Soal Tuntutan Kenaikan Upah, Pakar: Serikat Pekerja Harus Paham Meritokrasi

Selama ini, menurut dia, produktivitas buruh di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain, bahkan di Asia Tenggara.

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Apr 2020, 16:55 WIB
Diterbitkan 29 Apr 2020, 09:15 WIB
Buruh dari Konfederasi Aksi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) berunjuk rasa mendesak Gubernur Ridwan Kamil agar segera menetapkan besaran upah minimum kota (UMK) tahun 2020, Bandung, Rabu, 20 November 2019. (Lipuan6.com/Arie Nugraha)
Buruh dari Konfederasi Aksi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) berunjuk rasa mendesak Gubernur Ridwan Kamil agar segera menetapkan besaran upah minimum kota (UMK) tahun 2020, Bandung, Rabu, 20 November 2019. (Lipuan6.com/Arie Nugraha)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom dan pakar Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Budi Satria Isman angkat bicara soal tuntutan pekerja terkait upah di tengah pembahasan RUU Cipta Kerja dan situasi pandemi Covid-19. Menurutnya, para pekerja dan buruh juga harus paham soal sistem meritokrasi dalam pemberian insentif di perusahaan.

"Soal upah ini seperti buah simalakama. Harusnya, para serikat pekerja dan buruh juga paham soal sistem meritokrasi. Apa yang didapat itu harus sesuai dengan jumlah yang bisa diproduksi," kata Budi Satria dalam diskusi dan sesi sharing bertajuk Trik Menyelamatkan UMKM Saat Pandemi Covid-19, Rabu (29/4/2020).

Selama ini, menurut dia, produktivitas buruh di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain, bahkan di Asia Tenggara. Namun, nilai upah yang didapatkan bahkan bisa berada di angka yang lebih tinggi. Hal ini tidak sesuai dengan sistem meritokrasi pemberian insentif yang harusnya dipahami oleh para pekerja dan buruh.

"Kami (pelaku usaha) tentu bisa memberikan upah yang tinggi, jika memang produktivitasnya sesuai. Tidak bisa terus menuntut menerima insentif tinggi, sementara produktivitasnya stagnan. Kalau perusahaan merugi, tentu tidak mungkin ditanggung hanya pemilik perusahaan saja," kata Budi Satria.

Kondisi yang dianggap memberatkan pengusaha, tak terkecuali pengusaha di sektor mikro kecil menengah, sudah berlangsung bertahun-tahun. Serikat pekerja terus menuntut ada kenaikan insentif bagi mereka, sementara kemampuan produksinya tidak ada kenaikan signifikan.

"Ini sangat tidak ideal bagi kondisi bisnis kita, apalagi untuk sektor UMKM. Tidak bisa memperlakukan UMKM seperti bisnis besar yang harus terus mengikuti UMK yang juga terus dituntut naik oleh serikat pekerja," kata mantan direktur di Coca Cola Amatil ini.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Kepastian Iklim Bisnis

Menurutnya, memang diperlukan regulasi yang memberikan titik keseimbangan antara kepentingan pekerja, pengusaha, dan juga target pemerintah. Hal ini juga demi menjaga kepastian iklim bisnis dan investasi pasca Covid-19 yang belum bisa diprediksi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya