Kemenag Sebut Pemilihan Rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Merujuk Peraturan Menag

Dirjen Pendidikan Islam Kemenag M Ali Ramdhani memastikan, pemilihan rektor Perguruan Tinggi Keagamaan (PTK) tetap merujuk pada Peraturan Menteri Agama (PMA).

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 15 Nov 2022, 08:51 WIB
Diterbitkan 15 Nov 2022, 08:50 WIB
Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) M Ali Ramdhani
Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) M Ali Ramdhani (Dokumentasi Kemenag)

Liputan6.com, Jakarta - Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) M Ali Ramdhani memastikan, pemilihan rektor Perguruan Tinggi Keagamaan (PTK) tetap merujuk pada Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua pada PTK yang Diselenggarakan Pemerintah, yang terbit pada 2015.

"Saat ini, antara lain sedang berjalan pemilihan Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta. Prosesnya sudah memasuki fit and proper test yang dilakukan oleh Komisi Seleksi. Sejauh ini, Kemenag menilai PMA No 68 Tahun 2015 masih relevan sehingga proses pemilihan tetap merujuk pada regulasi yang ada," tutur Ali kepada wartawan, Selasa (15/11/2022).

Menurut Ali, PMA Nomor 68 Tahun 2015 mengatur bahwa pemilihan Rektor PTK dilakukan melalui tiga tahap utama. Pertama adalah penilaian administrasi dan kualitatif yang dilaksanakan oleh senat PTK, yang hasil dari proses yang berlangsung di senat tersebut kemudian dikirim ke Kemenag.

"Jadi pelibatan senat justru dilakukan sejak awal. Senat lah yang memberikan penilaian awal tentang kelayakan para calon rektor," jelas dia.

Kemudian tahap kedua adalah fit and proper test yang dilakukan Komisi Seleksi (Komsel) untuk menetapkan para calon yang sebelumnya disaring senat PTK dan ditetapkan masuk tiga besar. Hasil proses tersebut pun selanjutnya disampaikan ke Menteri Agama (Menag).

"Komsel beranggotakan tujuh orang yang dinilai memiliki integritas, kapasitas, kapabilitas, dan pengalaman menjadi pimpinan perguruan tinggi. Ada juga unsur birokrasi Kementerian Agama. Anggota Komsel rata-rata berasal dari kampus, dan seluruhnya adalah Guru Besar," kata Ali.

"Jadi Komsel tentu bukan orang sembarangan. Mereka diberi tanggung jawab untuk memilih tiga orang dari calon yang sebelumnya diseleksi Senat PTK," sambungnya.

Adapun proses fit and proper test calon rektor UIN Jakarta disebutnya akan dilaksanakan di BSD, Tangerang.

Meminimalisir potensi politisasi

Kemudian yang ketiga, Menag memilih satu dari tiga nama yang diusulkan oleh Komsel. Ali menegaskan, dalam rantai pemilihan rektor memang PMA Nomor 68 Tahun 2015 menempatkan Menag pada ujung proses.

"Seleksi awal dilakukan Senat PTK, lalu diuji Komsel, baru pada akhir proses, Menteri Agama diberi kewenangan menetapkan satu dari tiga pilihan Komsel," ujar Ali.

Mekanisme itu diharapkan dapat meminimalisir potensi politisasi dalam proses pemilihan rektor. Dalam beberapa tahun terakhir, kata Ali, seringkali terjadi proses politisasi dalam pemilihan rektor.

Bahkan, tidak jarang hal itu memunculkan perpecahan. Padahal, kampus adalah lembaga akademik bukan lembaga politik.

"Saya melihat PMA 68/2015 dalam semangat mengembalikan kampus sebagai civitas akademika, bukan civitas politika," terangnya.

Adapun terkait masukan sejumlah pihak tentang PMA Nomor 68 Tahun 2015, Ali menyatakan Kemenag menaruh apresiasi dan berharap masukan tersebut dapat disampaikan secara akademik, berbasis data dan kajian, serta jauh dari prasangka.

"Beragam masukan kita terima. Sebagai regulasi, PMA 68/2015 terbuka untuk dikaji. Tapi mohon hal tersebut dilakukan secara akademik," Ali menandaskan.

Saiful Mujani Kritik Pemilihan Rektor UIN oleh Menag

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Saiful Mujani melontarkan kritik atas pemilihan rektor kampus UIN yang langsung ditunjuk oleh Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas. Lewat akun Twitter pribadinya @saiful_mujani, Ia mengatakan cara pemilihan itu disebutnya jahiliah.

Awalnya, Saiful mengaku mendapatkan kabar bahwa proses seleksi calon rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tempatnya mengajar, akan dilaksanakan di Hotel Sangrila Surabaya.

Dia mempertanyakan mengapa pelaksanaannya tidak di Departemen Agama (Depag) Jakarta atau UIN Ciputat saja, sementara calon dan tim penyeleksinya sendiri hampir seluruhnya dari Depag Jakarta.

"Prosedur pemilihan rektor di UIN atau di bawah Depag pada intinya tak ditentukan oleh pihak UIN sendiri seperti oleh senat, melainkan oleh Menteri Agama seorang diri. Mau-maunya menteri saja mau milih siapa. UIN dan senat Universitas tidak punya suara. Ini seperti lembaga jahiliah," tulis Saiful seperti dikutip Liputan6.com, Selasa (15/11/2022).

Menurut Saiful, dalam prosesnya pihak senat UIN hanya mencatat siapa saja yang mendaftar dan memenuhi persyaratan calon rektor. Selanjutnya, hasil inventaris senat diberikan rektor ke Depag untuk diseleksi oleh tim.

Tim tersebut kemudian memilih beberapa nama untuk diajukan ke Menag. Ujungnya, menteri sendiri yang akan memilih dan menentukan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selanjutnya.

"Transparansi tak nampak. Kasak kusuk lobby alternatifnya. Sebagai guru di kampus ini malu rasanya. Saya pernah bersuara agar pemilihan rektor dengan cara jahiliah itu diboikot saja. Tapi ga ada yang dengar," katanya.

Padahal, lanjut Saiful, pemilihan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selalu dipilih oleh senat guru besar.

"Sebelum kebijakan cara pemilihan rektor seperti sekarang, rektot UIN/IAIN dipilih oleh senat guru besar, dan telah melahirkan rektor-rektor yang kami hormati, banggakan, dan cintai seperti prof Harun Nasution, prof Quraish Shihab, prof Azyumardi Azra, prof Komaruddin Hidayat," tutup Saiful.

Infografis Rektor Asing di Kampus Negeri, Biar Apa?
Infografis Rektor Asing di Kampus Negeri, Biar Apa? (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya