HEADLINE: Volume Magma Gunung Merapi Lebihi Tahun 2006, Seberapa Besar Bahayanya?

Dalam persembunyian di balik kabut, Gunung Merapi ini memiliki aktivitas seismik yang tinggi melebihi 2006. Seberapa besar bahayanya?

oleh Muhammad AliAdy AnugrahadiYopi Makdori diperbarui 13 Nov 2020, 00:04 WIB
Diterbitkan 13 Nov 2020, 00:04 WIB
Gunung Merapi
Kondisi gunung Merapi pada Rabu 11 November 2020. (BPPTKG @BPPTKG)

Liputan6.com, Jakarta - Awan kabut putih menyelimuti Gunung Merapi yang berada di antara wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta, Kamis (12/11/2020) pukul 15.05 WIB. Dari balik kabut itu, gunung setinggi 2.930 meter tersebut terlihat indah juga menakjubkan.

Kondisi ini terpantau kamera CCTV di daerah Srunen, Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Kamis (12/11/2020) pukul 15.05 WIB. Ada 12 kamera CCTV yang dipasang oleh Kementerian ESDM di sejumlah wilayah untuk mengontrol aktivitas Gunung Merapi yang telah berstatus siaga sejak pekan lalu, 5 November 2020.

Di balik sampul kabutnya, Gunung Merapi menyimpan aktivitas seismik yang tinggi. Peningkatan aktivitas seismik itu dipengaruhi oleh adanya magma dari dalam perut bumi yang akan naik menuju permukaan. Sehingga batuan yang ada di sekelilingnya pun akan mengalami tekanan.

Apabila batuan-batuan tersebut sudah tidak mampu untuk menerima tekanan, maka akan muncul retakan dan terjadi gempa vulkanik.

"Aktivitas seismiknya masih tinggi, kubah lava Merapi belum muncul atau belum ada," kata Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Hanik Humaida saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (12/11/2020).

Dia menjelaskan, saat ini tingkat keaktifan gunung Merapi melebihi data seismik pada 2006 lalu tapi tidak sedahsyat yang terjadi tahun 2010. Dalam kejadian 26 Oktober 2010 itu, sedikitnya 353 orang tewas termasuk Mbah Maridjan.

Hanik sebelumnya mengatakan, menurut data-data yang ada, volume magma Gunung Merapi kali ini melebihi 2006. Namun begitu, dia menekankan, bahwa volume pasti magma tersebut masih belum diketahui secara jelas.

"Oh belum, volume magmanya belum. Ini yang melebihi dari 2006 itu data-data seismiknya. Untuk volume kubah lavanya saya sampaikan tadi, belum muncul. Jadi kita belum tahu," ujar dia.

Dia lantas membandingkan data-data seismik Gunung Merapi antara 2006, 2010, dan 2020. Hanik memaparkan, kondisi gunung tersebut sebelum kubah lava muncul pada 26 April 2006 lalu, dalam rata-rata tiga hari tercatat VA: 0, VB: 6, MP: 193, LF: 1, RF: 20, dengan laju pemendekan dari Babadan tercatat 1cm/hari.

"Kemudian kondisi Merapi menjelang erupsi tanggal 26 Oktober 2010, rata-rata tiga hari BPPTKG mencatat VA: 7, VB: 120, MP: 579, LF: 1, RF: 227, dengan laju pemendekan tercatat dari Kaliurang sebesar 23cm/hari," lanjut dia.

Sedangkan kondisi saat ini data rata-rata 3 hari hingga tanggal 11 November 2020 pukul 15.00 WIB, tercatat VA: 0, VB: 33, MP: 341, LF: 2, RF: 45, dengan laju pemendekan dari Babadan sebesar 12 cm/hari.

""Kemiripannya seperti 2006 namun demikian karena ini datanya sudah melampaui tahun 2006 potensi untuk eksplosif itu juga masih ada. Namun, lebih rendah daripada kondisi erupsi menjelang tahun 2010," sambungnya.

Dia mangungkapkan dari prakiraan bahaya bila erupsi terjadi, wilayah yang terdampak berada pada jarak lima kilometer dari Gunung Merapi. "Bukan radius 5 kilometer," ucap dia.

