Pasal 27 Perppu Covid-19 Dinilai Buka Celah Korupsi Saat Pandemi

Dalam pasal itu disebutkan biaya yang dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemi Covid-19 bukan merupakan kerugian negara.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 29 Apr 2020, 19:17 WIB
Diterbitkan 28 Apr 2020, 14:17 WIB
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (MK)
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (MK) (Liputan6/Putu Merta)

Liputan6.com, Jakarta - Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, khususnya Pasal 27 dianggap membuka celah untuk korupsi.

Hal ini disampaikan oleh salah satu pemohon uji materi Perppu Covid-19 dalam persidangan pendahuluan Mahkamah Konstitusi.

"Bahwa Pasal 27 ayat 1 yang memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi. Karena dalam pasal itu disebutkan biaya yang dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemi Covid-19 termasuk di dalamnya kebijakan bidang perpajakan keuangan daerah dan pemulihan ekonomi nasional bukan merupakan kerugian negara," ucap Kuasa hukum Pemohon Perkara Nomor Perkara 23/PUU-XVIII/2020, Zainal Arifin Hoesein, dalam persidangan, Selasa (28/4/2020).

Selain itu, lanjut dia, pasal tersebut juga memberikan keistimewaan agar pejabat kebal hukum.

"Selaln itu Pasal 27 dalam Perppu yang mengatur tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 ternyata memberikan keistimewaan kepada pejabat tertentu untuk kebal hukum," tukasnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Cek Kosong DPR ke Pemerintah

Keberadaan Peraturan Pemerintan Pengganti Undang Undang (Perppu) Covid-19 dianggap membatasi daya ikat kewenangan DPR dalam memberikan persetujuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Khususnya berkenaan dengan defisit anggaran menjadi terbatas pada batas minimum 3% PDB. Adapun, batasan defisit anggaran tersebut diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Pasal 2 ayat (1) huruf a," jelas mantan anggota DPR RI yang juga ikut menggugat, Ahmad Yani dalam persidangan pendahuluan Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (28/4/2020).

Menurut dia, dengan adanya batas minimum tersebut, bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yang menghendaki APBN harus disetujui DPR RI, dengan berbagai pertimbangan.

"Persetujuan DPR ini teramat penting karena mencerminkan kedaulatan rakyat. Itulah sebabanya, jika DPR tidak menyetujui Rancangan UU APBN, maka Pemerintah tidak punya pilihan selain menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Akan tetapi Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1,2, dan 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020, menihilkan arti penting persetujuan DPR," jelasnya.

Karena dengan pengaturan yang demikian, lanjut Yani, malah akan membuka peluang bagi pemerintah untuk memperlebar jarak antara jumlah belanja dan pendapatan sampai dengan tahun 2022.

"Atau setidak-tidaknya, DPR tidak bisa menggunakan fungsi persetujuanya secara leluasan, melainkan dipatok dengan batas minimal 3% PBD, tanpa ada batas maksimal presentasi PDB," tambahnya.

Selain itu, dia menuturkan, diaturnya batas minimal defisit tanpa menentukan batas maksimal, dianggap seperti memberi cek kosong kepada pemerintah.

"Sama saja dengan memberikan ‘cek kosong’ bagi pemerintah untuk melakukan akrobat dalam penyusunan APBN setidaknya sampai dengan 3 (tiga) tahun ke depan atau hingga Tahun Anggaran 2022. Hal ini berpotensi disalahgunakan pemerintah untuk memperbesar rasio pinjaman negara, khususnya pinjaman yang berasal dari luar negeri," ungkap Yani.

Menurut dia, dengan dibukanya batasan jumlah defisit menjadi tanpa batas, pemerintah bisa memperbesar jumlah rasio pinjaman selama ini.

"Maka pemerintah memiliki peluang yang lebih besar untuk memperbesar jumlah rasio pinjaman, sebagaimana kecenderungan APBN kita dalam beberapa tahun terakhir," ujarnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya