuk kesempurnaan. Bukan melemahkan KPK," kata Gus Soleh dalam jumpa pers di Swiss-Bellhotel, Kalibata, Jakarta Selatan.

Ketua Jamaah Pengajian Kebangsaan (JPK) itu juga menuturkan, adanya dewan pengawas yang bertugas untuk melakukan pengontrolan terhadap KPK adalah hal yang justru baik untuk kinerja lembaga antirasuah kedepannya.

Permasalahannya, kata dia, wacana dewan pengawas itu dibentuk opini sebagai salah satu upaya pelemahan.

Menurut Gus Soleh, idealnya setiap organisasi atau lembaga memang memiliki dewan pengawas. Bahkan, dia mencontohkan, di NU pun memiliki struktur pengawasan.

"Lemahnya masyakarat kita umumnya tidak mau membaca secara tuntas. Dan banyak terkesan dengan adanya revisi ini melemahkan. Bicara pengawasan ini penting. Jadi kita saling menasehati. Di dalam organisasi NU ada pelaksana dan ada penasehat atau pengawas," tutur dia.

Disisi lain, Gus Soleh mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk tidak mudah termakan dengan opini bahwa revisi UU KPK justru melemahkan kinerja lembaga antikorupsi tersebut.

"Tidak usah khawatir bacalah revisi ini. Jangan mendengar dan membaca dengan sempurna diajak ikut demo. Pengawasan penting. Di lembaga keagamaan saja baik NU, muhammadiyah maupun MUI itu ada pelaksana dan pengawas. Tujuannya pengawas agar bekerja lebih profesional dan maksimal," tutup dia.

 

Mereka yang Menolak

Tolak Revisi RUU KPK
Pegawai KPK membawa poster saat menggelar aksi di Lobi Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat (6/9/2019). Dalam aksi menolak revisi UU KPK tersebut, mereka mengenakan baju serba hitam lengkap dengan masker penutup mulut dan memasang KPK Lines di sekitar pintu masuk. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Jumat siang, 6 September 2019, ratusan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkumpul di depan pintu masuk kantor mereka di Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan.

Mengenakan pakaian serba hitam, pegawai komisi antirasuah ini membawa poster bertuliskan kalimat perlawanan terhadap rencana DPR merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Hanya ada satu kata kawan-kawan, lawan!" kata Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo di depan rekan-rekannya.

"Lawan," teriak seluruh pegawai KPK sembari mengepalkan tangan ke atas.

Aksi ini merupakan puncak dari kekecewaan KPK atas sikap DPR dalam sidang paripurna sehari sebelumnya yang menyetujui rencana revisi UU KPK. Enam poin revisi yang digagas DPR itu dari kacamata KPK tak lain adalah upaya pelemahan dan pemangkasan kewenangan yang mereka punyai.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Arif Nur Alam mengatakan, revisi undang-undang mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disepakati DPR merupakan bentuk serangan legislatif terhadap KPK.

"Hal ini (merupakan) bentuk legislation attack terhadap KPK. Upaya melemahkan KPK sudah dilakukan dengan berbagai metode-metode yang lain. Kita masih ingat upaya itu menggunakan hak angket," kata Arif di Kantor Transparansi Internasional Indonesia.

Menurutnya, hal itu jelas merupakan upaya dari legislatif untuk melumpuhkan lembaga antirasuah itu. Upaya lain di luar legislatif pun, kata Arif, kerap ditunjukkan terhadap lembaga tersebut. Dia mencontohkan, teror terhadap para petinggi KPK juga merupakan salah satunya.

"Laporan terhadap KPK (kriminalisasi). Dan menyiapkan (memasukkan) petinggi KPK dari orang-orang kepolisian," ucap Arif.

Ratusan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga menyatakan penolakan terhadap revisi UU KPK.

"Sivitas LIPI yang bertanda tangan di bawah ini menentang setiap upaya yang berpotensi mengancam independensi dan melumpuhkan kinerja KPK melalui usulan revisi UU KPK," kata Peneliti LIPI Dian Aulia.

