Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta pengusaha properti menyampaikan data transaksi properti setransparan mungkin. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya optimalisasi penerimaan pajak.
"Ini kami sedang minta (data transaksi) kepada pengusaha properti. Banyak sekali saya yakin, terutama di Jakarta yang sudah gila-gilaan harga apartemennya," ujar Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, seperti dikutip dari situs Setkab, Jumat (13/3/2015).
Baca Juga
Ia mengatakan, saat ini penerimaan pajak dari sektor properti belum optimal. Hal itu lantaran belum terawasinya transaksi sektor properti. Padahal, ada pajak-pajak yang harus dibayarkan oleh para pihak terkait atas terjadinya suatu transaksi properti.
Advertisement
"Banyak transaksi apartemen, terutama di Jakarta, di kota besar lainnya yang peralihan kepemilikan itu tidak pernah termonitor dengan baik. Akhirnya pajaknya tidak pernah masuk," kata Bambang.
Ia mengingatkan, berdasarkan ketentuan, peralihan hak milik dan sewa atas suatu properti seharusnya dikenakan pajak. Penjual properti, misalnya dikenakan pajak penghasilan, sementara pihak yang menyewakan properti dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
"Jual apartemen ke orang itu kena PPh 5 persen dari nilai jualnya, menyewakan juga ada pajaknya, PPN. Jadi intinya banyak pajak yang seharusnya di-collect, ini tidak di-collect karena informasinya tidak ada," tutur Bambang.
Sebelumnya dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 penerimaan pajak non-migas disepakati Rp 1.439,7 triliun. Target penerimaan perpajakan ini meningkat 11,5 persen dari APBN 2015.
Selain itu, Kemenkeu juga akan mengkaji ulang kriteria apartemen mewah yang akan dikenai Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Mewah (PPnBM). Jika saat ini kriteria mewah didasarkan pada luas apartemen. Ke depan, kriteria mewah akan didasarkan pada nilainya.
"Mewah itu dari nilai uang, mewah itu bukan dari besar atau tidaknya," kata Bambang.
Dalam ketentuan yang berlaku saat ini, apartemen dengan luas di atas 150 meter persegi termasuk dalam kategori mewah, dan dikenai PPnBM sebesar 20 persen. Bambang menilai, kriteria itu sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang, salah satunya karena tidak mempertimbangkan faktor lokasi dalam penilaiannya.
"Yang berlaku sekarang sampai 150 m2 dianggap tidak mewah, lebih dari 150 m2 dikenakan PPnBM 20 persen. Masalahnya sekarang kalau apartemennya luas tapi letaknya jauh dari kota, itu harganya murah, padahal luasnya 200m2, misalnya. Terus ada apartemen 60 m2 tapi di pusat kota, prime location, harganya pasti berlipat-lipat dari yang jauh dari pusat kota tadi. Jadi kurang pas, kami akan ubah (kriterianya berdasarkan) ke nilai," tutur Bambang.
Karena itu, menurut Bambang, saat ini Direktorat Jenderal Pajak sedang merumuskan formulasi kriteria apartemen mewah yang akan dikenai PPnBM.
"Saat ini saya sudah minta tim pajak untuk mereview berapa nilai pas untuk menggambarkan mewah dan tidak," ujar Bambang. (Ahm/)