Sementara di sisi Utara Gunung Merapi, berdasar sejarah erupsi, kata Hanik, kemungkinan kecil terdampaknya tidak sejauh lima kilometer.

"Nah ancaman saat ini, skenario yang ada tentunya kalau terjadi ekstrusi (peristiwa keluarnya magma ke permukaan bumi). Padanananya kan 2006, pada tahun itu adalah ada ekstrusi magma, yang kala itu ada kecepatan magma tertentu," ujar dia.

Hanik melanjutkan, skenario dibuat bila tingkat ekstrusinya melonjak hingga 100 ribu meter per hari. Kemudian kubah lava yang memenuhi kawah mencapai 10 juta meter kubik dengan material yang akan dilontarkan perkiraan mencapai 50 persen.

Jadi, ucap dia, bahaya yang terjadi adalah di Kali Woro (sejauh) 6 km, Kali Gondol 9 km, Kali Opak 6 km, Kali Kuning 7 km, Kali Boyong 6,5 km, Kali Krasak, 7 km, Kali Putih 5 km, Kali Senowo 8 km, Kali Trising 7 km, Kali Apu 4 km.

"Ini ancaman bahayanya. Kalau nanti ada pertumbuhan kubah lava, tentunya kita melihat kecepatannya seberapa dan nanti volume maksimumnya berapa," ujar dia.

Guguran lava yang terjadi saat ini, lanjut Hanik, dominannya adalah ke Senowo, Lamat, Gendol dengan jarak maksimal tiga kilometer.

Dia mengungkapkan sejumlah hal yang hang harus dilakukan saat siaga ini. Yaitu menghentikan penambangan di alur-alur sungai yang berhulu di Gunung Merapi. Kemudian tidak melakukan pendakian dan tidak berkegiatan di daerah bahaya.

"Segera mengungsi jika terjadi guguran lava atau awan panas yang terus menerus," imbau Hanik.

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Infografis Potensi Letusan Gunung Merapi Lebih Hebat dari 2006? (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Potensi Letusan Gunung Merapi Lebih Hebat dari 2006? (Liputan6.com/Trieyasni)

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:

Siklus yang Normal

Gunung Merapi Erupsi
Abu tipis terdistribusi di beberapa wilayah sekitar lereng Gunung Merapi. (Foto: Humas BNPB)

Sementara itu, Ahli Vulkanologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Agung Harijoko menilai, kondisi Gunung Merapi yang terjadi saat ini merupakan siklus yang terbilang wajar. Erupsi Merapi memiliki pengulangan yang kurang dari 10 tahun.

"Kalau kalau kita tengok ke belakang, berarti yang erupsi besar kan tahun 2010, dan 2006, jadi memang Merapi itu punya pengulangan erupsi. Nah kemudian orang menanyakan setelah 2010, udah kurang lebih 10 tahun kok aktivitas eksplose-nya kecil seperti itu. Kemudian di tahun 2020 ini jumlah seismiknya naik terus," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Kamis (12/11/2020).

"Jadi kalau kenaikannya mau dikatakan siklus, ya (benar)," imbuh dia.

Agung menuturkan, Merapi saat akan meletus biasanya diawali dengan pembentukan kubah lava yang kemudian meleleh ke bawah. Namun kebiasaan itu seolah 'dilanggar' Merapi saat meletus pada 2010.

"Di 2010, di mana ada erupsi eksplosifnya. Erupsi itu bukan pertama kali. Pernah terjadi pada 1872. Jadi kelihatannya Merapi menunjukkan pengulangan erupsinya itu berbeda dengan erupsi-erupsi yang lain," kata dia.

Agung menerangkan, erupsi gunung terjadi lantaran adanya magma yang bergerak naik. Gerakan itu selalu mendapatkan suplai magma baru. Kemudian magma di dapur magma itu lantas sudah penuh sehingga bergerak naik ke permukaan. Magma-magma itulah yang mengisi dapur magma Merapi kurang lebih 4 sampai 10 tahun.

"Jadi pergerakan magma inilah yang menyebabkan adanya erupsi. Magmanya keluar pada waktu itu ada yang kalem membentuk kubah lava, ada juga yang dengan erupsi karena energinya sangat besar," ujar dia.

Terkait dengan seberapa bahaya jika Gunung Merapi erupsi, Agung menilai tergantung dari cara Merapi mengeluarkan isi perutnya. Bila selama erupsinya kalem dengan membentuk lava, bahaya yang terjadi yaitu saat magma di kuba lava itu luber. Saat kuba lava runtuh, magma akan membuat awan panas.

"Karena kuba lava itu walaupun keliatannya sudah membeku waktu muncul di permukaan, tapi itu hanya kulit luarnya saja. Dalamnya tuh magma cukup panas. Nah sehingga kalau kemudian ini runtuh karena mungkin tempatnya di puncak gunungnya tadi sudah tidak cukup lagi menampung, ya dia akan mulai ada guguran, ada runtuhan. Nah runtuhannya inilah yang membuat awan panas. Kalau runtuhnya langsung brek, banyak, maka dia akan membuat awan panas yang persis tahun 2006 lalu," terang dia.

Kondisi Merapi saat ini disebut memiliki padanan dengan 2006. Agung lantas mengungkapkan kondisi erupsi Merapi yang terjadi kala itu. Kata dia, pada 2006 lalu, kubah lava Merapi runtuh sampai sekitar radius 5 hingga 6 kilometer. Kala itu jangkauan volume lavanya sejauh itu.

"Jadi kalau kubah lava runtuh itu, biasanya dia mengalirnya kemudian terbatasi oleh suatu kanal, banyak alur-alur sungai. Kebetulan 2006 itu, puncak dari Merapi itu kan yang ada kubah lavanya ini terhubungnya ke hulu Kali Gendol. Sehingga dominannya akan mengalir ke Kali Gendol," ujar dia.

"Intinya daerah-daerah radius sampe 6 kilometer mas. Jarak bahaya ini kan dipengaruhi volume kubah, makin besar kubahnya, ya dia mengalirnya akan lebih semakin jauh," kata dia.

Agar dampak bencana ini dapat diminimalisir tanpa menelan korban, dia menyarankan agar instansi terkait, seperti BPPTKG agar terus memonitoring perkembangan Gunung Merapi. Nantinya, dengan data yang dimiliki, BPPTKG dapat memberikan instruksi peringatan bahaya di kala waktu yang tepat.

"Jadi kapan, apakah ini sudah harus evakuasi atau belum, itu rekomendasinya dari BPPTKG," kata dia.

Rekomendasi itu dapat diberikan kepada pemerintah daerah maupun provinsi kemudian juga mungkin ke tingkat dua. Sedangkan jika ada bahaya-bahaya pada tingkat kelurahan, sudah ada komunikasi langsung di BPPTKG.

"Selain itu juga dengan BPBD. Jadi nanti BPBD yang mestinya mulai siap siaga menyiapkan segala sesuatunya termasuk persiapan-persiapannya nanti jika suatu saat ada erupsi. Pengungsian, di mana mereka akan diungsikan," kata dia.

Lebih 1.000 Warga Dievakuasi

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 1.294 warga dievakuasi ke 4 kabupaten akibat meningkatnya aktivitas Gunung Merapi.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 1.294 warga dievakuasi ke 4 kabupaten akibat meningkatnya aktivitas Gunung Merapi. (Humas BNPB)

Kepala Bidang Penanganan Darurat BPBD DIY, Danang Samsurizal mengungkapkan saat ini pihaknya terus mendukung dan menyuplai kebutuhan daerah yang terdampak Gunung Merapi. Namun begitu, kendali tetap berada di tangan pemerintahan Kabupaten.

"Sleman siaga, diterbitkan status tanggap darurat Merapi. Sudah ada pengungsian. Pemprov sifanta mendukung kebutuhan, membantu, misalnya diperlukan pemetaan, kita dorong tim ke sana. Ada beberapa logistisk yang didorong di sana. Kita hanya melengkapi, tapi kendali di kabupaten," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (12/11/2020).

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 1.294 warga dievakuasi ke 4 kabupaten akibat meningkatnya aktivitas Gunung Merapi. Mereka yang dievakuasi sebagian besar merupakan kelompok rentan, seperti lanjut usia, anak-anak, balita, ibu hamil, disabilitas dan ibu menyusui.

Keempat kabupaten itu yakni Boyolali, Magelang, Klaten dan Sleman. Jumlah total warga yang dievakuasi tertinggi di Kabupaten Magelang dengan jumlah 835 jiwa, disusul Sleman 203, Boyolali 133 dan Klaten 123.

"Mereka tersebar di tempat evakuasi sementara (TES) maupun tempat evakuasi akhir (TEA)," tulis Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Raditya Jati dalam pernyataan resmi diterima di Jakarta, Rabu, 11 November 2020 malam.

Raditya menastikan kebutuhan makan dan minum tersedia untuk para warga di tempat penampungan. Para sukarelawan membantu dalam penyediaan bahan baku seperti sayuran, dan juru masak yang diproses di dapur umum atau pun mobil dapur lapangan.

Selain itu, pos pendukung di tempat penampungan tersedia dan siap untuk memberikan pelayanan, seperti pos kesehatan yang siaga 24 jam. Tampak pos-pos pendukung di salah satu TEA di Desa Banyurojo, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Pihak pemerintah desa tidak hanya menyiapkan tempat tetapi tenaga serta pelayanan kepada para warga yang harus dievakuasi akibat meningkatnya aktivitas Gunung Merapi.

"Ini menjadi bukti kuatnya sister village dalam konteks kebencanaan, warga dari suatu desa membantu warga desa lainnya," ujar Raditya.

Dalam upaya kesiapsiagaan maupun penanganan darurat akibat erupsi Gunung Merapi, empat kabupaten tersebut telah menetapkan status keadaan darurat, baik siaga maupun tanggap darurat. Status tersebut akan mempermudah BPBD dalam aksesibilitas sumber daya maupun akuntabilitas dalam penyelenggaraan operasi tanggap darurat.

"Pada masa kesiapsiagaan, BPBD terus mengevaluasi tantangan yang dihadapi apabila kondisi semakin kritis, seperti jalur dan transportasi evakuasi, jalur dan peralatan komunikasi, maupun penerapan protokol Kesehatan saat proses evakuasi maupun di tempat penampungan," kata dia.

Sementara, berdasarkan aktivitas vulkanik Gunung Merapi pada Rabu, 11 November 2020, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi menyebut prakiraan daerah bahaya meliputi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan detail wilayah Desa Glagaharjo (Dusun Kalitengah Lor); Desa Kepuharjo (Dusun Kaliadem); Desa Umbulharjo (Dusun Palemsari) di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.

Provinsi Jawa Tengah mencakup tiga kabupaten, yakni Magelang, Boyolali dan Klaten. Detail rincian wilayah sebagai berikut Desa Ngargomulyo (Dusun Batur Ngisor, Gemer, Ngandong, Karanganyar); Desa Krinjing (Dusun Trayem, Pugeran, Trono); Desa Paten (Babadan 1, Babadan 2) di Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.

Desa Tlogolele (Dusun Stabelan, Takeran, Belang); Desa Klakah (Dusun Sumber, Bakalan, Bangunsari, Klakah Nduwur); Desa Jrakah (Dusun Jarak, Sepi) di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali.

Desa Tegal Mulyo (Dusun Pajekan, Canguk, Sumur); Desa Sidorejo (Dusun Petung, Kembangan, Deles); Desa Balerante (Dusun Sambungrejo, Ngipiksari, Gondang) di Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten.

Di samping itu, BPPTKG merekomendasikan penambangan di alur sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) III direkomendasikan untuk dihentikan. Pelaku wisata agar tidak melakukan kegiatan wisata di KRB III Gunung Merapi, termasuk kegiatan pendakian ke puncak gunung.

Terakhir, Pemerintah Kabupaten Sleman, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten agar mempersiapkan segala sesuatu yang terkait dengan upaya mitigasi bencana akibat letusan Gunung Merapi yang bisa terjadi setiap saat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya