Liputan6.com, Yogyakarta - Batik bukan sekadar bentangan motif-motif indah. Batik ternyata memiliki makna yang sarat filosofi dan beraroma spiritual.
"Maestro batik Jogja, alm. Prof Amri Yahya, pernah bilang soal simbol ketuhanan," ujar Ketua Program Studi Seni Kriya Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Yogyakarta I Ketut Sunarya kepada Liputan6.com, Selasa, 27 September 2016.
Advertisement
Baca Juga
Simbol itu diwujudkan dalam titik-titik yang terhubung satu sama lain dalam sebuah motif batik. Mengutip penjelasan Amri Yahya, kata Ketut Sunarya, kepanjangan dari kata batik adalah ngembat titik atau menggaris noktah.
"Asal manusia diibaratkan dengan titik dan titik-titik itu berjalan menunjukkan kehidupan," ucap Ketut.
Menurut dia, batik semula berkembang di Jogja dan identik dengan Keraton, barulah kemudian diikuti daerah-daerah lain. Motifnya pun menjadi beragam dan biasanya disesuaikan dengan kondisi alam sekitar.
Motif Mega Mendung dari Cirebon, misalnya, muncul karena pengamatan lingkungan Cirebon daerah hujan. Demikian pula dengan kabupaten di DIY yang masing-masing memiliki motif khas.
Kabupaten Sleman memiliki motif semen parijoto salak karena daerah itu terkenal sebagai penghasil salak pondoh, sementara Gunungkidul memiliki batik belalang.
Bantul mengeluarkan batik kembang kates dan Kulonprogo memiliki motif geblek rentheng, yang terinsipirasi dari makanan khas daerah setempat.
"Dalam perkembangannya sampai saat ini, sudah tidak ada batik yang dikeramatkan karena batik dianggap sebagai estetika dan kebutuhan seni," kata Ketut.