Perbedaan Sebagai Tonggak Kebhinekaan, Bukan Pemicu Isu SARA

Proses Pilkada DKI Jakarta, diakui Djarot, saat ini menjadi tidak sehat untuk menjadi tontonan anak-anak, karena kerap mengandung SARA.

oleh Liputan6 diperbarui 31 Mar 2017, 14:45 WIB
Diterbitkan 31 Mar 2017, 14:45 WIB
Perbedaan Sebagai Tonggak Kebhinekaan, Bukan Pemicu Isu SARA
Proses Pilkada DKI Jakarta, diakui Djarot, saat ini menjadi tidak sehat untuk menjadi tontonan anak-anak, karena kerap mengandung SARA.

Liputan6.com, Jakarta Jalannya Pilgub DKI Jakarta 2017 kerap diwarnai oleh isu Isu suku, ras, agama dan antargolongan (SARA). Keadaan tersebut juga berdampak pada keadaan politik yang kian memanas. Hal itu ternyata menyita perhatian salah satu Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat.

Proses Pilkada DKI Jakarta, diakui Djarot, saat ini menjadi tidak sehat untuk menjadi tontonan anak-anak, karena kerap mengandung SARA. Djarot berharap agar para pelaku pilkada, dapat memisahkan unsur SARA pada proses berlangsungnya Pilkada. Karena anak-anak, kata Djarot, merupakan masa depan bangsa Indonesia yang diharapkan tidak mencontoh hal-hal demikian.

Pengamat Politik Arbi Sanit menilai isu seputar Suku Ras dan Agama (SARA) telah disalahgunakan dalam demokrasi reformasi, khususnya pilkada DKI Jakarta.

"SARA menyalahgunakan reformasi, disalahgunakan karena (reformasi) menjamin kebebasan. Orang-orang yang fanatik merasa
berhak mempejuangkan SARA-nya," kata Arbi.

"Memang, dengan spanduk dan pemberitaan, yang ditonton anak-anak tidak baik sebenarnya. Kami mengimbau bisa memisahkan bahwa pilkada tak ada kaitan dengan? SARA. Kita bukan bangsa yang terkotak-kotak. Tapi sudah menyatu. Kami berjalan di ideologi membangun semangat ke Indonesiaan," papar Djarot.

Isu SARA tidak dapat dipungkiri terjadi lantaran adanya perbedaan yang hadir di masyarakat, menanggapi hal ini, Djarot mengungkapkan jika perbedaan yang muncul pada masyarakat merupakan sebuah takdir. Meski demikian, Djarot berujar, setiap masyarakat Indonesia sudah seharusnya merajut berbagai perbedaan, sehingga bangsa Indonesia dapat menjadi sebuah bangsa yang selama ini disebut Bhineka Tunggal Ika.

"Perbedaan itu takdir, takdir dari Tuhan. Saya ingat Pak Anies pernah bilang, ingin menenun kebangsaan. Tentu tenunan kebangsaan ini jangan disobek-sobek lagi. Bisa kita wujudkan di masyarakat Jakarta karena masyarakat Jakarta sudah cerdas, sudah baik dan bisa menentukan pilihan," pungkas Djarot.

Seperti yang diketahui, pada Pilgub DKI Jakarta 2017 pasangan Ahok-Djarot merupakan cagub cawagub yang paling sering diserang dan disudutkan dengan menggunakan isu-isu SARA. Salah satu contohnya ialah, kasus spanduk provokatif yang sarat dengan isu SARA sempat menghebohkan masyarakat DKI Jakarta. Spanduk provokatif tersebut berisi larangan pensalatan jenazah bagi pendukung Ahok-Djarot dan sempat marak muncul di mesjid dan musala yang berada di DKI Jakarta.

Peneliti Pusat Data Bersatu (PDB), Agus Herta Soemarto memberikan pendapatnya mengenai isu SARA yang kerap muncul di Pilgub DKI Jakarta 2017, menurutnya, kelompok yang paling efektif memanfaatkan isu ini adalah pasangan calon gubernur dan wakil gubernur nomor urut dua, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat.

“Hasil pilkada putaran pertama, suara Muslim tersebar dan tidak menunjukkan adanya konsentrasi di salah satu calon tertentu," kata Agus

Agus juga memaparkan, pada putaran pertama paslon Ahok-Djarot justru unggul di empat wilayah, seperti Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Utara, dan Kepulauan Seribu. Sementara itu, paslon Anies Baswedan-Sandiaga Uno hanya ‎unggul di Jakarta Selatan dan Jakarta
Timur.

"Jadi kesimpulannya, secara faktual, SARA bukan hanya sekadar isu. Pilkada DKI Putaran pertama terindikasi kuat melibatkan isu SARA. Dan yang paling efektif menggunakan isu SARA itu adalah Ahok-Djarot," pungkas Agus.

(*)

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya