Salah ketik penulisan putusan kasasi perkara Yayasan Supersemar menarik perhatian. Padahal perkara yayasan yang dimiliki mantan Presiden Soeharto ditangani langsung Ketua MA saat itu, Harifin Andi Tumpa.
Mengenai sanksi yang dijatuhkan akibat kesalahan ketik, MA sudah memberi peringatan keras terhadap panitera sidang kasasi.
"Itu ada peringatan keras, tapi itu kan sifatnya internal, menjadi kondite yang bersangkutan," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur di Gedung Kementerian Hukum dan HAM, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (24/7/2013).
Lalu apakah ada tindakan atau sanksi kepada para hakim agung yang menyidangkan kasasi perkara tersebut? Menurut Ridwan, hal tersebut tidak ada.
"Lah itu kan (mereka) sudah pensiun. Jadi tidak ada kan. Tapi diakui ada kesalahan pengetikan. Kalau dulu kan bisa di-renvoi (ditinjau ulang), sekarang tidak bisa karena hakimnya sudah tidak ada," ujarnya.
Dalam amar putusan kasasinya, MA menghukum Yayasan Supersemar membayar denda kepada negara sebesar USD 315 juta (sekitar Rp 3,15 triliun) dan Rp 139,2 juta. Namun dalam putusan itu terdapat kesalahan ketik pada denda Rp 139,2 juta, yang seharusnya ditulis Rp 139,2 miliar.
Akibatnya, pemerintah yang diwakili Kejaksaan Agung tak bisa langsung mengeksekusi putusan kasasi tersebut. Kini, kejaksaan tengah menyiapkan langkah untuk mengajukan peninjauan kembali (PK).
Yayasan Supersemar--yang memperoleh kucuran dana dari pemerintah--terbukti melawan hukum dengan memberikan dana tersebut bukan untuk peruntukannya. Supersemar yang diketuai Presiden RI Kedua, Soeharto, itu dinilai terbukti telah mencuri uang negara.
Selain mantan Ketua MA, Harifin Andi Tumpa, hakim agung yang turut menyidangkan perkara ini adalah Dirwoto dan Rehngena Purba. Dengan panitera pengganti adalah Pri Pambudi Teguh, sedangkan Panitera Muda Perdata adalah Soeroso Ono.
Bersama Dirwoto dan Rehngena, Harifin kini tengah menikmati masa tuanya usai tugas sebagai hakim agung memasuki masa purnatugas sejak setahun silam. Posisi Harifin di kursi Ketua MA kemudian digantikan oleh Hatta Ali. (Ary/Yus)
Mengenai sanksi yang dijatuhkan akibat kesalahan ketik, MA sudah memberi peringatan keras terhadap panitera sidang kasasi.
"Itu ada peringatan keras, tapi itu kan sifatnya internal, menjadi kondite yang bersangkutan," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur di Gedung Kementerian Hukum dan HAM, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (24/7/2013).
Lalu apakah ada tindakan atau sanksi kepada para hakim agung yang menyidangkan kasasi perkara tersebut? Menurut Ridwan, hal tersebut tidak ada.
"Lah itu kan (mereka) sudah pensiun. Jadi tidak ada kan. Tapi diakui ada kesalahan pengetikan. Kalau dulu kan bisa di-renvoi (ditinjau ulang), sekarang tidak bisa karena hakimnya sudah tidak ada," ujarnya.
Dalam amar putusan kasasinya, MA menghukum Yayasan Supersemar membayar denda kepada negara sebesar USD 315 juta (sekitar Rp 3,15 triliun) dan Rp 139,2 juta. Namun dalam putusan itu terdapat kesalahan ketik pada denda Rp 139,2 juta, yang seharusnya ditulis Rp 139,2 miliar.
Akibatnya, pemerintah yang diwakili Kejaksaan Agung tak bisa langsung mengeksekusi putusan kasasi tersebut. Kini, kejaksaan tengah menyiapkan langkah untuk mengajukan peninjauan kembali (PK).
Yayasan Supersemar--yang memperoleh kucuran dana dari pemerintah--terbukti melawan hukum dengan memberikan dana tersebut bukan untuk peruntukannya. Supersemar yang diketuai Presiden RI Kedua, Soeharto, itu dinilai terbukti telah mencuri uang negara.
Selain mantan Ketua MA, Harifin Andi Tumpa, hakim agung yang turut menyidangkan perkara ini adalah Dirwoto dan Rehngena Purba. Dengan panitera pengganti adalah Pri Pambudi Teguh, sedangkan Panitera Muda Perdata adalah Soeroso Ono.
Bersama Dirwoto dan Rehngena, Harifin kini tengah menikmati masa tuanya usai tugas sebagai hakim agung memasuki masa purnatugas sejak setahun silam. Posisi Harifin di kursi Ketua MA kemudian digantikan oleh Hatta Ali. (Ary/Yus)