Liputan6.com, Jakarta - PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) resmi mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap PT Harmas Jalesveva (Harmas) ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Permohonan terdaftar dengan nomor perkara 50/Pdt.Sus-PKPU/2025/PN Niaga Jkt.Pst.
Kuasa Hukum Bukalapak Eries Jonifianto, menjelaskan, permohonan PKPU ini adalah langkah hukum yang diambil oleh BUKA LAPAK untuk menyelesaikan sengketa berkepanjangan, berawal dari perjanjian sewa-menyewa yang dibuat antara Bukalapak dan PT Harmas Jalesveva sejak tahun 2017.
Baca Juga
"Saya ajukan PKPU, penundaan kewajiban pembayaran utang. Saya mengajukan ini dalam rangka kembali kepada Letter of Intent (LoI). Pekerjaan kapan, somasi kapan. Karena ini somasi timbul karena pihak Harmas ingkar janji,” kata Eris saat konferensi pers, Senin (17/2/2025).
Advertisement
Mengacu pada Pasal 39 Letter of Intent (LoI), jelas mengatur bahwa jika terdapat kesalahan dari pihak pemilik, maka hal tersebut dapat diproses secara hukum. Akibatnya, perkara ini pun diajukan ke ranah pengadilan.
“Kembali di majelis hakim dikabulkan atau tidak, tindak lanjutnya apa? Apakah nanti kreditur BukaLapak aja atau ada kreditur? Nanti kalau sudah diputus ada yang namanya verifikasi," ucap dia.
Sementara itu, Anggota Komite Eksekutif BUKA, Kurnia Ramadhana menambahkan, persoalan ini bermula saat Bukalapak, memutuskan untuk mencari kantor baru yang lebih efisien.
Keputusan itu diambil karena kantor Bukalapak pada waktu itu tersebar di beberapa lokasi berbeda, dan perusahaan membutuhkan ruang kantor yang terpusat untuk mendukung operasionalnya yang semakin berkembang. Pilihan jatuh pada gedung One Bell Park di kawasan TB Simatupang, Jakarta, yang dikelola oleh PT Harmas. Bukalapak dan Harmas menandatangani Letter of Intent (LoI) pada 8 Desember 2017.
"Karena PT. Harmas itu mengatakan siap untuk membangun ruang perkantoran Bukalapak. Lalu pertanyaannya bagaimana konstruksi bangunan yang dijanjikan oleh PT. Harmas kepada Bukalapak. Total ada 12 lantai yang dijanjikan berdasarkan Letter of Intent (LoI) dengan PT. Bukalapak," ujar Kurnia.
Bukalapak telah mentransfer uang DP sebesar Rp6,4 miliar sebagai bagian dari komitmen untuk memperoleh ruang kantor.
Uang tersebut ditransfer secara bertahap, dengan rincian Rp6,25 miliar pada 22 Januari 2018, dan tambahan Rp207 juta pada 3 Mei 2018. Meskipun telah memenuhi kewajibannya, PT Harmas tidak kunjung menyelesaikan pembangunan sesuai dengan janji mereka.
"Terdiri dari 2 kali transfer, masing-masing Rp 3,12 miliar, baik kepada PT Harmas maupun PT Cahaya Karya Makmur. Siapa PT Cahaya adalah anak perusahaan dari PT Harmas. Kemudian ditambah lagi pada tanggal 3 Mei tahun 2018, kami transfer kembali sebesar Rp 207 juta yang terdiri dari Rp 25 juta kepada PT Cahaya, kemudian Rp 181 juta kepada Harmas. Sehingga ketika ditotal itu semua, keluarlah Rp 6,4 Miliar," ujar dia.
"Tentu Rp6,4 miliar ini sebagai itikad baik dari Bukalapak untuk memenuhi letter of intent dengan PT Harmas," sambung dia
Dalam LOI tersebut, PT Harmas berkomitmen untuk menyelesaikan pembangunan kantor Bukalapak secara bertahap pada tahun 2018, dengan penyerahan lantai pertama direncanakan pada 1 Maret 2018.
"Jadi ada 4 termin waktu yang dijanjikan oleh Harmas akan selesai untuk kemudian dapat digunakan oleh Bukalapak untuk fitting out barang. Pertama, tanggal 1 Maret 2018 itu untuk lantai 7, 8, 9. Kemudian yang kedua, pada tanggal 1 April tahun 2018 lantai 10, 11, dan 12. Kemudian yang ketiga, tanggal 1 Mei 2018 untuk lantai 15, 16, dan 17. Kemudian tanggal 1 Juni tahun 2018 lantai 18, 19, dan 20," sambung dia.
Namun, yang terjadi selanjutnya tidak sesuai dengan harapan. Proyek pembangunan yang dijanjikan oleh PT Harmas mengalami penundaan.
Meskipun Bukalapak sudah mentransfer uang yang dijanjikan, progress pembangunan tidak kunjung rampung. PT Harmas berulang kali mengajukan permohonan untuk memperpanjang waktu penyelesaian, dengan berbagai alasan, termasuk masalah hukum internal yang mereka hadapi.
"Misalnya yang pertama, kami mendapatkan email dari PT Harmas berulang kali. Yang awalnya selesai 1 Maret, mereka mengirimkan email tanggal 20 Maret, menyatakan bahwa mereka belum bisa menyelesaikan. Lalu mereka juga mengirimkan surat tanggal 3 Agustus 2018, berarti sudah molor 5 bulan, itu juga tidak selesai kesepakatan di dalam letter of intent," ujar dia.
"Lalu kembali lagi, di dalam surat mereka pada bulan Agustus itu, mengatakan bahwa ada faktor lain yang mempengaruhi kegagalan dalam hal menyiapkan ruang kantor, ruang one balpak untuk Bukalapak. Mereka mengatakan kala itu ada permasalahan hukum yang menimpa PT Harmas terkait dengan gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang atau PKPU. Jadi ada sejumlah kreditur yang menggugat PT Harmas di tengah proses letter of intent. Bahkan teman-teman, sebelum letter of intent itu kami tandatangani, sudah berulang kali PT Harmas disomasi oleh kreditur-krediturnya. Namun kami tidak mengetahui permasalahan itu," tambah dia.
Seiring berjalannya waktu, Bukalapak mulai merasakan dampak dari penundaan yang tidak kunjung berakhir ini. Mereka harus terus memperpanjang masa sewa di kantor lama, sementara kantor baru yang dijanjikan oleh PT Harmas tidak kunjung siap.
"Bukalapak juga mengalami kerugian. Apa kerugiannya? Karena kami harus memperpanjang biaya sewa kantor lama kami. Yang harusnya dalam bayang-bayang kami. Tanggal 1 Januari seluruh pegawai Bukalapak sudah berpindah ke One Bell Park. Tapi ternyata molor. Jadi kami harus memperpanjang biaya sewa kantor yang lama. Selain itu juga kami dirugikan karena kami harus mencari ruang perkantoran baru. Yang sampai hari ini kami berkantor di Metropolitan Tower di T.B Simatupang," terang Kurnia.
Langkah Tegas
Melihat ketidakpastian yang terus berlanjut, akhirnya Bukalapak mengambil langkah tegas dengan mengirimkan surat pengakhiran kerja sama kepada PT Harmas. Bukalapak menganggap bahwa PT Harmas telah gagal memenuhi kewajiban sesuai dengan kesepakatan dalam Letter of Intent (LoI).
"Apakah pengakhiran ini ada dasar hukumnya? Tentu ada, bahkan di dalam LOI itu tertuang. Ini poin cukup penting teman-teman. Butir 39 di dalam Letter of Intent (LoI) yang ditanda tangani oleh Bukalapak dan PT. Harmas menyebutkan bahwa dengan ditanda tanganinya Letter of Intent (LoI) oleh Bukalapak dan Harmas, dan pembayaran 3 bulan booking deposit oleh Bukalapak, kedua belah pihak sepakat bahwa Letter of Intent (LoI) ini akan menjadi mengikat dan tidak ada pengakhiran oleh penyewa," ucap dia.
"Tapi kalimatnya tidak berhenti di sana adalah lanjutannya, kecuali dalam kondisi pemberi sewa melalaikan kewajibannya. Jadi tak kala ada kelalaian kewajiban, dalam hal ini tentu kami mengatakan itu dilakukan oleh PT Harmas, maka pengakhiran kerjasama itu dibenarkan dan telah disepakati. Tentu menuangkan butir 39 di dalam Letter of Intent (LoI) itu kan bukan kemauan Bukalapak, tapi kesepakatan antara dua belah pihak," sambung dia.
Selain itu, dasar hukumnya ada pasal 1338 ayat 2 KUHPerdata dijelaskan suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
"Apa terminologi atau arti dari alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu? Ketika kedua belah pihak menyepakati letter of intent, tentu letter of intent itu dapat dipandang sebagai undang-undang yang mengikat bagi kedua belah pihak," ucap dia.
"Sementara pasal 39 atau butir 39 mengatakan kami boleh melakukan pengakhiran. Jadi dasar hukumnya sudah cukup jelas. Apa isi surat pengakhiran itu? Satu, kami mengatakan kami mengakhiri kerjasama dengan PT. Harmas. Kemudian yang kedua, tolong kembalikan uang DP yang sudah diberikan Bukalapak. Sebesar yang tadi saya sebutkan Rp 6,4 Miliar," tambah dia.
Namun, Harmas menolak untuk mengembalikan uang tersebut dan dan menawarkan ruang yang diklaim sudah siap. Namun, setelah dilakukan inspeksi lapangan, Bukalapak menemukan bahwa unit-unit tersebut belum memenuhi standar yang telah disepakati dalam Letter of Intent (LoI).
Akibatnya, Bukalapak tetap pada keputusannya untuk membatalkan perjanjian dan meminta pengembalian dana.
"Ternyata ketika datang tidak sesuai dengan apa yang mereka sampaikan pada tanggal 23 Oktober. Apalagi kalau kita tarik ke belakang sesuai dengan Letter of Intent (LoI). Karena ada spesifikasi yang saya rasa itu sangat teknis teman-teman. Tapi yang jelas mereka tidak menyediakan sarana dan prasarana yang memadai," ujar dia.
Advertisement
3 Kali Somasi
Dia menjelaskan, Bukalapak mengirimkan tiga kali somasi pada Januari-Februari 2021, kepada Harmas dengan tuntutan agar dana yang telah dibayarkan dikembalikan. Namun, Harmas tidak memberikan respons yang memuaskan.
"Alih-alih mereka menjawab somasi itu dengan membantah persoalan material yang kami sampaikan. Karena isi somasi itu masih sama. Kami minta balik uang dari Bukalapak. Mereka justru mempermasalahkan hal-hal yang bersifat formil. Misalnya mempertanyakan surat kuasa terhadap lawyer kami kala itu. Yang kami anggap bukan itu permasalah utamanya. Itu terkait dengan somasi," ujar dia.
Sebaliknya, kata dia pada Maret 2021, PT Harmas menggugat Bukalapak dengan tuduhan perbuatan melawan hukum. Dalam gugatannya, PT Harmas menuntut kerugian materiil sebesar Rp90,3 miliar dan kerugian immateriil sebesar Rp77,5 miliar. PT Harmas mengklaim bahwa Bukalapak telah mengakhiri perjanjian secara sepihak dan melanggar kewajiban yang tertuang dalam LOI.
Namun, Bukalapak tidak tinggal diam. Mereka membantah seluruh tuduhan yang diajukan oleh PT Harmas.
Bukalapak mengemukakan bahwa pembatalan perjanjian dilakukan secara sah, berdasarkan kegagalan PT Harmas dalam memenuhi komitmen mereka, termasuk keterlambatan dalam penyelesaian pembangunan kantor. Bukalapak juga menekankan pembayaran DP sebesar Rp6,4 miliar telah dilakukan dengan itikad baik, dan mereka tidak merasa berutang apa pun kepada PT Harmas.
Proses hukum pun berlanjut, dengan majelis hakim pada 23 Februari 2022 memutuskan bahwa gugatan PT Harmas cacat formil dan tidak dapat diterima.
"Namun gugatan perbuatan melawan hukum PT Harmas itu sesuai tebakan kami hasilnya. Hasilnya adalah dinyatakan cacat formil. Karena kurang pihak dan tidak dapat diterima oleh majelis hakim. Itu diputus tanggal 23 Februari tahun 2022" ujar dia.
Meskipun demikian, PT Harmas kembali melayangkan gugatan pada 27 Juni 2022, dengan tuntutan yang lebih besar: Rp107,4 miliar untuk kerugian materiil dan Rp1 triliun untuk kerugian immateriil.
"Kami pikir masalahnya selesai. Kami pikir mereka akan mengembalikan uang yang sudah kami berikan. Ternyata justru berbalik lagi. Padahal tadi kami sudah jelaskan, ini tidak sepihak. Karena memang kami merasa dirugikan, Harmas tidak menyelesaikan kewajibannya. Jadi kami lakukan, kirimkan surat pengakhiran itu," ujar dia.
Pada akhirnya, pada 30 Maret 2023, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan untuk mengabulkan gugatan PT Harmas, yang mengharuskan Bukalapak membayar Rp107,4 miliar, termasuk kerugian immateriil.
Keputusan ini mengejutkan Bukalapak, yang merasa bahwa mereka telah memenuhi kewajiban sesuai Letter of Intent (LoI), sementara PT Harmas justru terus mengabaikan janji mereka.
"Yang rugi itu Bukalapak kok, kenapa mereka yang minta uang Rp100 miliar kepada Bukalapak. Kemudian yang kedua, adagium hukum exceptio non adimpleti yang berarti gugatan tidak dapat diterima karena Harmas gagal melaksanakan kewajiban berdasarkan LOI. Kemudian kami juga sampaikan kala itu gugatan ini sangat didasarkan dengan itikad buruk," ujar dia.
"Silahkan baca butir 39 di dalam letter of intent. Jadi karena mereka melalaikan kewajiban kami mengakhiri perjanjian itu dan meminta sejumlah uang sebesar Rp6,4 miliar," tandas Kurnia.
