Respons Puan Maharani soal Pengakuan Agus Rahardjo Diminta Hentikan Kasus Korupsi e-KTP

Ketua DPR RI Puan Maharani buka suara terkait pernyataan Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo yang mengaku sempat diminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP)

oleh Tim News diperbarui 05 Des 2023, 18:30 WIB
Diterbitkan 05 Des 2023, 18:30 WIB
Upacara Peringatan Hari Pancasila Dilakukan Secara Virtual
Ketua DPR Puan Maharani selaku pembaca UUD 1945 mengikuti Upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila secara Virtual di Kediamannya, Jakarta, Senin (1/6/2020). Upacara Virtual ini diikuti Presiden Wakil Presiden RI, Ketua MPR, Menteri Kabinet Kerja dan Pejabat tinggi Lainnya. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua DPR RI Puan Maharani buka suara terkait pernyataan Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo yang mengaku sempat diminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) yang melibatkan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov).

Saat ditanya, Apakah DPR akan menggunakan hak interpelasinya terhadap pemerintah menindaklanjuti dugaan intervensi hukum tersebut, Puan mengatakan pihaknya menjunjung supremasi hukum yang berlaku.

"Kami menjunjung supremasi hukum yang ada," kata Puan, saat konferensi pers, di Kompleks Senayan, Jakarta, Selasa (5/12/2023).

Kendati demikian, Puan mengaku menyerahkan kepada para anggota DPR soal perlu tidaknya hak interpelasi itu digunakan.

"Jadi yang kami kedepankan adalah bagaimana menjalankan supremasi hukum itu secara dengan baik-baik dan benar. Bahwa kemudian ada kemudian nantinya ada wacana atau keinginan dari anggota untuk melakukan itu, itu merupakan hak anggota," jelas Puan.

Dirinya selaku ketua DPR akan mencermati apakah hak interpelasi itu diperlukan atau tidak. Namun, Puan menegaskan DPR ingin supremasi hukum berjalan dengan baik.

"Namun kami juga akan mencermati apakah hal itu diperlukan atau tidak. Yang penting bagaimana supremasi hukum itu bisa berjalan secara baik dan benar," imbuh Puan.

 

Pengakuan Agus Rahardjo

KPK Bahas Gagasan Perubahan UU Tipikor
Ketua KPK Agus Rahardjo (tengah) saat menjadi pembicara diskusi di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (19/12/2019). Diskusi membahas gagasan perubahan UU Tipikor berdasarkan hasil kajian dan draf usulan ke pemerintah. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Sebelumnya, Agus Rahardjo mengungkapkan dirinya pernah dipanggil dan diminta Presiden Jokowi untuk menghentikan penanganan kasus korupsi pengadaan e-KTP yang menjerat Setnov.

Setnov kala itu menjabat Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, salah satu partai politik pendukung Jokowi. Status hukum Setnov sebagai tersangka diumumkan KPK secara resmi pada Jumat, 10 November 2017.

Sebelum mengungkapkan kesaksiannya, Agus menyampaikan permintaan maaf dan merasa ada hal yang harus dijelaskan.

"Saya terus terang pada waktu kasus e-KTP, saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh pak Pratikno (Menteri Sekretariat Negara). Jadi, saya heran 'biasanya manggil (pimpinan KPK) berlima ini kok sendirian'. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan tapi lewat masjid kecil," tutur Agus dalam program Rosi dikutip dari YouTube KompasTV, Jumat (1/12/2023).

"Itu di sana begitu saya masuk presiden sudah marah, menginginkan, karena begitu saya masuk beliau sudah teriak 'hentikan'. Kan saya heran yang dihentikan apanya. Setelah saya duduk saya baru tahu kalau yang suruh dihentikan itu adalah kasusnya pak Setnov, Ketua DPR waktu itu mempunyai kasus e-KTP supaya tidak diteruskan," sambung Agus.

 

Sprindik Sudah Ditandatangani

Namun, Agus tidak menjalankan perintah itu dengan alasan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) sudah ditandatangani pimpinan KPK tiga minggu sebelum pertemuan tersebut.

Agus menegaskan hal tersebut sebagai sebuah kesaksian. Dia mengaku telah menceritakan kejadian dimaksud kepada koleganya di KPK.

Agus kemudian merasa kejadian tersebut berimbas pada diubahnya Undang-undang KPK. Dalam revisi UU KPK, terdapat sejumlah ketentuan penting yang diubah. Di antaranya KPK kini di bawah kekuasaan eksekutif dan bisa menerbitkan SP3.

 

Reporter: Alma Fikhasari

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya