Calon Petahana Dianggap Berpotensi Manfaatkan Birokrasi

Pemanfaatan dana APBD, kata Wahyu, juga berpeluang terjadi dalam pilkda serentak.

oleh Oscar Ferri diperbarui 07 Agu 2015, 01:16 WIB
Diterbitkan 07 Agu 2015, 01:16 WIB
Ilustrasi pilkada serentak (Liputan6.com/Yoshiro)
Ilustrasi pilkada serentak (Liputan6.com/Yoshiro)

Liputan6.com, Jakarta - 100 Calon incumbent atau petahana kembali mendaftarkan diri dalam Pilkada serentak yang dimulai 9 Desember 2015. Namun, calon-calon petahana ini dinilai paling berpotensi memanfaatkan birokrasi, beserta keluarganya untuk memenangkan pilkada.‎

Direktur Eksekutif Pilkada Watch Wahyu A Permana mengatakan, para calon petahana ini berpeluang besar memanfaatkan jaringan birokrasi melalui politik kekerabatan, dengan modus pemanfaatan aset pemerintah daerah dalam proses kampanye.

Pemanfaatan dana APBD, kata Wahyu, juga berpeluang terjadi dalam pilkda serentak. Modusnya adalah melalui keterlibatan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam membiayai kegiatan kampanye calon kepala daerah.

"Politik balas budi dari pejabat dan staf di pemerintah daerah pada calon kepala daerah, khususnya petahana marak ditemukan," kata Wahyu dalam diskusi bertajuk Pilkada dan Launching Pilkada Watch di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (6/8/2015).

‎Wahyu menilai, pelanggaran dalam pelaksanaan pilkada hampir sebagian besar diakibatkan tidak netralnya birokrasi atau aparat sipil negara. ‎Yang tentunya pelanggaran itu dilakukan oleh petahana sebagai orang nomor 1 di pemerintahan daerah.

Pada kesempatan sama, Dewan Pakar Pilkada Watch Indra J Piliang mengatakan, banyak laporan yang masuk soal modus pelanggaran yang dilakukan aparat negara di daerah. Terutama yang dilakukan oleh lurah atau sekretaris daerah (sekda) dalam pilkada.

Lurah dan sekda, kata Indra, masuk dalam kategori aparat negara di bawah monitoring Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Menurut dia, euforia Pilpres 2014 belum selesai. Namun masyarakat sudah dihadapkan dengan penyelenggaraan pilkada serentak pada 9 Desember 2015. Selama ini, laporan soal pelanggaran yang berkaitan dengan pilkada sudah banyak‎ masuk.

‎"Pelanggaran pilkada sudah banyak masuk laporannya, terutama yang dilakukan aparat sipil negara," kata Indra.

Sayangnya, lanjut Indra, seringkali laporan masyarakat itu kerap diabaikan, sehingga banyak masyarakat yang terlanjur apatis dalam proses pilkada. Karenanya, lahirnya Pilkada Watch dapat membuka pintu untuk menerima, menginvestigasi, dan mengadvokasi laporan masyarkat soal pelanggaran pilkada serentak 2015.

Untuk membantu tugas pengawasan, Indra menyebutkan, Pilkada Watch menerima relawan pilkada dari masyarakat di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia. Cara pendaftaran bisa dilakukan melalui laman Pilkada Watch.

Saat ini, Indra menambahkan, beberapa kasus yang tengah diinvestigasi Pilkada Watch di antaranya kasus dugaan ijazah palsu calon kepala daerah di Kabupaten Banggai (Sulawesi Tengah), dugaan pemanfaatan aset daerah oleh calon kepala daerah di Tangerang Selatan (Banten).

Ada juga terkait netralitas aparat di kabupaten Tanah Tidung (Kalimantan Utara), mobilisasi PNS di Kabupaten Pemalang (Jawa Tengah) yang diduga dilakukan petahana, dan mobilisasi masyarakat yang diduga dilakukan camat di Kabupaten OKU (Sumatera Selatan). (Rmn/Nda)

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya