Oleh: Didin Nasirudin, Managing Director Bening Communication dan Pemerhati Politik AS
Liputan6.com, Jakarta -Â Tiga minggu sebelum Pilpres 2016, German Lopez, koresponden senior Vox, mengatakan bahwa Donald Trump berusaha keras meyakinkan publik AS bahwa pilpres November 2016 sarat manipulasi.
Baca Juga
Ketika kemudian ternyata Trump sukses mengalahkan Hillary Clinton dengan peroleh 306 vs. 232 suara elektoral meski kalah dalam perolehan suara popular sebesar 2.87 juta, Trump tetap mengklaim ada jutaan suara tidak sah yang dihitung pada Pilpres 2016.
Advertisement
"Selain menang Electoral College secara meyakinkan, saya juga menang suara polular jika suara pemilih ilegal tidak dihitung," kata Trump dalam cuitan Twitter-nya.
Suara Ilegal Masif di Pilpres 2016 Tidak Terbukti
Untuk membuktikan adanya 3 hingga 5 juta suara ilegal dalam pilpres 2016, pada 11 Mei 2017 Trump membentuk komisi bernama Presidential Advisory Commission on Election Integrity yang diketuai Wakil Presiden Mike Pence dan Kansas State Secretary Kris Kobach sebagai wakil ketua. Komisi tersebut beranggotakan 11 orang perwakilan negara bagian, 6 wakil Partai Republik dan 5 wakil Partai Demokrat.
Setelah bertugas selama lebih dari 6 bulan, komisi bentukan presiden Trump tersebut resmi dibubarkan pada 3 Januari 2018. Hasilnya? Nol besar. Meski Kobach mengaku analisis timnya menemukan 8.400 kasus double voting (pemilih mencoblos dua kali) di 20 negara dan meyakini jumlah kasus serupa akan naik secara eksponensial jika analisis yang sama diterapkan di 50 negara bagian, anggota komisi dari Partai Demokrat menyanggah hasil analisis yang diungkap Kobach.
Maine State Secretary, Matthew Dunlap, salah satu anggota komisi dari Partai Demokrat mengatakan Kobach tidak pernah membeberkan angka-angka tersebut di rapat komisi, apalagi membawa bukti adanya double voting. Tapi Trump dan timnya memang sering sekali melontarkan tuduhan tanpa bukti.
Skepstisisme Trump yang Berujung Penolakan Hasil Pilpres
Pada Pilpres 2020 ini Trump kembali menuduh Partai Demokrat akan mencurangi pilpres, yakni melalui surat suara yang dikirim melalui pos (vote-by-mail/absentee voting). Padahal, praktik vote-by-mail atau absentee voting sudah dimulai sejak masa Perang Sipil pada 1860-an. Pandemi COVID-19 membuat sebagian besar negara bagian AS memperluas praktik vote-by-mail. Bahkan di Colorado, Hawaii, Oregon, Utah dan Washington, pemilu sepenuhnya menggunakan metode ini.
Trump menanggapi skeptis kebijakan vote-by-mail diperluas yang legal di sebagai besar negara bagian tersebut. Dia menyerukan kepada para pemilihnya untuk menghindari vote-by-mail dan mencoblos secara langsung (in-person) di TPS-TPS pada 3 November. Tapi hasilnya malah mengecewakan Trump.
Dia dan para pendukungnya sempat kegirangan karena pada malam 3 November kejadian di pilpres 2016 seperti terulang karena Trump unggul di Michigan, Pennsylvania, dan Wisconsin, tiga negara bagian bagian yang menurut poling-poling akan kembali menjadi blue wall. Namun ketika absentee ballot atau mail-in votes mulai dihitung, keunggulan Trump secaa perlahan menurun hingga akhirnya berbagai media memproyeksikan Biden sebagai pemenang pilres. Ketika artikel ini ditulis, Biden unggul di Michigan (+3,0%), Wisconsin (+0,62%), dan Pennsylvania (+0,64%) dengan total selisih suara 211.630. Pada pilpres 2016, Trump menang di ketiga negara bagian tersebut dengan keunggulan 79.646 suara saja.
Seperti diperkirakan, Trump menolak mengaku kalah. Pada 7 November lalu Trump merilis peryataan bahwa presiden ditentukan oleh suara pemilih yang sah bukan oleh media. "Mulai hari Senin, tim kampanye kami akan mulai membawa kasus kami ke pangadilan untuk memastikan undang-undang pemilu ditegakkan dan pemenang yang sah ditetapkan. Rakyat Amerika berhak mendapatkan pemilu yang jujur: yang berarti menghitung surat suara sah dan tidak menghitung surat suara tidak sah."
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Surat Suara Ilegal dan Vote-by-mail Sangat Kecil, Pelaku Illegal Voting Dihukum Berat
Masalahnya, tuduhan adanya surat suara ilegal dalam jumlah besar dalam pemilu tidak pernah terbukti. Selain temuan nihil pemilih ilegal pada Pilpres 2016 oleh Presidential Advisory Commission on Election Integrity bentukan Trump di atas, penelitian oleh sejumlah lembaga non-partisan atau yang berafiliasi Partai Republik menghasilkan temuan serupa.
Profesor Justin Levitt dari Loyola Law School, misalnya, melakukan penelitian mengenai kasus ilegal voting untuk pencoblosan di TPS pada pemilu (election and midterm election) 2000 - 2014. Hasilnya? Dia hanya menemukan 35 kasus kredibel pemilih mencoblos di TPS dengan memakai nama orang lain (in-person voter impersonation) dari total 800 juta suara atau hanya 0,000004%.
Untuk vote-by-mail, kasus voting fraud juga rendah. Seperti dilansir The Washington Post, studi lembaga nirlaba nonprofit Electronic Registration Information Center (ERIC) untuk vote-by-mail pada Pemilu 2016 dan pemilu sela 2018 mengungkap 372 kasus double voting dan seseorang mencoblos untuk pemilih yang sudah meninggal dari total 14.6 juta kertas suara yang dikirim melalui pos. Artinya angka pencoblosan ilegal dalam vote-by-mail pada dua pemilu tersebut hanya 0,0025%.
Hasil temuan ERIC juga diperkuat oleh data The Heritage Foundation, lembaga nirlaba yang berafiliasi ke Partai Republik. Penelitian Heritage di 5 negara bagian yang sudah menerapkan vote-by-mail (Colorado, Washington, Utah, Oregon, Hawaii) dari 2000 hingga 2018 hanya menemukan 44 kasus fraud dari 49.93 juta kertas suara atau 0,000088% saja.
Satu hal lagi, mencoblos secara ilegal di AS bukan pelanggaran yang main-main. Pada Februari 2017, Rosa Maria Ortega, warga negara Meksiko pemegang green card AS yang tinggal di Tarrant County Texas, diganjar hukuman penjara 8 tahun karena mencoblos dengan mengaku sebagai warga negara AS. Ortega mencoblos di pemilu 2012 dan pemilu 2014 bukan sebagai pemilih Demokrat, tapi Republik. Sejumlah pelaku yang melakukan pelanggaran serupa di negara bagian Pennsylvania dihukum 2 tahun penjara.
Pelanggaran seperti illegal voting selalu tejadi di pemilu AS, tapi tidak pernah banyak mengubah perolehan suara. Misalnya pada pilpres 2016, seorang capres partai ketiga meminta hitung ulang surat suara di Wisconsin. Setelah proses hitung ulang, Trump mendapat tambahan 131 suara. Dalam perhitungan suara sebelumnya Trump meraih 1.4 juta suara atau ada penambahan 0,00093%. Sangat mirip dengan temuan lembaga-lembaga nirlaba di atas.
Â
Advertisement
MA Senjata Pamungkas Trump Tapi Mungkin Tidak Memihak Kepadanya
Membawa kasus sengketa pilpres ke MA nampaknya akan menjadi senjata pamungkas Trump. Dengan sukses mangangkat 3 Hakim Agung berhaluan konservatif dan mengubah komposisi Hakim Agung MA menjadi 6 konservatif dan 3 liberal, Trump sangat yakin kasusnya akan dimenangkan oleh lembaga hukum tertinggi AS ini seperti halnya George W. Bush pada pilpres 2000.
Trump yang menghabiskan sebagian besar karirnya di dunia bisnis dan selalu bisa mendapatkan loyalitas penuh dari setiap orang yang dia beri jabatan. Tapi pemerintahan punya aturan main yang berbeda, apalagi untuk jabatan-jabatan publik yang sangat mengedepankan kompetensi seperti MA.
Trump mungkin masih bisa mengharapkan loyaliitas penuh dari Lois DeJoy, donatur kampanyenya yang diangkat menjadi direktur dan postmaster general US Post Service, karena pengangkatan DeJoy hanya perlu mendapat Postal Service Board of Governors yang beranggotakan 6 orang, 4 di antaranya adalah loyalis Trump.
Tapi dia tidak bisa berharap loyalitas dari Neil Gorsuch, Brett Kavanaugh dan Amy Coney Barrett yang diangkat menjadi Hakim Agung setelah melewati proses seleksi yang panjang, mencakup histori keputusan pengadilan yang pernah dibuat, artikel yang pernah ditulis, pidato serta bahan-bahan lain yang bisa menunjukkan bahwa dia memenuhi kualifikasi. Latar belakang pendidikan dan pengalaman karir di bidang hukum dari seorang calon juga sangat menentukan layak tidaknya seseorang menjadi Hakim Agung.
Neil Gorsuch, misalnya, adalah teman sekelas Barack Obama di Harvard Law School dan meraih Juris Doctor cum laude. Gorsuch diangkat menjadi Hakim Agung setelah meniti karir selama lebih dari 26 tahun, mulai dari judicial clerk hingga hakim di Pengadilan Banding Tenth Circuit di Denver, Colorado. Kavanaugh juga bergelar Juris Doctor tapi dari Yale Law School. Kavanaugh memulai karir di bidang hukum sejak 1990 dengan jabatan terakhir sebagai hakim di Pengadilan Banding di D.C Circuit sebelum diangkat menjadi Hakim Agung MA. Barret meraih gelar Juris Doctor summa cum laude dari Notre Dame Law School. Barrett memulai karir di bidang hukum 23 tahun lalu. Jabatan terakhir sebelum diangkat menjadi Hakim Agung adalah Hakim di Pengadilan Banding Seventh Circuit di Chicago, Illinois.
Catatan sejarah menunjukkan, sejumlah Hakim Agung konservatif yang diangkat oleh presiden Partai Republik ternyata kemudian menjadi beraliran liberal. Contohnya adalah Ketua MA Earl Warren yang diangkat oleh Presiden Dwight D. Eisenhower dan Hakim Agung David Souter yang diangkat oleh Presiden George HW Bush. Ketua MA sekarang, John Roberts, yang diangkat oleh oleh Presiden George W. Bush adalah beraliran konservatif, tapi sering sekali menjadi swing justice yang berpihak pada kelompok Hakim Agung liberal dalam sejumlah keputusan MA yang penting, meskipun Roberts tidak bisa dicap sebagai Hakim Agung liberal.
Pertanyaannya adalah: Apakah MA yang 6 Hakim Agungnya beraliran konservatif, 3 diantaranya diangkat oleh Presiden Donald Trump, akan berpihak pada presiden ketika tim Trump membawa kasus sengketa hasil pilpres ke MA? Setidaknya ada 3 faktor penting yang menjadi clue keputusan MA.
Pertama, keputusan MA akan mengacu kepada keputusan MA negara bagian setelah melihat hasil penghitungan ulang (recount) surat suara. Dengan keunggulan selisih suara Biden di Michigan, Wisconsin, Pennsylvania, Nevada dan Georgia masing-masing +3%, +0,62%, +0,68%, +3% dan +0,21%, hanya Wisconsin dan Georgia yang mewajibkan penghitungan ulang suara. Pihak Trump bisa mengajukan recount tapi tanpa bukti-bukti yang pelanggaran yang kongkrit, recount hanya buang-buang uang karena tim Trump harus membayar biaya recount dan tentunya pengacara mereka. Selain itu, MA di kelima swing states tersebut merupakan institusi netral karena diangkat melalui proses seleksi yang bersifat non-partisan. Kecuali Pennsylvania yang seleksinya partisan dan saat ini Hakim Agung Demokrat menguasai MA dengan suara 5 Demokrat dan 2 Republik. Dengan dengan Biden unggul 0.66% suara, keputusan MA Pennsylvania hampir dipastikan berpihak pada Biden, sedangkan keputusan MA swing states lain akan sangat tergantung pada hasil recount. Dengan selisih suara 10,600 hingga 147,9 ribu—bukan 500 seperti pada pilpres 2000—dan histori yang menujukkan hasil recount tidak akan beda jauh dengan hasil perhitungan sebelumnya, MA yang non-partisan di swing states lain diperkirakan tidak akan membuat keputusan hukum yang kontroversial.
Kedua, keputusan MA umumnya sangat mainstream dalam arti sejalan dengan opini mayoritas warga AS. Survei baru-baru ini yang dilakukan oleh para peneliti Stanford, Harvard dan the University of Texas, Austin, yang menanyakan kepada publik tentang isu-isu sentral yang diperkarakan di MA dan melihat hasil keputusan MA sepanjang tahun 2020. Hasilnya temuan surveinya sangat menarik. Keputusan MA ternyata sejalan dengan opini publik dalam 8 dari 10 kasus penting yang di bawa MA, termasuk soal larangan diskriminasi LGBTQ di tempat kerja. Menurut Amelia Thomson dan Anna Wiederkehr dari FiveThirtyEight, hal ini tidak berarti keputusan MA dipengaruhi opini publik tapi MA dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang membentuk opini publik secara keseluruhan. Dengan Biden meraih 75,65 juta suara—perolahan suara presiden tertinggi sepanjang sejarah—dan Trump meraih 71,26 juta suara, yang berarti Biden unggul 4.39 juta suara, sudah jelas majoritas opini publik tidak berpihak pada Trump. Juga pada pilpres 2000, MA di masa itu berhadapan dengan perbedaan 500 suara dari total 5,96 juta suara di Florida atau hanya 0,0084%.
Ketiga, MA dari waktu ke waktu selalu berusaha mempertahankan reputasinya sebagai instutusi hukum tertinggi AS yang non-partisan. Pakar ilmu politik dari Emory University, Tom Clark, mengatakan bahwa Ketua MA John Roberts sangat concern dengan politisasi MA. Di era Trump, MA seakan didorong oleh presiden dan Partai Republik untu membuat keputusan-keputusan yang sesuai keinginan presiden dan Partai Republik tapi tidak sejalan dengan opini publik. Sikap Trump yang sangat transaksional dan mengharapkan loyalitas penuh dari orang-orang yang diberinya jabatan tentunya akan menjadi beban tersendiri bagi Gorsuch, Kavanaugh, Barrett dan Juga Roberts jika Trump berkuasa 4 tahun lagi.
Jadi MA yang memiliki 6 Hakim Agung konsevatif--3 diantarannya diangkat Trump—punya sejumlah alasan untuk tidak memihak calon petahana Partai Republik dalam sengketa pilpres kali ini. Apalagi sekarang tidak ada lagi ancaman court packing (upaya Biden bersama-sama Senat dan DPR Partai Demokrat untuk mengangkat sejumlah Hakim Agung liberal agar kubu liberal dan konservatif di MA lebih berimbang) karena Partai Demokrat gagal meraih mayoritas di Senat dan hanya menguasai slim majority di DPR.
Congratulations, President Joe Biden and Vice President Kamala Harris!