Ahok mengaku tidak tahu mengapa sejumlah kasus korupsi di DKI yang terjadi pada era Gubernur Fauzi Bowo alias Foke baru terungkap saat dirinya dan Jokowi memimpin. Dia membantah sengaja melakukan hal itu untuk menyingkirkan pejabat-pejabat DKI di era Foke.
"Mana saya tahu? Tanya Kejaksaan. Kami enggak ada pikiran begitu. Kami enggak suka buka luka lama, sakitlah. Mana enak sih buka luka lama. Kami serahin ke pihak berwajib," ujar Ahok di Balaikota DKI Jakarta, Kamis (24/10/2013).
Mantan Bupati Belitung Timur bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama itu menegaskan, dirinya memiliki kesepakatan dengan Gubernur Joko Widodo untuk rekonsiliasi. Mereka tidak ingin mempersoalkan kesalahan-kesalahan lama. Sehingga ia juga menolak jika satu demi satu kasus korupsi masa Foke terungkap merupakan kerja sama dengan pihak kejaksaan.
"Jaksa kan bukan di bawah Gubernur, tapi Presiden. Enggak ada kerja sama tentang itu. Enggak perlu izin kami untuk periksa. Kalau Jaksa mau periksa kami (Jokowi dan Ahok) minta izin sama Presiden. Kalau cuma PNS, enggak perlu izin Gubernur," tutur Ahok.
Menurut dia, penyelewengan anggaran tidak mungkin terjadi hanya karena kekurangpahaman PNS DKI soal tertib administrasi. Sebab, PPATK pasti memiliki catatan anggaran yang akurat.
"Kalau saya enggak ngerti administrasi, bodoh misalnya, terus ketangkap, tapi ternyata tabungan saya bisa dibuktikan aliran dana yang wajar. Kalau kamu cuma digaji Rp 10 juta, tapi transaksi ratusan miliaran, itu mah bukan tertib administrasi namanya," ujar Ahok.
Sementara, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI I Made Karmayoga mengakui saat diterapkan 'lelang jabatan', banyak laporan terkait kasus yang terjadi tahun-tahun sebelumnya. Namun, ternyata meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka, PNS tersebut masih menerima 75 persen gaji pokok dan tidak menerima tunjangan selama mereka belum dicopot dari jabatannya.
"Memang benar baru setelah ada lelang jabatan banyak laporan yang masuk ke pihak berwajib, tidak masalah. Statusnya masih PNS, mereka tetap menerima gaji pojok sampai ada keputusan hukum tetap," kata Made.
Mantan Kepala Dinas Kebersihan Pemprov DKI Eko Bharuna ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung atas kasus dugaan korupsi pengadaan mobil toilet VVIP besar dan kecil di Dinas Kebersihan Pemprov DKI tahun 2009.
Dalam kasus korupsi yang diduga merugikan negara sebesar Rp 5,3 miliar itu, Kejaksaan Agung juga menetapkan mantan Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas kebersihan Provinsi DKI Lubis Latief selaku Kuasa Pengguna Anggaran, dan Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Aryadi sebagai tersangka.
Sementara, Kejaksaan Negeri Jakarta Utara menetapkan Kepala Unit Pengelola Kelistrikan Kabupaten Kepulauan Seribu berinisial MM dan Kepala Seksi Perawatan UPT Kelistrikan Kabupaten Kepulauan Seribu berinisial SBR sebagai tersangka penyalahgunaan anggaran proyek kelistrikan di Kepulauan Seribu tahun 2012 senilai Rp 1,3 miliar.
Kemudian, Kejaksaan Negeri Jakarta Timur juga menetapkan Lurah Ceger Fanda Fadly Lubis dan Bendaharanya, Zaitul Akmam, sebagai tersangka penyalahgunaan anggaran kasus pembuatan laporan pertanggungjawaban fiktif tahun 2012 senilai Rp 454 juta.
Sedangkan, Kepala Suku Dinas Tata Ruang Jakarta Selatan RS menjadi tersangka kasus korupsi perizinan senilai Rp 1,89 miliar. RS diduga terlibat kasus penyalahgunaan dana ketika masih menjabat sebagai Kasie Tata Ruang di Tebet, Jakarta Selatan.
Sedangkan, Kasudin Kominfomas Jakarta Pusat RB dan Kasudin Kominfomas Jakarta Selatan Yuswil dan Kasudin Kominfo Jakarta Pusat Ridha Bahar menjadi tersangka korupsi anggaran proyek pengadaan kamera pengawas dan sarana pendukungnya di Monumen Nasional senilai Rp 1,7 miliar pada 2010. (Eks/Yus)
"Mana saya tahu? Tanya Kejaksaan. Kami enggak ada pikiran begitu. Kami enggak suka buka luka lama, sakitlah. Mana enak sih buka luka lama. Kami serahin ke pihak berwajib," ujar Ahok di Balaikota DKI Jakarta, Kamis (24/10/2013).
Mantan Bupati Belitung Timur bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama itu menegaskan, dirinya memiliki kesepakatan dengan Gubernur Joko Widodo untuk rekonsiliasi. Mereka tidak ingin mempersoalkan kesalahan-kesalahan lama. Sehingga ia juga menolak jika satu demi satu kasus korupsi masa Foke terungkap merupakan kerja sama dengan pihak kejaksaan.
"Jaksa kan bukan di bawah Gubernur, tapi Presiden. Enggak ada kerja sama tentang itu. Enggak perlu izin kami untuk periksa. Kalau Jaksa mau periksa kami (Jokowi dan Ahok) minta izin sama Presiden. Kalau cuma PNS, enggak perlu izin Gubernur," tutur Ahok.
Menurut dia, penyelewengan anggaran tidak mungkin terjadi hanya karena kekurangpahaman PNS DKI soal tertib administrasi. Sebab, PPATK pasti memiliki catatan anggaran yang akurat.
"Kalau saya enggak ngerti administrasi, bodoh misalnya, terus ketangkap, tapi ternyata tabungan saya bisa dibuktikan aliran dana yang wajar. Kalau kamu cuma digaji Rp 10 juta, tapi transaksi ratusan miliaran, itu mah bukan tertib administrasi namanya," ujar Ahok.
Sementara, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI I Made Karmayoga mengakui saat diterapkan 'lelang jabatan', banyak laporan terkait kasus yang terjadi tahun-tahun sebelumnya. Namun, ternyata meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka, PNS tersebut masih menerima 75 persen gaji pokok dan tidak menerima tunjangan selama mereka belum dicopot dari jabatannya.
"Memang benar baru setelah ada lelang jabatan banyak laporan yang masuk ke pihak berwajib, tidak masalah. Statusnya masih PNS, mereka tetap menerima gaji pojok sampai ada keputusan hukum tetap," kata Made.
Mantan Kepala Dinas Kebersihan Pemprov DKI Eko Bharuna ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung atas kasus dugaan korupsi pengadaan mobil toilet VVIP besar dan kecil di Dinas Kebersihan Pemprov DKI tahun 2009.
Dalam kasus korupsi yang diduga merugikan negara sebesar Rp 5,3 miliar itu, Kejaksaan Agung juga menetapkan mantan Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas kebersihan Provinsi DKI Lubis Latief selaku Kuasa Pengguna Anggaran, dan Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Aryadi sebagai tersangka.
Sementara, Kejaksaan Negeri Jakarta Utara menetapkan Kepala Unit Pengelola Kelistrikan Kabupaten Kepulauan Seribu berinisial MM dan Kepala Seksi Perawatan UPT Kelistrikan Kabupaten Kepulauan Seribu berinisial SBR sebagai tersangka penyalahgunaan anggaran proyek kelistrikan di Kepulauan Seribu tahun 2012 senilai Rp 1,3 miliar.
Kemudian, Kejaksaan Negeri Jakarta Timur juga menetapkan Lurah Ceger Fanda Fadly Lubis dan Bendaharanya, Zaitul Akmam, sebagai tersangka penyalahgunaan anggaran kasus pembuatan laporan pertanggungjawaban fiktif tahun 2012 senilai Rp 454 juta.
Sedangkan, Kepala Suku Dinas Tata Ruang Jakarta Selatan RS menjadi tersangka kasus korupsi perizinan senilai Rp 1,89 miliar. RS diduga terlibat kasus penyalahgunaan dana ketika masih menjabat sebagai Kasie Tata Ruang di Tebet, Jakarta Selatan.
Sedangkan, Kasudin Kominfomas Jakarta Pusat RB dan Kasudin Kominfomas Jakarta Selatan Yuswil dan Kasudin Kominfo Jakarta Pusat Ridha Bahar menjadi tersangka korupsi anggaran proyek pengadaan kamera pengawas dan sarana pendukungnya di Monumen Nasional senilai Rp 1,7 miliar pada 2010. (Eks/Yus)