Liputan6.com, Jakarta - Kasus buronan Kejaksaan Agung, Djoko Tjandra, yang bebas menyelinap masuk dan keluar di Indonesia membuat institusi kepolisian disorot. Hal ini setelah muncul surat jalan yang diteken Brigjen Prasetyo Utomo pada 18 Juni 2020. Imbasnya, jabatan Prasetyo sebagai Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri pun lenyap setelah dicopot pada 15 Juli 2020.
Tak sampai di situ. Nama Sekretaris NCB Interpol Indonesia juga disebut-sebut ikut terlibat memuluskan pelarian Djoko Tjandra. Brigjen Pol NW diduga berperan menghilangkan red notice. Dengan itu, Djoko Tjandra pun bebas melenggang di Indonesia pada 8 Juni 2020. Dan kini diketahui berada di Malaysia setelah tak hadir dalam sidang permohanan Peninjauan Kembali kasusnya pada 6 Juli 2020 lalu.
Menurut Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, dua kasus sekretaris NCB dan Karokorwas PPNS Bareskrim ini harusnya membuka mata semua pihak bahwa sistem pengawasan di internal polisi itu sangat lemah. Pergantian petinggi Polri hanya mengubah bagian luarnya semata tanpa menyentuh substansi isinya.
Advertisement
"Perubahan pucuk pimpinan Polri yang diharapkan memberi dampak pada perbaikan sistem, ternyata nyaris tak ada. Yang ada hanya ganti loko (pimpinan Polri), ganti gerbong (jajaran personel) saja," ujar Bambang kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis (16/7/2020).
Dia pun menolak bila kedua kasus ini disebut sebagai bentuk kecolongan Polri. Menurutnya, praktik itu bisa dikatakan demikian bila sistem yang ada sudah berjalan dengan baik. Sehingga jika terjadi terhadap di luar sistem, alarm akan berbunyi sebagai pendeteksi ancaman dini.
"Kecolongan itu kalau sudah ada sistem yang rapi, bagus untuk mencegah adanya kesalahan atau tindak kejahatan internal. Kalau sistem itu tidak ada, dan hal-hal semacam itu sudah "biasa", apakah bisa disebut kecolongan?" ujar dia.
Menurut dia kasus Djoko Tjandra hendaknya menjadi momentum untuk membenahi pengawasan internal di Polri. Namun ia meragukan, ini akan berlaku efektif. "Problemnya apakah kita percaya 'jeruk akan makan jeruk' dengan hanya menyerahkan pembenahan pengawasan kepada internal," kata Bambang.
Dia menjelaskan, tuntutan masyarakat kepada kepolisian saat ini makin tinggi. Cara-cara lama seperti pencitraan misalnya, itu sudah tak bisa dilakukan lagi.
"Pernyataan-pernyataan akan menindak polisi yang bergaya hidup hedonis, yang terlibat narkoba, pungli dan sebagainya, itu sudah basi dan klise. Publik butuh konsistensi antara pernyataan dengan kebijakan yang mengikutinya maupun praktik di lapangan," terang dia.
Karena itu, menurut dia, untuk menampung tuntutan masyarakat yang tinggi tersebut perlu kelembagaan pengawasan eksternal yang kuat. Dan itu belum ada dalam UU 2 Tahun 2002.
"Selama ini lembaga pengawas baik internal maupun eksternal tidak efektif. Pengawasan internal seperti tak ada karena jeruk tak mungkin makan jeruk. Sementara yang eksternal seperti anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Revisi UU 2 tahun 2002 itu sudah sangat mendesak," tegas dia.
Sementara itu Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo menegaskan pihaknya akan menuntaskan kasus ini secara paripurna. Ia pun telah meminta Kadiv Propam untuk memeriksa anggotanya yang terlibat dalam pembuatan dan penggunaaan surat jalan Djoko Tjandra. Nantinya hasil pemeriksaan itu akan ditindaklanjuti.
"Termasuk dengan peristiwa terhapusnya red notice dan bagaimana bisa muncul surat kesehatan atas nama terpidana JC," ujar Listyo di Mabes Polri, Kamis (16/7/2020).
Dia menegaskan, semua yang bermain dalam kasus Djoko Tjandra akan diproses secara transparan. Mulai dari bagaimana Djoko Tjandra bisa masuk ke Indonesia, siapa yang membantunya, sampai sang buronan itu keluar dari RI. "Semua akan ditelusuri. Ini komitmen kita dan akan kita buka hasilnya," tegas dia.
Listyo juga mengungkapkan, di institusi Polri, ada tiga jenis penanganan pelanggaran. Pertama akan disanksi disiplin, kemudian kode etik, dan terakhir pidana. Terkait dengan rangkaian kasus ini, ucap dia, akan ditindaklanjuti dengan proses pidana.
"Untuk menjawab rekan-rekan akan sejauh mana penanganan kasus ini dilaksanakan," ujar dia.
Saat ini, Ia telah membentuk tim khusus yang terdiri dari direktorat tindak pidana umum, direktorat tipikor, direktorat siber, dan didampingi propam untuk memproses semua tindak pidana yang didapatkan. Termasuk adanya dugaan aliran dana, baik yang di institusi Polri maupun yang lainnya.
"Saat ini tim sudah dibentuk, propam melanjutkan pemeriksaannya, hasilnya akan ditindaklanjuti. Kami akan menyelidiki secara tuntas, tegas, sesuai dengan komitmen untuk menjaga marwah institusi Polri," kata Listyo.
Terkait dengan surat dokter yang menyatakan Djoko Tjandra mendapatkan surat keterangan bebas Covid-19 dari Polri, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono menegaskan memang benar adanya. Kesahihah kabar itu diketahui setelah dokter terkait diperiksa oleh propam.
"Memang benar dokter tadi dipanggil oleh Brigjen Pol PU dan di ruangannya ada dua orang yang tidak dikenal oleh dokter ini dan melaksanakan rapid. Setelah dinyatakan negatif, dimintakan surat keterangannya. Jadi sebatas itu, dokter tidak mengetahui siapa, tapi disuruh buat namanya ini JC," jelas Argo.
Dan mengenai kelanjutan penyelidikan terhapusnya red notice, Argo menyatakan masih dalam proses pemeriksaan oleh propam. Meski demikian, ia memastikan kesalahan yang dilakukan masih dalam tataran kode etik.
"Dari propam sudah memeriksa dari pada Pak NS ya, dan memang belum selesai juga. Tapi dalam pemeriksaannya, yang bersangkutan diduga melanggar kode etik, makanya ini propam masih memeriksa saksi lain yang mengetahui, memahami, melihat, mendengar, nanti kita akan lakukan pemberkasan kode etik," terang Argo.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Viral Surat Red Notice Dicabut
Surat pencabutan red notice atas nama Djoko Tjandra menjadi viral. Ketua Presidium IPW, Neta S Pane mengatakan, surat itu bernomor B/186/V/2020/NCB.Div.HI dengan tanggal 5 Mei 2020. Melalui surat itu, Brigjen Pol NW mengeluarkan surat penyampaian penghapusan Interpol Red Notice atas nama Djoko Tjandra kepada Dirjen Imigrasi.
"Tragisnya, salah satu dasar pencabutan red notice itu adalah adanya surat Anna Boentaran tanggal 16 April 2020 kepada NCB Interpol Indonesia yang meminta pencabutan red notice atas nama Djoko Tjandra," kata Neta dalam keterangannya, Kamis (16/7/2020).
Pemeriksaan terhadap personel yang bertanggung jawab dalam pengurusan red notice Djoko Tjandra masih dilakukan. Namun Polri enggan merinci jumlah personel yang menjalani pemeriksaan tersebut.
Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono tidak merinci jumlah personel yang menjalani pemeriksaan tersebut. Dia mengingatkan adanya reward dan punishment atas tindakan anggota Polri, sesuai komitmen Kapolri Jenderal Idham Azis.
"Tentunya sekarang ada pemeriksaan kemudian siapa-siapa yang diperiksa, ada kaitannya, kemudian akan kita lihat apakah ada kesalahan terkait prosedur yang dilakukan oleh anggota ini," jelas Argo Yuwono, Rabu 15 Juli 2020.
Dia menegaskan, bagi personel berprestasi maka akan ada penghargaan atasnya. Begitu pun sebaliknya, jika berbuat pelanggaran maka sanksi tegas menanti.
"Sama dengan kasus ini dari Div Propam sedang bekerja memeriksa, bekerja, mencari tahu alur dari red notice tersebut. Misalkan ada pelangaran dari anggota, akan diberikan sanksi," Argo menandaskan soal kasus Djoko Tjandra.
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan, Kejaksaan tidak pernah melakukan pencabutan status red notice terhadap buronan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terkait pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra.
"Red notice itu kan tidak ada cabut mencabut, selamanya sampai ketangkap, tapi nyatanya begitulah," tutur Burhanuddin di Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta Selatan, Rabu (15/7/2020).
Burhanuddin mengaku masih menelusuri perihal hilangnya status red notice terhadap Djoko Tjandra di Interpol. Dia pun belum menemukan pihak yang bertanggung jawab atas masalah tersebut.
"Itu sampai sekarang belum ada titik temunya," jelas Burhanuddin.
Sementara Menkumham Yasonna Laoly juga menegaskan, nama terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra sudah tidak lagi masuk dalam red notice atau buruan Interpol sejak tahun 2014.
Yasonna berandai apabila buronan itu masuk ke Indonesia belum lama ini, maka ia tidak bisa dihalangi karena tidak ada dalam red notice.
"Beliau menurut Interpol sejak 2014 kan tidak lagi masuk dalam DPO. Jadi kalau seandainya pun, seandainya ini berandai-andai, jangan kau kutip nanti seolah-olah benar, seandainya dia masuk dengan benar, dia nggak bisa kami halangi," kata Yasonna di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (2/7/2020).
Politikus PDIP itu kembali berandai-andai, apabila Djoko Tjandra masuk Indonesia dengan cara benar bahkan sambil santai bersiul, maka tidak akan bisa halangi.
"Karena dia tidak masuk dalam red notice. Seandainya masuk dia sambil bersiul-siul dia masuk, bisa saja karena dia tidak masuk dalam red notice. Tapi ini hebatnya, dia situ juga nggak ada,"ucapnya.
Ia juga enggan menanggapi kemungkinan Djoko Tjandra masuk Indonesia dengan mengganti nama atau lewat jalan tikus. Pihaknya akan meneliti lebih lanjut bersama tim gabungan dengan Kejaksaan Agung.
"Kita nggak tahu lah, nanti makanya saya bilang lagi diteliti sama Dirjen Imigrasi, nanti ceklah. Kan kita minta cek CCTV, apa semua. Kita tidak tahu, bisa saja orang ambil paspor di mana-mana di Bangkok sana kan," katanya.
Advertisement
2 'Tumbal' Djoko Tjandra
Kabar penerbitan surat jalan untuk Djoko Tjandra dari Polri membuat Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo kaget. Dia pun menginstruksikan agar kasus ini segera diusut.
"Saya minta untuk didalami Div Propam Polri tentang informasi surat jalan yang dikeluarkan Biro Korwas, dan kalau terbukti akan kita berikan tindakan tegas terhadap oknum-oknum yang melakukan," tutur Listyo saat dikonfirmasi, Rabu (15/7/2020).
Dia menegaskan, pihaknya tidak akan ragu meringkus oknum yang kedapatan membantu Djoko Tjandra. Dia mengaku akan bergerak cepat mengungkap kebenarannya.
"Kita nggak pernah ragu untuk tindak tegas oknum-oknum anggota yang terbukti lakukan pelanggaran dan juga peringatan bagi yang lain agar menjaga marwah institusi, itu komitmen untuk jaga institusi, namun tetap kita periksa dulu di Divpropam untuk cek kebenaran, kalau ada tanda-tanda langsung kita berikan tindakan tegas," kata Listyo.
Atas pemeriksaan ini, Polri mendapatkan hasil pemeriksaan sementara bahwa Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Korwas) PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetyo Utomo mengeluarkan surat jalan untuk buronan Djoko Tjandra atas inisiatifnya sendiri.
"Surat jalan tersebut ditandatangani salah satu biro di Polri, tentunya pemberian surat jalan tersebut adalah inisiatif sendiri dan tidak izin sama pimpinan," tutur Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (15/7/2020).
Menurut Argo, hasil pemeriksaan akan rampung pada Rabu sore. Jika terbukti ada kelalaian, Brigjen Prasetyo Utomo akan segera dicopot dari jabatannya.
"Ini menjadi pembelajaran bagi personel Polri yang lain. Kita ingin menegakkan aturan kita, komitmen sesuai Pak Kapolri yang nyatakan ke semua jajaran. Propam sedang bekerja, semua anggota yang berkaitan dengan surat jalan tersebut akan diperiksa semua. Kita tunggu, sedang bekerja hari ini," ujar Argo.
Dan benar saja, sore tadi Polri mengeluarkan surat terkait pencopotan jabatan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Korwas) PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetyo Utomo. Hal itu tertuang dalam telegram bernomor ST/1980/VII/KEP./2020 tertanggal 15 Juli 2020.
"Benar," kata Argo saat dikonfirmasi, Rabu (15/7/2020).
Dalam surat itu tertulis bahwa Brigjen Prasetyo Utomo dimutasi sebagai Pati Yanma Polri dalam rangka riksa.
Sebelumnya, kehadiran Djoko Tjandra di Kelurahan Grogol Selatan juga menuai perhatian publik. Di tempat ini, Djoko Tjondro membuat perekaman e-KTP dengan waktu singkat. Tak sampai dua jam, ia sudah dapat mengantongi kartu penduduk yang selanjutnya digunakan untuk mendaftarkan PK kasusnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Berita ini pun menjadi sorotan. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun lantas menonaktifkan Lurah Grogol Selatan Asep Subhan. Pencopotan itu, kata Anies, akibat penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian pelayanan penerbitan KTP-e atas buronan dengan nama lengkap Joko Sugiarto Tjandra tersebut.
"Laporan investigasi Inspektorat sudah selesai dan jelas terlihat bahwa yang bersangkutan telah melanggar prosedur penerbitan KTP-e tersebut," ujar Anies di Jakarta, Minggu (12/7/2020).
Ini fatal dan tidak seharusnya terjadi. "Yang bersangkutan telah dinonaktifkan dan akan dilakukan penyelidikan lebih jauh," katanya.
Dalam laporan kepada Anies, Kepala Inspektorat Provinsi DKI Jakarta Michael Rolandi pada Sabtu lalu menyebutkan bahwa Lurah Grogol Selatan telah berperan aktif yang melampaui tugas dan fungsinya dalam penerbitan KTP-e tersebut.