Saksi Sebut PT Timah Beli Bijih Timah dari Penambang Ilegal untuk Amankan Aset

Sidang korupsi tata niaga timah di PT Timah kembali digelar, saksi-saksi mengungkap PT Timah diduga membeli bijih timah dari penambang ilegal untuk mengamankan aset perusahaan, bukan terlibat konspirasi penentuan harga.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 27 Agu 2024, 07:50 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2024, 07:50 WIB
Penampilan Harvey Moeis Saat Jalani Sidang Dakwaan Kasus Korupsi Timah
Terdakwa Harvey Moeis juga menyatakan tidak akan mengajukan eksepsi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Tipikor Jakarta kembali menggelar sidang kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah pada Senin (26/8/2024). Sidang kali ini menghadirkan sejumlah saksi yang memberikan keterangan terkait pembelian bijih timah dari penambang ilegal.

Saksi Nono Budi Priyono, mantan Kepala Bagian Perencanaan dan Pengelolaan PT Timah Daerah Bangka Belitung, menegaskan bahwa PT Timah lah yang menentukan harga beli timah dari hasil penambangan masyarakat. Ia menepis tudingan adanya campur tangan smelter swasta, seperti PT Refined Bangka Tin (RBT), dalam penentuan harga.

"Harga yang menentukan PT Timah," tegas Nono dalam persidangan.

Nono juga membantah keterlibatannya dalam konspirasi penentuan harga timah. Pertemuannya dengan PT RBT, menurutnya, hanya membahas formulasi biaya peleburan, bukan penentuan harga beli bijih timah.

"Meeting dengan PT RBT membahas perhitungan formulasi berapa biaya peleburan. Saat itu tidak langsung sepakat baru ada kisaran namun belum final karena akan mempertimbangkan harga," ungkap Nono.

Menanggapi tudingan adanya persekongkolan untuk membeli bijih timah dari penambang ilegal, Nono menyatakan bahwa PT Timah memiliki unit khusus untuk mengamankan aset perusahaan.

"Hal dilakukan PT Timah dengan membeli bijih timah dari mereka merupakan bagian dari upaya perusahaan mengamankan aset," jelas Nono.

Ia juga menjelaskan bahwa PT Timah sempat mengeluarkan Kartu Tambang untuk mempermudah pengamanan aset, meskipun pelaksanaannya di lapangan tidak berjalan lancar.

Saksi lainnya, Ali Samsuri, karyawan BUMN PT Timah, menjelaskan upaya perusahaan dalam mengurus izin tambang masyarakat melalui program Kartu Tambang.

“Perusahaan sudah keluarkan program Kartu Tambang. Tapi tidak berjalan karena ada disparitas harga," ungkap Ali.

Ali juga menyinggung upaya PT Timah dalam menertibkan penambangan ilegal. Meskipun PT Timah sudah melaporkan aktivitas penambangan ilegal kepada penegak hukum, hal itu tidak bisa dihentikan dan perusahaan kerap didemo oleh penambang.

"Dalam pikiran direksi saat itu, ini barang sudah diangkat dari perut bumi, setelah diangkat siapa yang berhak mengambil. Program PT Timah semaksimal mungkin mengamankan (aset)," jelasnya.

\Saksi-saksi lainnya dalam persidangan, yaitu Tegus Awal Prasetyo (eks Kabag Pengangkutan PT Timah Daerah Bangka Belitung), Abdullah Umar (Karyawan PT Timah Jakarta), dan Edi Suryadi (petani setempat), memberikan keterangan yang semakin memperkuat narasi PT Timah yang diduga berupaya mengamankan aset.

 

Didakwa Rugikan Negara Rp300 T, Kubu Harvey Moeis Sebut Tuduhan Jaksa Salah Alamat

Penampilan Harvey Moeis Saat Jalani Sidang Dakwaan Kasus Korupsi Timah
Sidang kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah dengan terdakwa Harvey Moeis akan dilanjutkan dengan agenda pembuktian. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Suami Sandra Dewi, Harvey Moeis didakwa merugikan negara Rp300 triliun atas kasus dugaan korupsi komoditas timah. Harvey Moeis juga dituduh memperkaya diri sebesar Rp420 miliar dan disangkakan dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Hal itu disampaikan tim jaksa penuntut umum saat sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan, Rabu (14/8/2024) kemarin.

Menanggapi hal itu, Pengacara Harvey Moeis, Junaedi Saibih mengatakan, tuduhan kepada kliennya salah alamat. Sebab, untuk melakukan reklamasi atau pemulihan lingkungan pada area pertambangan merupakan kewajiban dari perusahaan pelaksana pertambangan yang telah mendapatkan izin dari pemerintah yang ditandai dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

"Kewajiban pemulihan lingkungan wilayah tambang yang divaluasi jaksa sebesar Rp271 triliun (terakhir diperbarui jadi Rp 300 triliun) dipegang oleh pemilik IUP dengan jaminan reklamasi, dan PT Timah sebagai pemilik IUP-nya memiliki dan akan melaksanakan reklamasi wilayah," kata Junaedi seperti dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (15/8/2024).

Junaedi dan timnya juga menggarisbawahi dalil JPU sebagaimana tercantum dalam surat dakwaan yakni kerugian lingkungan (ekologis) dan kerugian ekonomi lingkungan merupakan hak negara. Sedangkan biaya pemulihan lingkungan merupakan kewajiban negara. Dalil tersebut, Junaedi mengklaim, tidak dikenal dalam tatanan hukum positif Indonesia.

“Biaya pemulihan itu kewajiban pemilik IUP. Biaya tersebut telah didepositokan oleh pemegang IUP dalam bentuk jaminan reklamasi dan jaminan pasca-tambang," jelas Junaedi.

Mempertimbangkan posisi Harvey Moeis, menurut Junaedi, kliennya tidak punya kompetensi yang memungkinkan dirinya bisa mempengaruhi dilakukan atau tidak dilakukannya reklamasi di area pertambangan tersebut.

"HM tidak memiliki posisi ataupun jabatan dalam perusahaan smelter-smelter terkait (smelter yang bekerja sama dengan PT Timah)," tutur dia.

Tak Punya Kewajiban Pemulihan Lingkungan

Junaedi melanjuntkan, skema kerja sama yang terjadi antara PT Timah dan smelter-smelter swasta adalah kerja sama yang terjalin karena kebutuhan PT Timah dalam menaikkan produksi logam timah. Dia menegaskan, Harvey tidak menginisiasi kerja sama sewa-menyewa peralatan processing timah.

“Karena Harvey Moeis tidak memiliki kompetensi dan kapasitas terkait praktik pertambangan dan produksi timah ini," sambung dia.

Maka dari itu, menurut Junaedi, kliennya tidak memiliki keterkaitan apalagi kewajiban dalam menanggung pemulihan lingkungan dari aktivitas pertambangan tersebut sebesar Rp 300 triliun.

"Posisi Harvey Moeis nanti akan menjadi fakta persidangan yang terang setelah diluruskan dengan fakta dan bukti dalam persidangan,” beber Junaedi.

Diketahui, dalam dakwaan disebutkan Harvey Moeis dan tersangka lainnya, Helena Lim yang diduga menerima Rp 420 miliar terkait kasus dugaan korupsi ini.

 

Klaim Bukan Dana Gratifikasi Tapi CSR

Junaedi mengklaim soal dana tersebut bukan dana yang digunakan oleh gratifikasi melainkan dana CSR (corporate social responsibility) dari seluruh smelter.

“Dana yang diperoleh tersebut, digunakan untuk berbagai kegiatan community development di Bangka Belitung, seperti sumbangan masjid, sumbangan bencana alam, sumbangan covid dan alat kesehatan, dan lain-lain,” ungkap Junaedi.

"Sehingga CSR bukan seolah-olah ada, tapi memang benar adanya, dan bukan bertujuan memperkaya diri sendiri maupun orang lain, tetapi untuk berbagai kegiatan community development yang akan disampaikan pada tahap pembuktian,” imbuh Junaedi.

Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut, menurut Junaedi, segala tuduhan yang dialamatkan kepada kliennya tidaklah tepat. Bahkan, ia juga mempertanyakan aksi penyitaan terhadap kekayaan Harvey Moeis dan Istrinya yang dinilai tidak bekaitan dengan tuduhan korupsi tersebut.

"Harta yang disita saat ini adalah harta dari penghasilan Harvey Moeis sendiri sebagai pengusaha, bahkan terdapat pula aset yang merupakan hasil dari jerih payah istrinya, contohnya seperti 88 tas branded itu merupakan hasil endorsement," dia menandasi.

Infografis Babak Baru Kasus Korupsi Timah Harvey Moeis dan Helena Lim. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Babak Baru Kasus Korupsi Timah Harvey Moeis dan Helena Lim. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya