Guru Besar UI Kritisi Ketidakcermatan dalam Penyusunan Statuta UI Terbaru

Guru Besar FISIP Universitas Indonesia (UI) Sudarsono menyayangkan ketidakcermatan dalam penyusunan PP Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI yang menggantikan PP Nomor 68 Tahun 2013.

oleh Yopi Makdori diperbarui 28 Jul 2021, 08:24 WIB
Diterbitkan 28 Jul 2021, 08:24 WIB
Ratusan Mahasiswa Deklarasikan Gerakan Antikorupsi
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Ikatan Alumni (ILUNI) Universitas Indonesia (UI) lintas almamater mengelar Rapat Akbar Gerakan Anti Korupsi (GAK) Nasional di kampus UI Salemba, Jakarta, Jumat (20/3/2015). (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) Sudarsono menyayangkan ketidakcermatan dalam penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI yang menggantikan PP Nomor 68 Tahun 2013. Hal ini tampak dari Pasal 41 ayat (5) dalam aturan tersebut.

Pasal dimaksud berbunyi: "Rektor sebagai pimpinan satuan pendidikan tinggi berhak mengangkat dan/atau memutuskan jenjang jabatan akademik, termasuk jabatan fungsional peneliti, fungsional lektor kepala, dan guru besar, berdasarkan hasil penilaian terhadap kualifikasi akademik, kompetensi, dan pengalaman yang dimiliki."

"Sayang sekali, rumusan pasalnya sangat bermasalah, khususnya terkait dengan frasa 'mengangkat dan/atau memutuskan', yang dinilai mengandung kelemahan mendasar dari sudut pandang hukum administrasi," ujar Sudarsono dalam keterangan tulis, Rabu (28/7/2021).

Bila Pasal 41 ayat (5) itu dimaksudkan untuk mengatur kewenangan rektor terkait promosi pejabat fungsional UI, maka kata Sudarsono, paket pengaturannya adalah juga harus termasuk demosi, bahkan mestinya juga mutasi dan pemberhentian. Frasa 'mengangkat' dalam Pasal 41 ayat (5) tentu hanya terkait dengan promosi.

"Pertanyaannya, di mana pasal yang mengatur tentang demosi? Apakah kata 'memutuskan' itu yang dimaksud sebagai kewenangan demosi? Atau mungkin 'memutuskan' itu dimaksudkan sebagai pemberhentian? Jelas, rumusan ini sangat membingungkan," tuturnya.

Ia mengatakan, jika tindakan rektor sebagai pejabat administrasi, saat melakukan promosi pejabat fungsional UI dengan cara 'mengangkat', pasti dibarengi dengan tindakan 'memutuskan'. Dengan produk hukum berupa 'surat keputusan', yang memiliki kapasitas beschikking, bukan regelling.

Kalau frasa 'mengangkat dan memutuskan', masih dapat dimengerti tindakan hukumnya, yaitu saat rektor akan melakukan promosi, misalnya seorang dosen dari jabatan Lektor Kepala menjadi Guru Besar.

"Sebaliknya, frasa 'mengangkat atau memutuskan' itu rumusan yang sangat bermasalah. Saya kira Rektor UI juga akan bingung membayangkan seperti apa bentuk tindakan hukum 'mengangkat atau memutuskan' itu? Kalau kedua kata itu dipisah pun, antara 'mengangkat' dengan 'memutuskan', juga sangat bermasalah, lucu, dan tidak masuk akal. Inilah contoh nyata betapa PP 75/2021 disusun dengan cara yang tidak cermat," kata Sudarsono.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Tidak Ada Aturan Demosi

Kampus Universitas Indonesia (UI) (Doc. Universitas Indonesia)
Kampus Universitas Indonesia (UI) (Doc. Universitas Indonesia)

Masalah lain yang dianggap sangat serius dalam Pasal 41 ayat (5) PP 75/2021 ini, menurut Sudarsono adalah tidak adanya pengaturan tentang demosi. Ia mempertanyakan menjadi kewenangan siapa demosi itu. Dalam PP 75/2021 wewenang itu dianggapnya tidak jelas.

"Bila kelak timbul sengketa demosi, misalnya antara seorang dosen dengan pimpinan Departemen, Fakultas atau pimpinan UI, kemudian dibawa ke PTUN, pertanyaannya: hakim TUN, dan para pihak yang berperkara akan bekerja berdasarkan pasal mana?" kata Sudarsono.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya