Sekelompok muda-mudi tuna rungu di Yogyakarta, mampu menari dengan indah dan tampil di beragam pentas. Itu semua semua berkat tangan dingin dan dobrakan seorang seniman teater.
Adalah Broto Wijayanto yang menjadi motor penggerak di balik penampilan kelompok yang mengundang decak kagum ini. Seperti ditayangkan Liputan 6 Siang SCTV, Minggu (19/1/2014), Broto menuturkan dirinya mendirikan Deaf art Community atau Komunitas Seni Para Tunarungu pada 2008.
Sebagai seniman teater, Broto mengerti betul bahwa remaja perlu mengekspresikan diri. Broto menganggap dirinya dapat membantu remaja tuna rungu. Terutama agar mereka dapat lebih mudah mengolah ekspresi.
Awalnya, sarjana teater jebolan Institut Seni Indonesia ini mengajarkan dasar-dasar teater, tari, dan pantomim. Sekarang setiap sore, sekitar 30 remaja tuna rungu, berkumpul di sebuah lapangan dekat rumah Broto. Mereka berlatih beragam ekspresi seni.
Tari modern, misalnya. Dengan koreografi ciptaan para remaja sendiri dan diiring musik dari komunitas musik setempat. "Ini ada VCD tari. Saya download (unduh) dari YouTube. Kalian bisa mempelajarinya. Ternyata, perkembangannya pesat," tutur Broto.
Dentuman keras musik, ternyata jadi salah satu cara para penari, menentukan tempo. "Pertama-tama ada detak musik. Lalu, saya membuat gerakan-gerakan tari. Walaupun saya tidak bisa mendengar, tetapi saya bisa mengikuti musik itu dari detak di dada," ucap salah seorang penari penyandang disabilitas.
Anggota komunitas ini, seminggu sekali, juga berlatih gerakan bela diri asal Brasil, yang tengah populer, capoeira. Berkat kemahiran mereka berteater, menari, berpantomim dan capoeira, para remaja Deaf Art Community (DAC) sering diundang tampil ke berbagai acara.
"Di DAC semua saling membantu dan bekerja sama. Tidak ada diskriminasi. Semua menyatu. Ada teman normal juga. Kami semua setara, tidak ada perbedaan...," beber Devi, anggota Deaf Art Community dengan bahasa isyarat.
Bukan hanya menyuguhkan atraksi, komunitas binaan Broto, membuka kelas bahasa isyarat gratis untuk masyarakat. Uniknya, pengajarnya adalah para tuna rungu. Singkatnya, Deaf Art Community menumbuhkan rasa percaya diri, pada penyandang tuna rungu.
Siapa saja boleh bergabung, tanpa pusing urusan biaya. Selain itu, prestasi Broto sebagai pendiri dan pembina Deaf Art Community telah diakui. Dan, Broto yang kini berusia 37 tahun belum akan berhenti. Cita-citanya, para penyandang tuna rungu semakin mendapat tempat di tengah masyarakat. (Ans/Ism)
Lihat juga:
[VIDEO] Lo Siauw Ging, Dokter 'Gratis' Kebanggaan Kota Solo
VIDEO: Lumpuh Total, Een 'Kartini' Mengajar dari Atas Kasur
Dewa Membangun Sekolah Gratis
Adalah Broto Wijayanto yang menjadi motor penggerak di balik penampilan kelompok yang mengundang decak kagum ini. Seperti ditayangkan Liputan 6 Siang SCTV, Minggu (19/1/2014), Broto menuturkan dirinya mendirikan Deaf art Community atau Komunitas Seni Para Tunarungu pada 2008.
Sebagai seniman teater, Broto mengerti betul bahwa remaja perlu mengekspresikan diri. Broto menganggap dirinya dapat membantu remaja tuna rungu. Terutama agar mereka dapat lebih mudah mengolah ekspresi.
Awalnya, sarjana teater jebolan Institut Seni Indonesia ini mengajarkan dasar-dasar teater, tari, dan pantomim. Sekarang setiap sore, sekitar 30 remaja tuna rungu, berkumpul di sebuah lapangan dekat rumah Broto. Mereka berlatih beragam ekspresi seni.
Tari modern, misalnya. Dengan koreografi ciptaan para remaja sendiri dan diiring musik dari komunitas musik setempat. "Ini ada VCD tari. Saya download (unduh) dari YouTube. Kalian bisa mempelajarinya. Ternyata, perkembangannya pesat," tutur Broto.
Dentuman keras musik, ternyata jadi salah satu cara para penari, menentukan tempo. "Pertama-tama ada detak musik. Lalu, saya membuat gerakan-gerakan tari. Walaupun saya tidak bisa mendengar, tetapi saya bisa mengikuti musik itu dari detak di dada," ucap salah seorang penari penyandang disabilitas.
Anggota komunitas ini, seminggu sekali, juga berlatih gerakan bela diri asal Brasil, yang tengah populer, capoeira. Berkat kemahiran mereka berteater, menari, berpantomim dan capoeira, para remaja Deaf Art Community (DAC) sering diundang tampil ke berbagai acara.
"Di DAC semua saling membantu dan bekerja sama. Tidak ada diskriminasi. Semua menyatu. Ada teman normal juga. Kami semua setara, tidak ada perbedaan...," beber Devi, anggota Deaf Art Community dengan bahasa isyarat.
Bukan hanya menyuguhkan atraksi, komunitas binaan Broto, membuka kelas bahasa isyarat gratis untuk masyarakat. Uniknya, pengajarnya adalah para tuna rungu. Singkatnya, Deaf Art Community menumbuhkan rasa percaya diri, pada penyandang tuna rungu.
Siapa saja boleh bergabung, tanpa pusing urusan biaya. Selain itu, prestasi Broto sebagai pendiri dan pembina Deaf Art Community telah diakui. Dan, Broto yang kini berusia 37 tahun belum akan berhenti. Cita-citanya, para penyandang tuna rungu semakin mendapat tempat di tengah masyarakat. (Ans/Ism)
Lihat juga:
[VIDEO] Lo Siauw Ging, Dokter 'Gratis' Kebanggaan Kota Solo
VIDEO: Lumpuh Total, Een 'Kartini' Mengajar dari Atas Kasur
Dewa Membangun Sekolah Gratis