Jakarta - Pulang dari kampus, Pratiwi Sudarmono sedikit lelah. Capek mengajar seharian. Di benaknya, ia hanya ingin cepat-cepat pulang, istirahat, sambil mengisi tenaga untuk hari esok.
Di tengah perjalanan, Pratiwi mampir ke loper koran langganan. Tujuannya sederhana. Ia ingin membaca berita dulu sebelum tiba di rumah.
Advertisement
Baca Juga
Tapi, alangkah kagetnya Pratiwi ketika dia membaca namanya dalam sebuah berita. Ia terpilih sebagai wakil Indonesia dalam misi Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (AS) atau NASA ke luar angkasa dengan pesawat ulang-alik Columbia di tahun 1986.
"Antara percaya dan enggak percaya juga. Saya tahu nilainya bagus ketika seleksi, tapi enggak tahu kalau akan terpilih," kata Pratiwi menceritakan kisahnya 36 tahun lalu, kepada Liputan6.com.
Pratiwi sangat bahagia lolos seleksi. Baginya, menjadi astronot bak impian yang jadi kenyataan. Dari 207 orang yang diseleksi, Pratiwi yang merupakan pendaftar terakhir ternyata berhasil mendapatkan "tiket emas" tersebut.Â
Wanita yang kini merupakan profesor mikrobiologi di Universitas Indonesia tersebut menceritakan, proses seleksi menjadi astronot sangat berat. Semua aspek dari fisik hingga psikologi diperiksa.
Mulai dari kesehatan umum, kecerdasan umum, kemampuan bahasa Inggris, kemampuan berada dalam tekanan, fisiologi penerbangan, gravitasi, latihan keseimbangan, bernapas dengan tipisnya udara hingga mempelajari sistem kerja pesawat ulang-alik.
"Seleksinya itu sampai satu tahun. Tidak hanya di Indonesia, kami dibawa ke Houston (AS) juga," ucap dia.
Impian yang Nyaris Tercapai
Pratiwi saat itu terpilih dalam misi NASA bertajuk STS-61-H. Misi ini bertujuan membawa tiga satelit komersial, yaitu Skynet 4A, Westar 6S dan Palapa B3. Yang terakhir, merupakan satelit milik Indonesia.
Pemerintah Indonesia merasa perlu melibatkan astronot sendiri dalam misi tersebut dan terpilihlah Pratiwi. Ia akan berperan sebagai Payload Specialist (Spesialis Muatan).
Selain Pratiwi, ditunjuk pula Taufik Akbar, seorang insinyur telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung. Taufik akan mendampingi Pratiwi sekaligus menjadi awak cadangan.
Sayangnya, mimpi Pratiwi seketika buyar. Terjadi insiden beberapa bulan sebelum Satelit Palapa B-3 diberangkatkan.
Tepatnya 28 Januari 1986, pesawat ulang-alik Challenger milik AS yang hendak menunaikan misi lain, yakni STS-51-L, meledak di udara hanya 73 detik setelah diluncurkan pada ketinggian 15 kilometer. Tujuh orang kru menjadi korban.
"Ketika Challenger meledak, saya nonton lewat televisi di Indonesia. Sedih sekali karena tujuh orang itu teman saya. Setiap hari interaksi dan latihan bersama mereka," ucap Pratiwi.
Insiden yang menimpa Challenger ini membuat NASA membatalkan beberapa penerbangan ke luar angkasa selanjutnya, termasuk agenda penerbangan Columbia yang sedianya bakal membawa Pratiwi ke luar angkasa pada 24 Juni 1986.
Meski gagal terbang pada 1986, Pratiwi bertahan di Amerika dan menjalani latihan seperti biasa. Sebab, saat itu tidak ada kejelasan dari pihak NASA.
"Saya juga ikut bekerja di Space Biology Lab di komplek NASA. Pada 1997, baru misinya benar-benar selesai dan Pak Habibie minta berhenti dulu karena krisis moneter," ucapnya.
Pulang dari Amerika, Pratiwi balik ke kampus. Ia kembali menekuni aktivitasnya sebagai ilmuwan serta pengajar hingga saat ini.
Jadi Inspirasi
Kendati batal ke luar angkasa, pencapaian Pratiwi ternyata menjadi inspirasi bagi anak-anak muda di tanah air kala itu. Menurut cerita Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaludin, banyak yang bercita-cita menjadi astronot setelah mengetahui kisah Pratiwi.
Hal ini diketahui Thomas, karena pada tahun 1980-an ke atas, yang mendaftar jurusan astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB) meningkat luar biasa.
Bahkan, pada waktu itu passing grade untuk masuk astronomi ITB jadi salah satu tertinggi, karena peminat yang banyak, tapi jumlah yang diterimanya sedikit.
"Ternyata setelah mereka masuk, itu banyak yang ketika diwawancara, itu banyak juga yang salah mengira. Dikiranya jurusan astronomi ITB itu nantinya untuk menjadi astronot," ucap Thomas kepada Liputan6.com.
Advertisement
Menakar Peluang ke Luar Angkasa
Setelah Pratiwi batal ke luar angkasa pada 1986, belum ada satu pun orang Indonesia melakukannya. Sempat muncul nama Rizman Adhi Nugraha, yang pada Desember 2015 disebut-sebut akan jadi orang Indonesia pertama yang ke luar angkasa, setelah memenangi kontes sebuah merek parfum. Namun, rencana itu sampai sekarang belum terealisasi. Padahal, Rizman telah lulus berbagai persyaratan.
Selain itu, pria asal Bangka Belitung tersebut juga sudah terbang ke Florida, AS, untuk mengikuti pelatihan dan seleksi di Global Space Camp. Dia melalui ujian mental dan fisik khas astronot hingga mampu mengemudikan pesawat Air Combat AS. Pelatihan Rizman dan peserta lainnya di Florida dipimpin astronot senior AS, Buzz Aldrin.
Pada Desember 2015, dia rencananya terbang ke luar angkasa bersama seorang pilot dengan pesawat luar angkasa XCOR Lynk Mark II, yang akan menerbangkan Rizman setinggi 103 km dari Bumi untuk menembus batas luar angkasa selama 60 menit. Tapi, sampai saat ini Rizman belum juga terbang seperti yang dijanjikan.
Mahalnya biaya konon jadi masalah Rizman tidak juga berangkat. Untuk memiliki proyek ke luar angkasa, memang dibutuhkan dana yang fantastis. Demikian pula untuk mengirim satu astronot.
Lalu, mengapa pada 1986 ketika Pratiwi hendak terbang ke luar angkasa, dananya kala itu tersedia?
Menurut Thomas Djamaludin, rencana mengirim Pratiwi sebagai astronot untuk ke luar angkasa dikaitkan dengan peluncuran Satelit Palapa pada waktu itu.
"Jadi, anggarannya sebetulnya menumpang bersamaan dengan anggaran peluncuran satelit," ungkap Thomas.
Bukan Prioritas
Saat ini, program untuk memberangkatkan astronot Indonesia ke luar angkasa belum ada. Menurut Thomas, program keantariksaan Indonesia merujuk kepada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan, dan Rencana Induk Penyelenggaraan Keantariksaan 2016-2040.
Di dalam Rencana Induk Penyelenggaraan Keantariksaan 2016-2040 itu terdapat lima kegiatan mencakup sains antariksa, penginderaan jauh, pengembangan teknologi antariksa yaitu roket, satelit, dan aeronotika. Lalu, ada kegiatan peluncuran. Dan yang kelima yakni kegiatan komersialisasi keantariksaan.
Thomas menyatakan, LAPAN telah melaksanakan kegiatan pertama hingga ketiga, sedangkan kegiatan keempat dan kelima tengah dipersiapkan.
Belakangan juga ada wacana untuk pengiriman astronot, meski sebenarnya dari segi program keantariksaan atau Rencana Induk Penyelenggaraan Keantariksaan, hal itu belum ada. Prioritas sekarang adalah pengembangan teknologi dan pemanfaatan IPTEK penerbangan dan antariksa.
"Karena masalah skala prioritas. Program keantariksaan kan mahal ya, sehingga pengiriman astronot itu belum dimasukkan dalam perencanaan," tuturnya.
Pada Januari 2020, beredar kabar bahwa lembaga antariksa Rusia, Roscosmos, mengajak kerjasama untuk memberangkatkan astronot dari Indonesia. Namun, Thomas menyebut, hingga hari ini LAPAN belum pernah menerima atau ditawari pembicaraan langsung untuk program kosmonot oleh Rusia. Kerjasama LAPAN dengan Roscosmos sejauh ini hanya terkait pengembangan sains dan pemanfaatan antariksa.
Realitanya, mungkin masih akan lama astronot dari Indonesia ke luar angkasa. Hal itu karena belum ada programnya dan anggarannya sangat mahal.
Kiprah Negara Asia
Di Asia sendiri, negara-negara besar sudah beberapa kali mengirim astronot mereka ke luar angkasa. Sebut saja Jepang, Korea Selatan, atau Tiongkok.
Tiongkok bahkan baru Juni tahun lalu, kembali mengirim tiga astronot mereka ke luar angkasa lewat misi Shenzhou 12. Ini merupakan ketujuh kalinya misi ke luar angkasa untuk Tiongkok dan Program Shenzhou.
Dalam waktu dekat, India juga siap menyusul pergerakan Tiongkok. Mereka bersiap mengirim wakilnya ke luar angkasa lewat misi Gaganyaan, yang artinya adalah "kendaraan langit".
India sendiri pertama kali mengirim astronot mereka ke luar angkasa pada tahun 1984. Ketika itu, Rakesh Sharma terbang ke luar angkasa dengan pesawat milik Rusia, Soyuz T-11/Salyut 7.
Sementara orang Asia pertama yang terbang ke luar angkasa adalah Pham Tuan, asal Vietnam. Pada tahun 1980 dia menjadi salah satu dari enam awak misi Soyuz 37 milik Rusia yang terbang ke luar angkasa.
Tetangga serumpun Indonesia, Malaysia, juga sudah menjejakkan astronot mereka ke luar angkasa. Pada tahun 2007, Sheikh Muszaphar Shukor terbang ke luar angkasa bersama astronot asal Rusia dan Amerika Serikat menumpang pesawat luar angkasa Soyuz TMA-11.
Shukor bisa ikut terpilih sebagai salah satu antariksawan berkaitan dengan paket pembelian pesawat tempur Sukhoi Rusia oleh Malaysia. Shukor membawa misi dalam hal pengembangan bidang kesehatan pada gravitasi rendah luar angkasa.
Biaya Besar
Lalu, berapa sebenarnya dana yang mesti dikeluarkan untuk menerbangkan satu astronot ke luar angkasa?
Thomas Djamaludin sendiri mengaku belum tahu pasti jumlah uang yang harus dikeluarkan, meskipun ia sempat beberapa kali menanyakan soal ini ke negara lain. Dia hanya memperkirakan, biaya pengiriman satu astronot kemungkinan dapat setara dengan ongkos membuat dan meluncurkan satu satelit.
Pada 2001, pengusaha AS, Dennis Tito dilaporkan membayar US$20 juta atau setara Rp287 miliar untuk diterbangkan ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) dan kembali ke Bumi.
Keberangkatan Tito ke luar angkasa sebagai bagian dari perjanjian dengan perusahaan pariwisata luar angkasa Space Adventures Ltd. dan Program Antariksa Rusia.
Kini, AS dan Rusia juga sudah memiliki program yang menawarkan wisata luar angkasa. NASA sejak tahun lalu memasang tarif US$60 juta atau Rp863 miliar bagi wisatawan yang ingin mengunjungi Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).
Apabila wisatawan itu ingin merasakan sensasi menginap di Stasiun Luar Angkasa, maka NASA mengenakan biaya akomodasi US$35 ribu atau Rp503 juta per malam. Ini menjadi kesempatan bagi para astronot swasta, tentunya selama mereka punya uang untuk membayarnya.
Bila melihat mahalnya ongkos ke luar angkasa, maka peluang astronot Indonesia ke luar angkasa cukup berat. Apalagi bila melihat anggaran LAPAN yang hanya Rp840 miliar untuk tahun 2021. Itu pun harus dipotong lagi demi refocusing anggaran penanganan COVID-19. Sementara untuk 2022, LAPAN mengusulkan anggaran sekitar Rp2,4 triliun.
Advertisement
Mimpi Jadi Astronot
Entah berapa banyak anak yang bercita-cita menjadi astronot. Bayangan tentang luar angkasa dan terbang dengan roket mungkin menjadi mimpi dari sebagian anak-anak Indonesia.
Thomas Djamaludin mengatakan, antusiasme generasi muda Indonesia terhadap bidang keantariksaan terus meningkat. Itu terlihat ketika LAPAN menggelar kegiatan-kegiatan edukasi publik. "Banyak anak-anak yang bertanya ke kita soal caranya menjadi astronot."Â
Selain itu, pengaruh media sosial dan internet turut mendorong dan memberikan inspirasi kepada generasi muda untuk mempelajari dan menguasai aspek sains dan teknologi. "Jadi cita-cita untuk menjadi astronot (minatnya) cukup besar juga."
Sekarang, kata Thomas, mulai banyak yang memahami astronomi atau ilmu yang mempelajari tentang benda-benda langit. Fenomena ini juga diikuti dengan bermunculannya grup-grup astronomi amatir di tanah air.
Tidak sedikit pula anak-anak yang ingin bergabung dengan LAPAN, karena tertarik mengembangkan teknologi keantariksaan seperti roket dan satelit.
Syarat Jadi Astronot
Thomas mengatakan, yang diutamakan untuk menjadi astronot adalah fisik dan intelektualitas. Sementara untuk latar belakang astronot sesungguhnya bermacam-macam.
Pria lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) mengambil contoh di sejumlah negara, banyak tentara atau pilot banyak yang menjadi astronot. Sebagian juga datang dari kalangan peneliti seperti Pratiwi Sudarmono, yang merupakan ilmuwan, namun memenuhi syarat dari segi fisik dan psikologis.
Setidaknya dari pengalaman astronot-astronot yang pernah dikirim oleh beberapa negara, profesinya ada yang dokter, pilot pesawat tempur, ilmuwan, bahkan guru.
Yang terpenting, orang tersebut punya intelektualitas memadai dalam menerima pelatihan-pelatihan dan instruksi-instruksi untuk menjalankan misi di antariksa. "Jadi, tidak ada profesi khusus atau pendidikan khusus yang dipersyaratkan untuk menjadi astronot," tutur Thomas.
Mimpi dan cita-cita anak Indonesia ke luar angkasa tentu saja tidak boleh dibuyarkan dengan kenyataan bahwa pemerintah belum memprioritaskan program pengiriman astronot. Tidak salah apabila kita mendorong pemerintah untuk lebih serius mendukung pengembangan teknologi penerbangan dan antariksa. "Kalau mimpi (jadi astronot) gratis ya. Tapi kalau untuk jadi astronot, yang penting harus ada anggarannya," pungkas Thomas Djamaludin.