Penolakan tersebut didasarkan pada kekhawatiran mereka terhadap beberapa pasal yang akan dimasukkan ke dalam revisi. Menurut Dian, pasal-pasal tersebut berpotensi mengancam dan melemahkan lembaga antikorupsi itu.

"Kami mendesak Presiden Joko Widodo agar menolak revisi UU KPK yang bertujuan meniadakan independensi dan melumpuhkan kinerja KPK," tegas Dian.

Dian khawatir, UU tersebut nantinya bisa membuat KPK dapat menghentikan penyidikan dengan mengeluarkan SP3. Selain itu, kewenangan penuntutan bisa dihilangkan, pembentukan dewan pengawas dipilih oleh DPR, dan beberapa hal lain yang dianggap dapat mendisfungsikan KPK.

Beberapa peneliti yang turut menandatangani petisi penolakan ialah Syamsuddin Haris, Dewi Fortuna Anwar, Sarah N. Siregar, dan 146 orang ilmuwan lainnya.

Menurut Dian, jumlah tersebut masih bisa bertambah karena pihaknya akan terus membuka kesempatan bagi ilmuwan lain untuk ikut serta menentukan posisi penolakannya.

 

Presiden Jokowi Minta Banyak Masukan

Presiden Jokowi Beri Keterangan Terkait Revisi UU KPK
Presiden Joko Widodo didampingi Kepala Staf Kepresiden Moeldoko dan Mensesneg Pratikno menyampaikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Jokowi menyatakan mendukung sejumlah poin dalam draf revisi UU KPK. (Liputan6.com/HO/Kurniawan)

Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengaku telah meminta masukan dan pendapat dari para pakar serta menteri terkait mengenai revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Undang-Undang KPK.

Menurut dia, masukan dari para pakar tersebut sangat penting agar dirinya memiliki gambaran saat melihat Daftar Inventaris Masalah (DIM).

"Sudah mulai sejak hari Senin, sudah kita maraton minta pendapat para pakar, kementerian, semuanya secara detail, sehingga begitu DIM nanti kita lihat, saya sudah punya gambaran," jelas Jokowi di Ji-Expo Kemayoran Jakarta Pusat, Rabu, 11 September 2019.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan bahwa dirinya baru menerima DIM revisi UU KPK dari Menkumham pada Rabu pagi. Jokowi akan mempelajarinya sebelum mengirimkan surat presiden (surpres) ke DPR.

"Saya pelajari hari ini. Pelajari dulu. Secepat-cepatnya. Kita ini baru melihat DIM-nya dulu. Nanti kalau surpres kita kirim, besok saya sampaikan. Nanti materi-materi apa yang perlu direvisi," kata Jokowi.

Tak butuh waktu lama, Jokowi pun meneken Surat Presiden (Surpres) terkait revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Menurut Menteri Sekretaris Negara Pratikno, surat tersebut sudah diberikan kepada DPR untuk segera dimulai pembahasan.

"Surpres Revisi UU KPK sudah diteken Presiden dan sudah dikirim ke DPR ini tadi. Intinya bahwa nanti Bapak Presiden jelaskan detail seperti apa," kata Pratikno di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (11/9/2019).

Pratikno menjelaskan, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sedang disusun. Dan setelah rampung akan dikirim ke DPR.

"Tapi bahwa DIM yang dikirim pemerintah banyak merevisi draf yang dikirim DPR," ungkap Pratikno.

Dia menjelaskan, mantan Gubernur DKI Jakarta ingin terus menjaga marwah KPK yang independen dalam pemberantasan korupsi. Sebab itu, menurut dia, Jokowi akan secepatnya menjelaskan secara rinci isi DIM tersebut.

"Pemerintah sekali lagi, presiden katakan KPK adalah lembaga negara yang independen dalam pemberantasan korupsi, punya kelebihan dibandingkan lembaga lainnya. Sepenuhnya Presiden akan jelaskan lebih detail. Proses saya kira sudah diterima DPR," kata Pratikno.

 

Sempat Dinilai Tak Transparan

Pimpinan KPK Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang menggelar jumpa pers di KPK.
Pimpinan KPK Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang menggelar jumpa pers di KPK, Kamis (12/9/2019). (Liputan6.com/ Yopi Makdori)

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menyesalkan sikap pemerintah dan DPR RI yang seakan-akan menyembunyikan sesuatu terkait revisi UU KPK.

"Tidak ada sedikit pun transparansi dari DPR dan Pemerintah," kata Laode melalui keterangan tertulisnya.

Oleh karenanya, kata Laode, para pimpinan KPK hendak meminta bertemu pemerintah guna mengetahui pasal mana saja yang akan DPR dan pemerintah revisi.

Bagi Laode, hal ini merupakan jejak yang buruk bagi sejarah ketatanegaraan Indonesia.

"Dimana DPR dan pemerintah berkonspirasi diam-diam untuk melucuti kewenangan suatu lembaga tanpa berkonsultasi atau sekurang-kurangnya memberitahu lembaga tersebut tentang hal-hal apa yang akan direvisi dari undang-undang mereka," ujar Laode.

Menurutnya, hal itu dikhawatirkan akan dilakukan pula di lembaga lain. Dengan semangat untuk melumpuhkan lembaga-lembaga penegak hukum.

"Seperti kepolisian atau kejaksaan atau lembaga-lembaga lain," kata Laode.

Laode juga mempertanyakan DPR dan pemerintah soal tidak adanya surat tembusan kepada KPK terkait usulan revisi undang-undang. Menurutnya, ini penting dilakukan agar KPK bisa menyesuaikan ataupun saling memberi masukan.

"Seharusnya tata kramanya, sekurang-kurangnya ditembuskan juga ke KPK agar kami bisa melihat kalau mau diganti menjadi A, supaya kami pikirkan juga pergantian ke A itu apakah harus kami sesuaikan," kata Laode.

 

Pandangan Pemerintah

Menkumham Raker dengan DPR Bahas RKAKL dan RKP Tahun 2020
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (13/6). Raker membahas pendahuluan RKA-KL dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Kementerian Hukum dan HAM tahun 2020. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyampaikan pandangan pemerintah mewakili presiden atas revisi UU KPK.

Pada poin pertama, ujar Yasonna, bahwa terkait pengangkatan Dewan Pengawas, pemerintah berpandangan bahwa pengangkatan ketua dan anggotanya merupakan kewenangan Presiden.

"Menurut pemerintah, hal ini untuk meminimalisir waktu dalam proses penentuan dalam pengangkatannya. Hal ini untuk menghindari kerancuan normatif dalam pengaturannya, serta terciptanya proses check and balance, transparansi, dan akuntabilitas," kata Yasonna rapat bersama Baleg di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

Kemudian, dalam penyelenggaraan pengangkatan Dewan Pengawas, mekanismenya tetap melalui panitia seleksi dan membuka ruang bagi masyarakat untuk dapat memberikan masukan terhadap calon anggota pengawas mengenai rekam jejaknya.

Poin kedua disampaikan Yasonna, bahwa keberadaan penyelidik dan penyidik independen Komisi Pemberantasan Korupsi dilakukan berkesinambungan, membuka ruang dan mengakomodasi penyelidik dan penyidik KPK berstatus sebagai pegawal Aparatur Sipil Negara atau ASN.

"Dalam RUU ini pemerintah mengusulkan adanya rentang waktu yang cukup (selama 2 tahun) untuk mengalihkan penyelidik dan penyidik tersebut dalam wadah Aparatur Sipil Negara, dengan tetap memperhatikan standar kompetensi mereka, dengan lulus pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," jelas Yasonna.

Poin ketiga, perihal penyebutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga negara. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 mengenal pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang menyebutkan KPK merupakan lembaga penunjang terpisah atau bahkan independen merupakan lembaga di ranah eksekutif.

"Karena melaksanakan fungsi-fungsi dalam domain eksekutif yakni penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. KPK merupakan lembaga negara sebagai state auxiliary agency atau lembaga negara di dalam ranah eksekutif yang dalam pelaksanaan tugas dan bebas dari pengaruh dan wewenangnya bersifat independen kekuasaan mana pun," terang Yasonna.

