Liputan6.com, Jakarta - Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat Irwan Fecho menyebut, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto terlalu bernafsu agar sistem Pemilu 2024 berubah menjadi proporsional tertutup.
Irwan menduga, PDIP trauma dengan kasus yang menjerat mantan kadernya, Harun Masiku.
Baca Juga
“Saya curiga Hasto ngebet sekali dorong proporsional tertutup karena dia sangat trauma dengan kasus Harun Masiku. Dia bahkan enggak bisa bedakan mana kehendak rakyat mana kehendak elite,” kata Irwan pada wartawan, Senin (20/2/2023)
Advertisement
Menurut Irwan, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY menegaskan bahwa rencana perubahan sistem pemilu proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup harus didahului kehendak rakyat.
“Pesan Pak SBY jelas sekali. Tanya dulu kehendak rakyat! Urgensi dan alasan kuat untuk mengubah sistem pemilu saat ini apa? Itu yang ditanyakan Pak SBY. Harusnya fokus jawab itu. Bukan justru membandingkan perubahan sistem pemilu di 2008. Perubahan sistem pemilu di 2008 menjadi proporsional terbuka adalah murni kehendak rakyat, pekerjaan rumah pascareformasi yang belum diselesaikan pemimpin pemerintahan sebelumnya,” kata dia.
Menurut Irwan, sistem pemilu tertutup adalah warisan orba. Ia mempertanyakan apakah Hasto ingin Indonesia kembali seperti era Orde Baru.
“Apakah Hasto mau kembali ke sistem orba? Rakyat berhak memilih langsung wakilnya sesuai yang mereka inginkan dalam pemilihan langsung. Rakyat bisa menagih langsung ke wakil rakyat yang mereka pilih dibanding wakil mereka yang dipilih oleh elite partai,” kata politikus Demokrat ini memungkasi.
PDIP Singgung SBY Ganti Sistem Pemilu
Sebelumnya, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY menyinggung adanya upaya mengganti sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup.
Terkait hal ini, Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengingatkan kejadian 2008. Dia pun menyebut Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat ini lupa akan perilakunya.
“Pak SBY kan tidak memahami jas merah. Pak SBY lupa bahwa pada bulan Desember tahun 2008, dalam masa pemerintahan beliau, justru beberapa kader Demokrat yang melakukan perubahan sistem proporsional tertutup menjadi terbuka melalui mekanisme judicial review. Dan itu hanya beberapa bulan, sekitar 4 bulan menjelang pemilu yang seharusnya tidak boleh ada perubahan,” kata Hasto di Lebak, Banten, Minggu (19/2/2023).
Dia mengungkapkan, itu adalah strategi jangka pendek Demokrat untuk meraih kemenangan. Yakni bisa mencapai 300 persen.
“Sehingga dengan melakukan segala cara akhirnya Partai Demokrat mengalami kenaikan 300 persen, bayangkan dengan PDI perjuangan yang ketika berkuasa, kenaikannya hanya 1,5 persen, sehingga mustahil dengan sistem multi partai yang kompleks suatu partai bisa menaikkan suaranya bisa 300 persen dan itu tidak mungkin terjadi tanpa kecurangan masif, tanpa menggunakan beberapa elemen dari KPU yang seharusnya netral. Dan itu dipakai, dan dijanjikan masuk ke dalam kepengurusan partai tersebut,” jelas Hasto.
Advertisement
Klaim JC Sekarang Beda dengan Era 2008
Hasto pun menjelaskan, judical review (JR) yang sekarang berbeda dengan yang dilakukan pada 2008.
“Judical review sekarang tidak dilakukan oleh partai karena PDI Perjuangan juga tidak punya hak, tidak punya legal standing untuk melakukan judicial review. Ini dilakukan oleh beberapa pakar yang melihat bahwa dengan demokrasi proporsional terbuka yang dicanangkan oleh pada jaman Pak SBY tersebut, yang terjadi ternyata liberalisasi politik yang luar biasa yang menyulitkan kami untuk mencalonkan rektor, untuk mencalonkan akademisi, untuk mencalonkan pakar untuk mencalonkan budayawan, untuk mencalonkan tokoh-tokoh betawi, untuk mencalonkan tokoh-tokoh nelayan,” ungkap Hasto.
Dia menuturkan, proporsional terbuka yang dilakukan masa SBY membuat partai digerakan oleh kekuatan kapital.
“Ada investor-investor yang menyandera demokrasi. Jadi Pak SBY sebaiknya ingat bahwa liberalisasi itu justru tejadi pada masa beliau. Judical review saat itu dilakukan hanya beberapa bulan menjelang pemilu, berbeda dengan sekarang karena komitmen untuk mengembalikan sistem politik pada Pancasila,” jelas Hasto.
Karena itu, dia mengingatkan, jika ada undang-undang hanya untuk kepentingan partai, maka ada etika yang dilanggar.
“Ketika undang-undang digerakkan untuk kepentingan kekuasaan bagi partainya, yang dilakukan sering kali melanggar aspek-aspek kepantasan, aspek etika,” pungkasnya.