Liputan6.com, Jakarta - Sampai menjelang akhir tahun, properti masih terbilang landai. Belum ada kenaikan signifikan. Namun, tetap optimis dengan relaksasi Loan To Value (LTV) dari sisi makro yang akan membaik dengan rendahnya suku bunga.
Penjualan di pasar properti Indonesia dipengaruhi oleh peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) nomor 11 Tahun 2019 tentang Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).
Direktur Utama Pakuwon Jati Alexander Stefanus Ridwan mengatakan, perseroan kesulitan merealisasikan penjualan karena perseroan harus bisa menentukan waktu penyerahan Akta Jual Beli (AJB). Di sisi lain, bagi pengembang juga mengalami kesulitan karena penyerahan akta bergantung pada penyelesaian proyek dan penerbitan surat layak fungsi.
Advertisement
Selain itu, Pakuwon yang selama ini banyak menyasar segmen menengah atas juga belum menikmati adanya relaksasi aturan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 86 tahun 2019.
Pada kuartal akhir tahun ini, pihaknya tetap berharap merealisasikan target yang lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu. Kendati dia memperkirakan kenaikan tak bisa terlalu signifikan.
“Penjualan masih bisa terus berkembang. Terutama untuk ukuran kecil yang dibanderol Rp30 juta per meter sampai Rp40 juta per meter,”ungkapnya.
Di sisi lain, Direktur Ciputra Development Harun Hajadi mengatakan, performa perusahaan harus dilihat dari capaian nilai penjualan.
Sebelum beli rumah pertama, Ini panduan beli rumah pertama wajib Anda ketahui
Namun, ujarnya persoalan utamanya kini adalah keadaan oversuplai (kelebihan pasokan). Investor tidak dapat memetik keuntungan karena suplai (kantor dan rumah) masih banyak. Akibatnya pemasukan dari sektor tersebut cukup tergerus.
Harun pun memprediksikan pada kuartal akhir tahun ini, industri properti akan membaik karena dari sisi makro mendukung dengan rendahnya suku bunga.
Jeffri Tanudjaja, Wakil Direktur Utama Metropolitan Kentjana mengatakan bahwa penurunan kinerja disebabkan oleh berkurangnya pasokan unit apartemen yang tersedia. Dengan begitu, kemampuan perseroan untuk melakukan penjualan pada akhir tahun ini menjadi berkurang.
Menurut Analisis Hans Kwee, Direktur PT Anugerah Mega Investama, sektor properti baru mulai akan tumbuh kembali setelah mati suri dari tiga tahun lalu. Namun menjadi fokus adalah penyediaan properti murah. Pengembang ungkap, dia harus mulai menyediakan hunian murah untuk bisa diserap pasar.
“Mungkin pemerintah akan mencabut Loan To Value (LTV) pada akhir tahun dengan demikian sektor ini bisa lari kembali. Pemerintah sedang berusaha mendorong kembali sektor ini,” katanya.
Baca juga: Cara Kumpulkan DP Dalam Waktu 12 Bulan
Hans berpendapat bahwa tekanan penjualan terbesar berasal dari segmen apartemen. Pasalnya, aturan pemerintah masih memberatkan bagi para pengembang.
Sejauh ini pemerintah sudah menunjukkan keberpihakannya untuk sektor properti. Selain itu, adanya kebijakan makro Bank Indonesia (BI) dengan mengurangi BI 7-Days Repo Rate atau suku bunga acuan sebesar 100 basis poin (bps) dari 6,00% pada Juli. Sampai saat ini sudah berada di level 5,00%.
Pasar paling banyak menginginkan hunian dengan harga di bawah Rp1 miliar. Kendati kondisi saat ini, kelas menengah sedang bertumbuh. Namun, para milenial itu tidak terlalu banyak menghabiskan uang untuk membeli properti.
Menurutnya, kelas menengah yang sedang tumbuh itu lebih banyak menghabiskan uangnya untuk berpelisir ke tempat wisata. Alhasil, pengembang besar menghadapi tantangan untuk menyediakan hunian dengan harga rendah.
Tantangan para pengembang saat ini adalah untuk bisa menyelaraskan antara permintaan dan pembelian.
“Properti itu erat dengan supply dan demand. Tapi pengembang besar yang tadinya menjual Rp1 miliar hingga Rp2 miliar tidak mungkin menjual di bawah itu sedangkan pasar menginginkannya. Tantangan mereka sekarang menyelaraskan,” pungkasnya.
Temukan lebih banyak lagi panduan dan tips membeli rumah dalam Panduan dan Referensi.
Hanya Rumah.com yang percaya Anda semua bisa punya rumah