OPINI: Penyelesaian Sengketa Pajak Internasional

Secara umum, Indonesia dan negara-negara di dunia menganut tahapan penyelesaian sengketa pajak internasional yang cenderung sama di tingkat domestik, meskipun mekanismenya dapat berbeda satu-sama lain.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Mei 2023, 19:00 WIB
Diterbitkan 16 Mei 2023, 19:00 WIB
John Hutagaol, Guru Besar Perpajakan dan bekerja di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. (Triyasni)
John Hutagaol, Guru Besar Perpajakan dan bekerja di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. (Triyasni)

Liputan6.com, Jakarta Sengketa pajak internasional dari tahun ke tahun jumlahnya cenderung meningkat baik dari sisi volume maupun nilai sengketanya. Timbulnya sengketa pajak tersebut disebabkan oleh banyak hal.

Pertama, sengketa timbul akibat adanya keterbatasan informasi (assymetric information) yang dialami oleh otoritas pajak mengenai seluk beluk kegiatan usaha (business profile) Wajib Pajaknya sehingga pengawasan dan penegakan hukum terhadap Wajib Pajak tidak optimal.

Kedua, semakin menglobalnya ekonomi dunia yang dipicu oleh kecanggihan teknologi informasi melahirkan model dan skema bisnis baru sehingga menimbulkan kekosongan hukum pajak internasional yang akhirnya mengakibatkan sengketa pajak multilateral, contohnya kasus digital services tax (DST).

Ketiga, perlakuan pajak atas suatu transaksi yang sama misalnya prive yang diterima oleh sekutu komanditer berbeda-beda antara yurisdiksi yang satu dengan yurisdiksi lainnya sehingga rentan menimbulkan sengketa.

Keempat, perbedaan penafsiran dan penerapan ketentuan tax treaty, misalnya terkait siapa pihak yang berhak untuk mendapatkan manfaat treaty (treaty benefits).

Kelima, adanya praktik penghindaran pajak melalui skema transfer pricing, thin capitalization, dan controlled foreign company yang sering berbenturan dengan ketentuan perpajakan domestik di suatu yurisdiksi.

Sistem perpajakan di Indonesia dan internasional menyediakan dua mekanisme penyelesaian sengketa pajak internasional, yaitu penyelesaian sengketa secara domestik atau lazim disebut “domestic remedies”, dan penyelesaian sengketa melalui Mutual Agreement Procedure (MAP) sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau tax treaty.

Secara umum, Indonesia dan negara-negara di dunia menganut tahapan penyelesaian sengketa pajak internasional yang cenderung sama di tingkat domestik, meskipun mekanismenya dapat berbeda satu-sama lain.

Di Indonesia, atas suatu sengketa pajak internasional Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan ke Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, banding ke Pengadilan Pajak, dan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Di negara lain seperti Korea Selatan, mekanisme penyelesaian sengketa melalui litigasi dapat dilakukan pada beberapa tingkatan pengadilan, yaitu National Tax Tribunal, High Court, dan Supreme Court.

Selain melalui domestic remedies, atas sengketa pajak internasional dapat diselesaikan melalui Mutual Agreement Procedure (MAP) sesuai tax treaty.

Pelaksanaan MAP bertujuan untuk lebih memberikan kepastian hukum (legal certainty) dan keadilan karena sengketa pajak tersebut dibahas oleh Pejabat Yang Berwenang (Competent Authority atau CA) dari kedua yurisdiksi sehingga potensi pajak berganda dapat dicegah.

Yang dimaksud CA dalam tax treaty adalah Menteri Keuangan atau pejabat lain yang diberikan pelimpahan kewenangan, misalnya di Indonesia yang dimaksud CA dalam perundingan MAP adalah Menteri Keuangan, Direktur Jenderal Pajak, dan Direktur Perpajakan Internasional.

Kepastian hukum bagi Wajib Pajak ini dapat dijamin, misalnya dalam hal Wajib Pajak mengajukan penyelesaian sengketa pajak internasional melalui domestic remedies dan MAP secara bersamaan, apabila putusan banding telah diucapkan dan perundingan MAP belum menghasilkan Persetujuan Bersama, maka pelakanaan MAP akan dihentikan, atau sebaliknya.

Selain MAP, mekanisme penyelesaian sengketa pajak internasional yang lazim dipraktikkan oleh negara-negara di dunia adalah melalui mekanisme arbitrase yang diselenggarakan di Mahkamah Internasional di Den Haag (Belanda).

Ke depan, seiring dengan semakin luas dan kompleknya permasalahan dalam penyelesaian sengketa pajak internasional, arbitrase akan menjadi pilihan yang semakin diminati baik oleh Wajib Pajak maupun otoritas pajak.

Penyelesaian sengketa pajak menimbulkan beban kepatuhan (compliance cost) bagi Wajib Pajak dan juga beban administrasi (administrative cost) bagi otoritas pajak.

Wajib Pajak maupun otoritas pajak harus menyiapkan dan menghabiskan sumber dayanya baik SDM, biaya, sarana dan prasarana untuk menyelesaikan sengketa pajak tersebut. Dalam rangka pelaksanaan MAP, beberapa yurisdiksi membebankan biaya tersebut kepada Wajib Pajak, sedangkan di Indonesia atas pelaksanaan MAP Wajib Pajak tidak dibebani biaya atau fee.

Sehubungan dengan mahalnya biaya penyelesaian sengketa pajak, idealnya sengketa pajak dapat dicegah timbulnya dari kedua sisi, baik Wajib Pajak maupun otoritas pajak.

Dari sisi otoritas pajak, reformasi administrasi pajak seyogianya terus menerus dilakukan sehingga menghasilkan kemudahan, kenyamanan dan kepastian bagi Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban maupun menjalankan hak-haknya, misalnya hak untuk mendapatkan keadilan di bidang perpajakan.

Khusus untuk mencegah timbulnya sengketa transfer pricing, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Advance Pricing Agreement (APA) kepada CA pada otoritas pajak di yuridiksi dimana ia terdaftar sebagai Wajib Pajak, misalnya di Indonesia adalah Direktorat Perpajakan Internasional.

APA dapat dilakukan secara bilateral atau disebut bilateral advance pricing agreement (BAPA) yang pembahasannya mengikutsertakan CA dari otoritas kedua yurisdiksi mitra perjanjian.

Selain itu, APA dapat dilakukan secara sepihak atau disebut Unilateral Advance Pricing Agreement (UAPA) dimana pembahasan dan kesepakatan dilakukan antara Wajib Pajak dan Otoritas Pajak di yurisdiksi tempat Wajib Pajak terdaftar.

Manfaat dari pelaksanaan APA adalah Wajib Pajak memperoleh kepastian mengenai harga wajar atas transaksi hubungan istimewa dengan induk perusahaannya (parent companies) karena telah disetujui oleh otoritas pajak.    

 

Oleh: John Hutagaol, Guru Besar Perpajakan dan bekerja di Direktorat Jenderal Pajak sebagai Tenaga Pengkaji Bidang Pembinaan dan Penertiban SDM. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

 

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya