Perempuan di Tanah Aceh acap kali terpaksa hidup di tengah konflik. Nasib mereka inilah yang selalu terngiang di benak Suraiya Kamaruzzaman. Sejak masa kuliah, Suraiya kerap bertanya-tanya mengapa hak-hak perempuan jauh berbeda dari hak-hak laki-laki.
Di desa tempat tinggalnya, hampir tak ada perempuan bersekolah tinggi karena biasa dipaksa menikah di usia muda. "Ada persoalan perbedaan peran perempuan dan laki-laki di kampung saya," jelas Suraiya.
Akhirnya dia memutuskan membaktikan hidupnya untuk membela hak-hak manusia, khususnya kaum perempuan Aceh. Sarjana kimia dan doktor bidang HAM dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh ini terus melangkah dan tahun 1989 mendirikan lembaga Flower Aceh.
Selain memperjuangkan hak-hak perempuan korban konflik bersenjata di Aceh, Suraiya menggalang program-program pemberdayaan perempuan seperti pusat krisis dan koperasi perempuan. "Komitmen dia untuk isu-isu kekerasan perempuan sudah tinggi sejak dulu. Sejak kuliah sampai sekarang komitmennya tak berkurang," ujar Khairani Arifin, seorang aktivis perempuan di Aceh tentang Suraiya.
Pengabdian Suraiya akhirnya menarik perhatian banyak pihak. Pada 2001, Suraiya meraih Yap Thiam Hien Award, penghargaan bergengsi bagi mereka yang dianggap berjasa menegakkan hak asasi manusia di Indonesia.
Tahun lalu, Suraiya mendapat penghargaan N-Peace dari Perserikatan Bangsa-bangsa. Penghargaan diserahkan di Manila, Filipina. "Ibu Suraiya itu adalah sosok wanita yang enerjik, saya telah lama mengenalnya sebagai pejuang HAM, sejak Aceh masih dilanda konflik," jelas Tengku Akhmad Abjall, tokoh masyarakat Aceh.
Suraiya menegaskan belum akan berhenti dengan sepak terjangnya. Apalagi ibu tiga anak ini mendapat dukungan penuh dari keluarga. "Buat saya sesuatu yang tidak terlalu buruk, tak ada persoalan, saya hanya bisa mendukung," tegas Hadi Sutedjo, suami Suraiya, seperti ditayangkan Liputan 6 SCTV, Minggu (21/7/2013) siang.
Suraiya bercita-cita, para wanita korban konflik di manapun berada, suatu saat nanti akan mendapatkan hak-hak mereka. (Ado/Yus)
Di desa tempat tinggalnya, hampir tak ada perempuan bersekolah tinggi karena biasa dipaksa menikah di usia muda. "Ada persoalan perbedaan peran perempuan dan laki-laki di kampung saya," jelas Suraiya.
Akhirnya dia memutuskan membaktikan hidupnya untuk membela hak-hak manusia, khususnya kaum perempuan Aceh. Sarjana kimia dan doktor bidang HAM dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh ini terus melangkah dan tahun 1989 mendirikan lembaga Flower Aceh.
Selain memperjuangkan hak-hak perempuan korban konflik bersenjata di Aceh, Suraiya menggalang program-program pemberdayaan perempuan seperti pusat krisis dan koperasi perempuan. "Komitmen dia untuk isu-isu kekerasan perempuan sudah tinggi sejak dulu. Sejak kuliah sampai sekarang komitmennya tak berkurang," ujar Khairani Arifin, seorang aktivis perempuan di Aceh tentang Suraiya.
Pengabdian Suraiya akhirnya menarik perhatian banyak pihak. Pada 2001, Suraiya meraih Yap Thiam Hien Award, penghargaan bergengsi bagi mereka yang dianggap berjasa menegakkan hak asasi manusia di Indonesia.
Tahun lalu, Suraiya mendapat penghargaan N-Peace dari Perserikatan Bangsa-bangsa. Penghargaan diserahkan di Manila, Filipina. "Ibu Suraiya itu adalah sosok wanita yang enerjik, saya telah lama mengenalnya sebagai pejuang HAM, sejak Aceh masih dilanda konflik," jelas Tengku Akhmad Abjall, tokoh masyarakat Aceh.
Suraiya menegaskan belum akan berhenti dengan sepak terjangnya. Apalagi ibu tiga anak ini mendapat dukungan penuh dari keluarga. "Buat saya sesuatu yang tidak terlalu buruk, tak ada persoalan, saya hanya bisa mendukung," tegas Hadi Sutedjo, suami Suraiya, seperti ditayangkan Liputan 6 SCTV, Minggu (21/7/2013) siang.
Suraiya bercita-cita, para wanita korban konflik di manapun berada, suatu saat nanti akan mendapatkan hak-hak mereka. (Ado/Yus)