Terakhir, pemerintah berpandangan perlu menyampaikan beberapa usulan perubahan substansi misalnya yang berkaitan dengan koordinasi penuntutan, penyebutan istilah atau terminolog lembaga penegak hukum, pengambilan sumpah dan janji Ketua dan Anggota Dewan Pengawas, dan laporan harta kekayaan penyelenggara negara.

"Demikian, Pemerintah bersedia dan terbuka untuk melakukan pembahasan secara lebih mendalam terhadap seluruh materi muatan dalam RUU tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini sesuai dengan mekanisme pembahasan RUU yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan," Yasonna menandasi.

 

4 Poin Ditolak Jokowi

Presiden Jokowi Beri Keterangan Terkait Revisi UU KPK
Presiden Joko Widodo usai memberikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Jokowi menyatakan mendukung sejumlah poin dalam draf revisi UU KPK diantaranya kewenangan menerbitkan SP3. (Liputan6.com/HO/Kurniawan)

Presiden Jokowi menyetujui usulan DPR untuk merevisi UU KPK. Meski mendapat pro kontra, Jokowi memastikan telah mendengarkan dan mempelajari serius seluruh masukan-masukan yang diberikan masyarakat dan para pegiat anti korupsi sebelum merespons usulan DPR tersebut.

"Karena itu ketika ada inisiatif DPR untuk mengajukan RUU KPK maka tugas pemerintah adalah meresponnya. Menyiapkan DIM dan menugaskan menteri untuk mewakili presiden dalam pembahasan bersama DPR," kata Jokowi di Istana Negara.

Jokowi menegaskan, meski UU KPK direvisi, namun dirinya ingin lembaga antirasuah itu tetap memegang peran sentral dalam pemberantasan korupsi.

"Karena itu KPK harus didukung dengan kewenangan dan kekuatan yang memadai. Harus lebih kuat dibandingkan lembaga lain dalam pemberantasan korupsi," ujar dia.

Jokowi juga menegaskan, dirinya tidak setuju dengan revisi UU KPK yang berpotensi mengurangi tugas KPK. Berikut 4 poin yang ditolak Jokowi dalam revisi UU KPK:

1. Tidak setuju jika KPK harus memperoleh izin dari pihak eksternal untuk melakukan penyadapan. Misalnya harus izin ke pengadilan. KPK cukup memperoleh izin dari dewan pengawasan untuk menjaga kerahasiaan.

2. Tidak setuju penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja. Penyelidik dan penyidik KPK bisa berasal dari unsur ASN yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lain. "Tentu saja harus melalui prosedur rekrutmen yang benar," kata Jokowi.

3. Tidak setuju KPK wajib koordinasi dengan kejaksaan agung dalam penuntutan. Karena sistem penuntutan yang berjalan saat ini sudah baik, sehingga tidak perlu diubah lagi.

4. Tidak setuju perihal pengelolaan LHKPN yang dikeluarkan dari KPK, diberikan kepada kementerian/lembaga lain.

"Saya tidak setuju. Saya minta LHKPN tetap diurus oleh KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini. Terhadap isu lain saya mempunyai catatan dan pandangan yang berbeda terhadap subtansi yang diusulkan oleh DPR," tandas Jokowi.

 

Supres Dikirim Jokowi

Presiden Jokowi Beri Keterangan Terkait Revisi UU KPK
Presiden Joko Widodo didampingi Kepala Staf Kepresiden Moeldoko dan Mensesneg Pratikno menyampaikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Jokowi menyatakan mendukung sejumlah poin dalam draf revisi UU KPK. (Liputan6.com/HO/Kurniawan)

Presiden Jokowi mengaku pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM) revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya terdiri dari empat hingga lima isu.

Oleh karena itulah, tak butuh waktu lama bagi Jokowi untuk mengirim surat presiden (surpres) revisi UU ke DPR.

"DIM nya kan hanya 4 sampai 5 isu. Cepat kok," ujar Jokowi di Istana Negara.

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Presiden memiliki waktu 60 hari untuk berpikir sebelum mengeluarkan surpres. Namun, Jokowi hanya butuh waktu enam hari untuk menyetujui pembahasan revisi UU KPK usulan DPR.

Setelah dia mengirim surpres, Jokowi mengatakan pembahasan revisi UU KPK adalah kewenangan DPR. Saat ini, revisi UU KPK tengah dibahas bersama oleh DPR dengan Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly dan Menteri PAN-RB Syafuddin selaku perwakilan pemerintah.

"Kalau sudah di sana, urusannya di sana. Jangan ditanyakan ke saya. Setiap lembaga memiliki kewenangan sendiri-sendiri," jelas dia.

Jokowi menegaskan pemerintah saat ini sedang memperjuangkan isi dari revisi UU KPK agar lembaga antirasuah itu tetap kuat.

"Saat ini pemerintah sedang bertarung memperjuangkan substansi-subtansi yang ada di revisi KPK yang diinisiasi oleh DPR seperti yang sudah saya sampaikan beberapa waktu yang lalu," ungkap Jokowi di Hotel Sultan.

"Jadi perlu saya sampaikan KPK itu lembaga negara, institusi negara, jadi bijaklah dalam kita bernegara," lanjut Jokowi.

Sebab itu, revisi UU KPK yang sedang dibahas DPR kata dia, harus diawasi bersama-sama. Agar lembaga antirasuah tetap berada diposisi kuat dalam memberantas korupsi.

"Mengenai revisi UU KPK, itu kan ada di DPR. Marilah kita awasi bersama-sama. Semuanya mengawasi, semua. Agar KPK tetap pada posisi kuat dan terkuat dalam posisi pemberantasan korupsi. Tugas kita bersama," ungkap Jokowi.

 

KPK Sempat Minta Ditunda

Tiga Pimpinan KPK
Tiga Pimpinan KPK, Laode M Syarif, Agus Rahardjo dan Saut Situmorang (kiri ke kanan) memberi keterangan, Jakarta, Kamis (12/9/2019). Pimpinan KPK membantah penyataan Alexander Marwata yang menyebut pengumuman pelanggaran kode etik tidak diketahui oleh pimpinan KPK. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

KPK melayangkan surat kepada DPR terkait revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK.

Dalam surat yang dilayangkan Senin, 16 September 2019, KPK meminta DPR menunda pengesahan revisi UU tersebut. Selain itu, KPK juga meminta draf revisi UU dan daftar inventarisasi masalah (DIM) untuk dipelajari lebih lanjut.

"KPK telah mengantarkan surat ke DPR siang ini yang pada pokoknya meminta DPR agar menunda pengesahan RUU KPK tersebut. Kami juga meminta draf RUU dan DIM secara resmi agar dapat dipelajari lebih lanjut," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi.

KPK meminta DPR tidak terburu-buru dan terkesan memaksakan pengesahan revisi UU ini. Dalam proses pembentukan UU, pemerintah dan DPR perlu mendengarkan banyak pihak, termasuk akademisi, masyarakat, dan KPK sendiri yang akan terkena dampak revisi UU tersebut.

"Tentu saja dalam proses pembentukan UU perlu mendengar banyak pihak, seperti akademisi di kampus, suara masyarakat dan pihak-pihak yang terdampak dari perubahan aturan tersebut. Agar pembahasan tidak dilakukan terburu-buru dan terkesan dipaksakan," kata Febri.

Sementara itu, Ketua KPK Agus Rahardjo mengaku tidak pernah mengetahui isi dari draft Revisi Undang-Undang KPK. Pihaknya pun tidak pernah diajak duduk bersama mendiskusikan hal tersebut.

"Kemudian terkait yang sangat kami prihatin dan mencemaskan adalah RUU KPK. Sampai saat ini, kami, draf saja tidak mengetahui. Rasanya seperti sembunyi-sembunyi," tutur Agus.

Agus juga mendengar rumor dalam waktu dekat Revisi Undang-Undang KPK itu akan segera disahkan.

"Kami sangat betul-betul bertanya-tanya ada kegentingan apa sampai buru-buru disahkan," jelas dia.

Lebih lanjut, dia pun meminta kepada Presiden Jokowi agar bisa menyelesaikan masalah ini. Pihaknya akan sangat berkenan jika diajak dalam suatu pertemuan dan membahas bersama soal RUU KPK.

"Kami kalau ditanya pegawai, anak buah, tidak mengetahui isi Undang-Undang itu. Kami menghadap Menkumham saja untuk cari tahu itu, katanya nanti akan diundang. Tapi baca Kompas pagi ini, rasanya (seperti) tidak perlu lagi," Agus menandaskan.

 

Akhirnya Disahkan

DPR Sahkan Revisi UU KPK
Menkumham Yasonna Laoly berjabat tangan dengan Wakil Ketua DPR selaku Pimpinan Sidang Fahri Hamzah usai menyampaikan pandangan akhir pemerintah terhadap revisi UU KPK dalam sidang paripurna ke-9 Masa Persidangan I 2019-2020 di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (17/9/2019). (Liputan6.com/Johan Tallo)

DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK menjadi undang-undang dalam sidang paripurna yang digelar, Selasa (17/9/2019).

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah selaku pimpinan sidang mengetuk palu pengesahan setelah anggota dewan menyatakan setuju. Tiga kali Fahri menegaskan persetujuan terhadap revisi UU KPK menjadi Undang-Undang.

"Apakah pembicaraan tingkat dua pengambilan keputusan terhadap rancangan UU tentang perubahan kedua atas UU 30/2002 tentang KPK, dapat disetujui dan disahkan menjadi UU?" ujar Fahri dalam sidang paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa.

"Setuju," jawab anggota dewan serentak.

Laporan terhadap hasil keputusan tingkat pertama dibacakan oleh Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas. Supratman menyebutkan enam poin revisi yang telah dibahas dan disetujui bersama.

Pertama, kedudukan KPK sebagai lembaga hukum berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam kewenangan dan tugas bersifat independen dan bebas dari kekuasaan.

Kedua, pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi kewenangan dan tugas KPK agar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dewan pengawas telah disepakati mayoritas fraksi dan pemerintah ditunjuk oleh presiden.

Kemudian, Menkumham Yasonna Laoly mewakili Presiden Jokowi menyampaikan pandangan dan persetujuan dari pemerintah terkait pengesahan revisi UU KPK.

"Kita semua mengharapkan agar rancangan Undang-Undang atas Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK bisa disetujui bersama. Pencegahan dan penindakan bisa dilakukan dengan efektif tanpa mengabaikan Hak Asasi Manusia, ucap dia.

Menurut Yasonna, revisi UU KPK ini dilatarbelakangi salah satunya karena tindak korupsi saat ini yang semakin sistematis, dan makin tidak terkendali.

"Dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi, perlu dilakukan pembaruan hukum agar pencegahan dan pemberantasan lebih efektif. Mengutamakan pencegahan bukan berarti kegiatan penindakan diabaikan,” kata Yasonna dalam sambutannya.

Yasonna juga membacakan pokok materi yang diatur dalam revisi UU KPK:

1. Kelembagaan: KPK merupakan rumpun eksekutif yang dalam pelaksaannya bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

2. Penghentian penyidikan dan penuntutan. KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan apabila tidak selesai dalam 2 tahun. Dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum.

3. Penyadapan. Dilaksanakan setelah mendapat izin tertulis dari dewan pengawas. Paling lambat diberikan 1x24 jam. Penyadapan paling lama dilakukan 6 bulan dan dapat diperpanjang. Dimaksudkan untuk lebih menjunjung Hak Asasi Manusia.

4. Status kepegawaian. Pegawai KPK merupakan anggota korpri sesuai dengan Undang-undang. Pengangkatan dilakukan sesuai Undang-undang.

Politisi PDI Perjuangan itu menutup sambutannya dengan menyatakan persetujuan presiden akan revisi UU KPK.

"Berdasarkan hal tersebut, izinkan kami mewakili presiden, dengan mengucap syukur, presiden menyatakan setuju rancangan UU 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi untuk disahkan menjadi Undang-undang,” tandas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya