OPINI: Keterbukaan Informasi Keuangan untuk Tujuan Perpajakan

Otoritas pajak di setiap yurisdiksi memiliki keterbatasan dan tidak maksimal dalam mengawasi kepatuhan pembayar pajaknya di era ekonomi global saat ini yang sudah mengalami transformasi ke arah ekonomi digital.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Mei 2023, 09:20 WIB
Diterbitkan 06 Mei 2023, 09:20 WIB
John Hutagaol, Guru Besar Perpajakan dan bekerja di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. (Triyasni)
John Hutagaol, Guru Besar Perpajakan dan bekerja di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. (Triyasni)

Liputan6.com, Jakarta - Keterbukaan informasi keuangan untuk tujuan perpajakan diyakini oleh masyarakat dunia yang tergabung dalam Global Forum for Transparancy and Exchange of Information (Global Forum) sebagai senjata yang ampuh untuk melumpuhkan praktek penghindaran pajak maupun pengelakan pajak yang kian marak terjadi dan semakin kompleks untuk dapat dideteksi dan dicegah oleh otoritas pajak suatu yuridiksi.

Hal tersebut disebabkan oleh semakin globalnya perekonomian dunia dan kemajuan teknologi informasi yang sudah sangat canggih. Ditambah lagi transaksi ekonomi dan bisnis secara global lebih dari 60% dilakukan oleh para pelaku usaha yang memiliki hubungan istimewa (related party relations) sehingga bentuk dan mekanisme transaksi serta harga yang disepakati dapat diatur sesuai kepentingan grup usaha.

Selain itu, transaksi ekonomi dan bisnis yang dilakukan oleh orang pribadi yang merupakan penerima manfaat sesungguhnya (the ultimate beneficial owner) dari kegiatan ekonomi sangat mobile dan kompleks sehingga otoritas pajak suatu yurisdiksi menemui kesulitan untuk dapat mengawasi kepatuhan Wajib Pajaknya terlebih bila transaksinya dilakukan lintas yurisdiksi (crossbordeles).

Singkat kata, otoritas pajak di setiap yurisdiksi memiliki keterbatasan dan tidak maksimal dalam mengawasi kepatuhan pembayar pajaknya di era ekonomi global saat ini yang sudah mengalami transformasi ke arah ekonomi digital.

Kerjasama pertukaran informasi untuk tujuan perpajakan (Exchange of Information-EoI) diawali dengan kerjasama bilateral sesuai dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty).

Cakupan kerjasama pertukaran informasi tersebut berupa pertukaran informasi berdasarkan permintaan (EoI on request-EoIR), spontanitas (Spontaneous EoI) dan secara otomatis (Automatic EoI-AEoI).

Dalam perkembangannya, pertukaran informasi berdasarkan permintaan lebih banyak volume-nya dilakukan oleh masing-masing yurisdiksi  secara bilateral. Misalnya, yurisdiksi A sedang melakukan pemeriksaan atas WP X  maka yurisdiksi A dapat meminta konfirmasi kepada yurisdiksi B (yurisdiksi mitra perjanjian) terkait transaksi WP X dengan WP Z yang terdaftar pada yurisdiksi B. Sehingga transaksi ekonomi antara WP X dan WP Z menjadi transparan bagi otoritas pajak di yurisdiksi A.

Pertukaran informasi keuangan secara spontanitas umumnya dilakukan oleh suatu yurisdiksi secara sukarela dengan membagikan informasi keuangan yang dimilikinya  kepada mitra perjanjiannya. Misalnya yurisdiksi A memiliki informasi terkait dengan program pendataan orang-orang asing yang berbelanja di wilayah teritorinya, dan informasi tersebut dikirimkan ke yurisdiksi-yurisdiksi mitra perjanjiannya agar dapat dimanfaatkan untuk tujuan perpajakan. 

Pertukaran informasi keuangan berdasarkan permintaan maupun spontanitas belum memadai dan optimal untuk memenuhi kebutuhan informasi bagi otoritas pajak dibanyak yurisdiksi dalam mengawal basis pemajakannya dari ancaman agresif perencanaan pajak yang terbukti dapat menggerus basis pemajakan dimasing-masing yurisdiksi.

Sehingga ruang linggkup kerjasama diperluas menjadi kerjasama multilateral (multilateral convention). Kerjasama pertukaran informasi keuangan secara otomatis (AEoI) dikembangkan dengan menerapkan prinsip Common Reporting Standard- CRS) sebagai acuannya. 

Dalam kerjasama pertukaran informasi secara multilateral tersebut, the Multilateral Competent Authority Agreement- MCAA) memaksa yurisdiksi-yurisdiksi yang sebelumnya dikenal sebagai  Negara Surga Pajak (dahulu disebut Tax Haven Jurisdictions dan sekarang dengan istilah Low Tax Jurisdictions) untuk ikut menandatangani dan berpartisipasi dalam AEoI sehingga kerahasian informasi keuangan (secrecy of financial information) pada lembaga-lembaga keuangan di yurisdiksi-yurisdiksi tersebut ditiadakan untuk tujuan perpajakan.

Mereka wajib menyediakan data dan informasi rekening para nasabahnya untuk disampaikan kepada otoritas pajak dari yurisdiksi lainnya seperti Indonesia. Menariknya, AEoI dilakukan secara resiprokal dan pembiayaan serta pemeliharaan perangkat pertukaran informasi tersebut (disebut Common Transmission System- CTS) dibagi rata bebannya kepada seluruh anggota yurisdiksi berdasarkan persyaratan tertentu yang disepakati. Indonesia mulai aktif berpartisipasi dalam AEoI sejak 2018.

Terkait dengan perkembangan AEoI pada pertemuan G20 tahun 2022 yang lalu, Mathias Cormann selaku Sekretaris Jenderal Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menjelaskan bahwa secara global lebih dari 100 yurisdiksi yang sudah efektif berpartisipasi dalam AEoI dan telah berhasil mempertukarkan 111 juta rekening keuangan nasabah dengan nilai mencapai 11 trilyun Euro.

Dampak atas pelaksanaan EoI termasuk AEoI secara global banyak membantu otoritas pajak dalam mencegah praktik perencanaan pajak yang agresif atau Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Pemanfaatan data dan informasi keuangan untuk tujuan perpajakan oleh otoritas pajak suatu yurisdiksi sangat efektif untuk mendongkrak kepatuhan pembayar pajak dan tax ratio dari yurisdiksi tersebut.

 

Oleh:  John Hutagaol, Guru Besar Perpajakan dan bekerja di Direktorat Jenderal Pajak sebagai Tenaga Pengkaji Bidang Pembinaan dan Penertiban SDM. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya