Liputan6.com, Jakarta - Penambahan kasus virus corona Covid-19 di Indonesia mencetak rekor tertinggi angka terkonfirmasi positif harian pada Kamis 21 Mei 2020 kemarin.
Tercatat sebanyak 973 orang diumumkan positif terinfeksi virus corona Covid-19 di hari itu. Hal ini menggenapkan jumlah total kasus positif Covid-19 di Indonesia menjadi 20.162 orang.
Peningkatan ini menimbulkan tanda tanya apakah wabah tersebut tengah mencapai puncaknya di Indonesia. Jika demikian, apakah prediksi yang dulu ditargetkan Tim Gugus Tugas bahwa pandemi Covid-19 pada Juni-Juli mendatang akan berakhir harus direvisi.
Advertisement
Menanggapi hal itu, Pakar Epidemiolog dari Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), Bony Wiem Lestari menyatakan, sulit memperkirakan masa wabah di Indonesia. Pasalnya, menurut dia, kurva epidemi saja Indonesia tak pernah mengumumkan.
"Kan enggak ada model yang sempurna, tapi paling tidak kalau berdasarkan ini kira-kira seperti apa. Contoh seperti Selandia Baru, Australia mereka punya kurva epidemi sehingga mereka yakin, sekarang tuh mereka sedang ada di ekor terbawah. Artinya sudah turun dan ada di bawah, artinya mereka sudah bilang bahwa epidemi itu sudah teratasi," ucap Bony kepada Liputan6.com, Kamis (20/5/2020).
Sementara Indonesia, menurut dia, karena tak memiliki kurva epidemi maka akan sangat sulit menentukan apakah saat ini tengah berada di puncak wabah atau baru mendekati puncaknya. Dia menjelaskan, kurva epidemi Bony merupakan kurva yang menunjukan berapa jumlah kasus yang terinfeksi saat ini berikut prediksinya dalam jangka waktu ke depan.
"Sebetulnya kalau dari estimasi sih banyak, masalahnya gini, setiap estimasi itu mempunyai asumsi yang berbeda. Nah pemerintah itu mau ambil yang mana, apa katakanlah sekarang kita sudah melewati puncak, apa periode puncak, apa belum puncak kan gitu," katanya.
Kalkulasi tersebut, menurut Bony, sangat penting bagi pemerintah untuk menentukan kebijakan selanjutnya. Ia mencontohkan, jika saat ini Indonesia belum berada di masa puncak berarti pelonggaran PSBB adalah sesuatu yang seharusnya haram dilakukan.
"Karena infeksi masih banyak, tapi kalau misalnya sudah di puncak kita juga mesti lihat tren ke depannya, mungkin turun oke kita bisa (mulai) pikirkan ada pelonggaran, tapi pelonggarannya seperti apa?," ucap dia.
Ia mencontohkah lagi bahwa Australia yang menurut kurva epideminya menurun, namun negara Kanguru itu enggan membuka penerbangan. Hal ini kontras dengan Indonesia yang tiap hari tren angka masyarakat terinfeksi corona Covid-19 masih tinggi, tapi pemerintah justru buru-buru membuka penerbangan.
"Australia itu belum berani buka penerbangan. Makannya saya bilang istilah berdamai dengan Covid-19 itu menurut saya ada alasan yang lain, dan saya tidak tahu itu," katanya.
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Berdamai dengan Covid-19
Bony mengkritisi wacana pemerintah untuk berdamai dengan Covid-19. Ia mempertanyakan bagaimana jika virusnya sendiri tak mau diajak damai.
"Okelah kalau manusia ajak damai, tapi kalau virusnya enggak mau diajak berdamai ya dia akan menginfeksi terus. Akan nambah kasus positif terus," kata Bony.
Bony memahami pemerintah tengah berada dalam situasi yang sulit untuk menentukan lebih dulu mana yang diutamakan antara kesehatan masyarakat atau ekonomi bangsa akibat pandemi corona Covid-19 ini.
Namun begitu, ia menyarankan bahwa pemerintah harus menemukan jalan tengah dari situasi seperti ini. Di mana pemerintah tak mengorbankan kesehatan masyarakat namun ekonomi bisa berangsur pulih.
"Ini kan harusnya dikomunikasikan itu, kan ini banyak perusahaan yang collapse. Rasanya saya belum pernah dengar dampak Covid terhadap ekonomi, pidato presiden juga rasanya belum pernah disampaikan secara utuh" ungkapnya.
Advertisement