Penjajahan Belanda Obrak-abrik Kelas Batik di Jawa

Motif batik Larangan awalnya hanya untuk keluarga bangsawan Jawa.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 29 Sep 2016, 14:15 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2016, 14:15 WIB
Batik, Warisan Nusantara yang Tidak Boleh Dipandang Sebelah Mata
Ingin ikut menjaga dan mempertahankan warisan leluhur? Kunjungi pameran batik, warisan 2016 di JCC sekarang.

Liputan6.com, Yogyakarta - Penjajahan Belanda di Indonesia mengubah strata batik di tanah Jawa. Larangan atau kain batik bermotif simbolis yang biasanya digunakan para raja dan bangsawan menjadi selembar kain yang diproduksi untuk kepentingan industri.

Motif batik Larangan bervariasi. Mulai dari parang rusak yang digunakan para raja, truntum untuk pernikahan, dan sebagainya.

"Awalnya batik yang dibuat hanya batik tulis dan selalu perempuan yang nyanthing," ujar I Ketut Sunarya, Ketua Program Studi Seni Kriya Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Yogyakarta kepada Liputan6.com, Selasa, 27 September 2016.

Pembuatan batik tulis di zaman itu menggunakan pewarna alam, sehingga kusam dan dalam jangka waktu setahun sudah pudar. Belanda masuk ke Indonesia memperkenalkan produk bernama naptol yang digunakan sebagai pewarna batik.

Ia mengungkapkan, secara bertahap motif kain batik yang biasanya khusus untuk keluarga raja, mulai digunakan oleh rakyat biasa. Menurut dia, orang asinglah yang memulai memakai kain batik bermotif khusus, seperti parang rusak, truntum, dan dibuat menjadi pakaian.

"Kalau orang Jawa justru takut dan segan pada awalnya," tutur dia.

Teknik pembuatan batik dengan cap, kata Ketut, juga muncul di era industri atau kolonial. Hal itu dilakukan seiring dengan meningkatnya permintaan batik di masyarakat.

Di zaman tersebut, batik lebih bebas dan pengaruh keraton berangsur pudar. "Industri dalam segi budaya merusak, tetapi bisa mendongkrak perekonomian masyarakat," ucap Ketut.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya