Liputan6.com, Serang - Pemerintah Kota Serang meminta Pemprov Banten ikut andil dalam menjaga dan melestarikan situs Kesultanan Banten agar tetap lestari. Kerja sama sangat diperlukan karena persoalan di situs peninggalan Kesultanan Banten sangat kompleks.
"Jangan dibiarkan. Harus dilindungi dan dikembangkan kawasan pariwisata berbasis budaya," kata Kepala Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Kota Serang, Komarudin, Kamis (25/02/2016).
Menurut dia kerap kali terjadi tumpang tindih kewenangan antara Keluarga Besar Kesultanan, Balai Cagar Budaya, hingga Pemkot Serang. Sehingga kesemrawautan birokrasi kerap kali terjadi.
"Faktanya di sana ada kasepuhan keluarga Kesultanan Banten Lama, bicara cagar (budaya) kita ada balai, dari kewenangan harusnya ada di balai, kalau bicara wilayahnya ada di wilayah Kota Serang. Jadi harus duduk bareng, supaya pengelolaannya tidak salah," kata Komarudin.
Baca Juga
- Kisah Tika, Remaja Kolong Pasar Melahirkan di Usia 15 Tahun
- Cekcok Layanan Seksual, 2 Pelajar Bunuh Manajer Bank
- Heboh, Kampung di Pusat Kota Semarang Diserbu Puluhan Ekor Ular
Sebelumnya, sempat diberitakan bahwa keberadaan situs Kesultanan Banten sangat memprihatinkan.
Di areal Masjid Agung Banten banyaknya peminta-minta. Area Benteng Surosowan dijadikan tempat bermain bola tarkam, lalu di Keraton Kaibon banyak sekali coretan.
Keberadaan situs sejarah telah diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Setiap orang harus menjaga keberadaannya dan situs sejarah tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan yang bersifat pribadi.
Situs-situs Banten
Berdasarkan catatan sejarah, Istana Kaibon digunakan oleh tempat tinggal Ratu Aisyah, ibunda dari Sultan Syaifuddin.
Advertisement
Namun kini hanya tinggal reruntuhannya saja. Belanda menghancurkannya saat terjadi peperangan melawan Kerajaan Banten pada 1832.
Selanjutnya ada Keraton Surosowan seluas 4 hektare yang dibangun tahun 1552 Masehi, menjadi tempat tinggal para Sultan Banten saat berkuasa dahulu, seperti Sultan Maulana Hasanudin hingga Sultan Haji yang pernah berkuasa pada tahun 1672-1687 Masehi. Bangunan ini dihancurkan Belanda saat kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa.
Ada juga Masjid Agung Banten yang dibangun oleh Sultan Maulana Hasanudin yang berkuasa tahun 1552-1570 Masehi lalu membuka Kesultanan Banten.
Bangunan masjid sendiri memiliki atap lima tingkat mirip pagoda, karena memang dibangun oleh arsitek China bernama Tjek Ban Tjut.
Pada sebelah kiri masjid terdapat kompleks makam Sultan Banten yang kerap diziarahi seperti makam Maulana Hasanuddin dengan Permaisurinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nashr Abdul Kahhar atau Sultan Haji.
Sementara di serambi kanan terdapat makam Sultan Maulana Muhammad, Sultan Zainul Abidin, Sultan Abdul Fattah, Pangeran Aria, Sultan Mukhyi, Sultan Abdul Mufakhir, Sultan Zainul Arifin, Sultan Zainul Asikin, Sultan Syarifuddin, Ratu Salamah, Ratu Latifah, dan Ratu Masmudah.
Selain benda cagar budaya tersebut, ada lagi seperti Benteng Spellwijk yang dibangun sekitar tahun 1585. Vihara Avalokitesvara yang dibangun tak berbeda jauh dengan pembangunan Masjid Agung Banten, Danau Tasikardi, Meriam Ki Amuk, hingga Pelabuhan Karangantu yang lokasinya tak jauh dari komplek Masjid Agung Banten.
Sekilas Kesultanan Banten
Kesultanan Banten adalah sebuah kerajaan Islam di Tatar Pasundan, Banten. Kerajaan ini berawal sekitar tahun 1526 ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa.
Demak menaklukkan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati, berperan dalam penaklukan tersebut. Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan Surosowan yang selanjutnya menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaannya. Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya.
Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga penting.
Perdagangan laut berkembang ke seluruh nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, China dan Jepang.
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Saat itu Banten memiliki armada kuat dengan rujukan Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten.
Kesultanan melemah seiring masuknya penjajah, perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan.
Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada 1813 setelah Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan. Pada senjakala Banten, para Sultan Banten menjadi raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
Advertisement