Soal Cadar ASN, Muhammadiyah: Kebijakan Menag Tak Bertentangan dengan Islam

Muhammadiyah menilai, kajian larangan tidak hanya berlaku bagi mereka yang bercadar, tapi juga yang berpakaian tidak sopan.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 31 Okt 2019, 15:06 WIB
Diterbitkan 31 Okt 2019, 15:06 WIB
Jelang Pilkada Serentak PP Muhammadiyah Keluarkan Pernyataan-Jakarta- Helmi Fithriansyah-20170213
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti (kanan) membacakan pernyataan sikap PP Muhammadiyah terhadap Pilkada Serentak 15 Februari di Jakarta, Senin (13/2). Ada tujuh butir pernyataan sikap PP Muhammadiyah. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Agama Fachrul Razi menegaskan kembali tentang pelarangan penggunaan cadar di instansi pemerintahan. Menurutnya, wacana tersebut masih dalam kajian dan bagi para penggunanya dipersilakan untuk tetap bisa memakai cadar.

Terkait hal ini, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, mengatakan, ada dua hal yang harus dilihat secara seksama terkait rencana kebijakan Kemenag terkait dengan pelarangan pemakaian cadar di kantor Pemerintah.

Yang pertama, kata dia, soal alasan kode etik kepegawaian. Kalau mereka adalah pegawai, maka siapapun harus mematuhi kode etik pegawai. Bahkan dalam konteks pembinaan, kepatuhan kepada kode etik berbusana adalah bagian dari penilaian kinerja dan loyalitas kepada institusi.

"Hal ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang bercadar, tapi juga mereka yang berpakaian tidak sopan yang tidak sesuai dengan norma agama, susila, dan budaya bangsa Indonesia," kata Abdul saat dikonfirmasi, Kamis (31/10/2019).

Kedua, lanjut dia, dalam ajaran Islam terdapat kewajiban menutup aurat baik bagi laki-laki atau perempuan. Di kalangan ulama terdapat ikhtilaf mengenai cadar sebagai salah satu busana menutup aurat. Sebagian besar ulama berpendapat bercadar bukanlah wajib. Perempuan boleh menampakkan muka dan telapak tangan.

"Muhammadiyah berpendapat bahwa bercadar tidak wajib. Yang perlu diluruskan adalah pemahaman mereka yang bercadar sebagai teroris atau radikal. Itu penilaian yang sangat dangkal dan berlebihan," jelas Abdul.

Karenanya, masih kata dia, kebijakan Menteri Agama tersebut tidak ada yang salah.

"Kebijakan Menteri Agama yang melarang perempuan bercadar tidak bertentangan dengan Islam dan tidak melanggar HAM. Kebijakan tersebut harus dilihat sebagai usaha pembinaan pegawai dan membangun relasi sosial yang lebih baik," pungkasnya.

 

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Itu Ruang Privat

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menilai, seharusnya negara tidak perlu mengatur urusan pribadi.

"Kalau saya menggarisbawahi, itu ruang privat. Kalau ruang privat itu paling enak jangan terlalu diintervensi oleh negara. Karena negara bagaimanapun mengatur di ruang publik," kata Mardani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (31/10/2019).

Namun, Mardani tidak terlalu mengetahui hukum menggunakan cadar. Oleh karena itu, dia menyarankan Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuat fatwa terkait cadar tersebut.

"Kalau dia (cadar) tak wajib ya enggak masalah. Tapi kalau dia ada dasarnya saya agak khawatir ini masuk di ruang privat. Karena itu harus hati-hati masuk ke ruang privat," ujar Mardani.

Terlebih, dia mengingatkan, cara terbaik melawan radikalismea ialah dialog dan literasi bersama penegakan hukum. Dia khawatir, larangan penggunaan cadar akan memperlebar jarak antara pemerintah dan warga yang terpapar radikalisme.

"Bukan buat memperlebar dan memperluas frontnya gitu," kata Mardani.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya