Dedi Mulyadi: Ada Zakat dan Pajak, Harusnya Indonesia Jadi Makmur

Menurut Cawagub Jabar Dedi Mulyadi, dalam tata aturan penyaluran zakat, Islam telah memberikan panduan konkret untuk menyalurkan zakat kepada 8 golongan.

oleh Abramena diperbarui 26 Mei 2018, 12:54 WIB
Diterbitkan 26 Mei 2018, 12:54 WIB
Dedi Mulyadi
Calon wakil gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berbagi kisah inspiratif dalam acara Inspirato di SCTV Tower, Jakarta, Selasa (20/3). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Calon Wakil Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menilai, seharusnya masalah kemiskinan di Jawa Barat dan Indonesia sudah bisa terselesaikan. Pasalnya, terdapat dua lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengumpulkan dana.

Dua lembaga tersebut adalah Badan Amil Zakat Nasional yang ditugasi menghimpun dana. Produknya berupa zakat, infaq, dan sekedah. Selain itu, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak juga rutin memungut pajak setiap tahun.

"Secara logika, seharusnya Indonesia menjadi bangsa maju dan makmur karena ada dua kanal besar penghimpun dana. Ada Badan Amil Zakat Nasional dan Direktorat Pajak," kata Dedi Mulyadi, Jumat, 25 Mei 2018 di Kecamatan Tambun Selatan, Bekasi, Jawa Barat.

Menurut Dedi, dalam tata aturan penyaluran zakat, Islam telah memberikan panduan konkret. Zakat tersebut harus diberikan kepada 8 ashnaf (golongan) yang tercantum dalam Surah At Taubah ayat ke-60.

"Sasarannya jelas sesuai dengan dimensi sosial. Zakat harus disalurkan kepada 8 golongan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Seluruh golongan ini berhak menerima sesuai dengan proporsi masing-masing," katanya.

Berdasarkan keterangan tersebut, kedelapan golongan itu adalah fakir, miskin, amilin (operasional pengumpul), dan muallaf. Selanjutnya, hamba sahaya, gharimin (orang berutang), sabilillah, dan ibnu sabil.

Sabilillah merupakan orang yang berjuang di jalan Allah SWT dengan berbagai kapasitas kemampuan. Sementara Ibnu Sabil merupakan orang yang kehabisan bekal saat menempuh perjalanan jauh untuk kepentingan agama Islam.

Dedi menyebut, kedelapan ashnaf ini juga merupakan tanggung jawab negara. Artinya, bukan semata tugas sebuah badan amil zakat untuk memenuhi kebutuhan mereka melalui penghimpunan dana umat.

"Itu juga kan termasuk ke dalam amanat konstitusi kita, amanat UUD 1945. Saya kira itu satu substansi," kata Dedi Mulyadi.

 

Sejarah Pajak, Duplikasi dari Zakat

Dedi Mulyadi Robohkan Rumah Warga
Dedi Mulyadi bersama warga merobohkan rumah seorang nenek di Bekasi

Menurut Dedi Mulyadi, Penguasa Prancis Napoleon Bonaparte melihat posisi strategis zakat sebagai jaring pengaman sosial dan instrumen pembangunan. Karena itu, dia memberlakukan pungutan di Prancis serupa zakat, dalam hal ini pajak.

Sistem ini kemudian terkenal di Eropa dan diadopsi oleh Belanda. Negara terakhir ini menjajah Nusantara dan memberlakukan sistem pajak untuk menopang logistik operasional di koloninya. Bahkan, sebagian besar hasil pajak tersebut dibawa ke Belanda.

"Nah, ini mereka niru-niru zakat nih. Lahirlah sistem pajak pertama kali di Prancis, diadopsi Belanda dan kita mengenalnya karena dijajah," ucap Dedi.

Kader Nahdlatul Ulama itu menilai APBN dan APBD selain berpihak pada 8 ashnaf, juga harus berpihak pada pembangunan. Sehingga, ada dimensi penyelesaian masalah sosial yang tercermin dalam dokumen uang rakyat tersebut.

"Di Negara Barat misalnya, pengangguran pun diberikan tunjangan sosial. Itu dari dana pajak. Kita punya dua sumber, pajak dan zakat, harusnya lebih makmur kan?" kata Dedi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya