Liputan6.com, Garut - Rumah kumuh berdinding bilik tua tanpa fasilitas MCK yang memadai menjadi pemandangan sehari-hari bagi Nur Latifah (8). Anak perempuan itu mengalami gizi buruk dan keterbelakangan mental selama delapan tahun terakhir tanpa ada penanganan berarti.
"Saya pasrah saja sama Allah, habis bagaimana lagi," ujar Ennit (35), ibu dari Nur Latifah, dengan sedih, saat ditemui di rumahnya, Kampung Pasir Gelang, RT 03 RW 2, Desa Mekarjaya, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kamis (4/5/2017).
Ennit merupakan ibu tunggal yang harus mengasuh empat putra-putrinya sendiri. Sabuddin, sang suami, sudah lebih dulu menghadap Ilahi.
"Ayahnya (suami Ennit) meninggal dunia saat Nur baru dilahirkan empat bulan," kata dia.
Baca Juga
Bebannya agak berkurang setelah putra sulungnya, Jalaluddin (18), mulai berjualan bakso tusuk di Kota Garut, setahun terakhir. Walaupun penghasilan seadanya, setidaknya cukup untuk meringankan beban ibunda.
"Sebenarnya masih mau sekolah, tapi tidak ada uang, akhirnya dagang. Mau bantu saya katanya," kata Ennit.
Sementara itu, kedua anaknya yang lain, yakni Fitriyani (15) dan Abdul Hamid (14), sudah tiga tahun terakhir dititipkan di Pondok Pesantren Yayasan Amanah di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. "Ada yang datang dan menyanggupi untuk memelihara Fitri dan Abdul di pesantren," ucapnya.
Praktis dengan kondisi tersebut, ia tinggal di gubuknya itu hanya bersama putri bungsunya yang tidak berdaya. "Mohon maaf tangan kanannya patah, sebab tertimpa saya saat tidur," ujar dia membeberkan putrinya yang sangat lemah.
Advertisement
Dengan kondisi itu, ia sulit untuk meninggalkan putrinya, termasuk mencari pekerjaan untuk membiayai anaknya. Sebab jika ia bekerja, tak ada yang bisa menjaga Nur di rumah.
"Saya bingung mau aktivitas ke mana sebab Nur tidak ada yang jaga, kasihan juga," ujarnya.
Untuk menopang kehidupan sehari-hari, ia hanya menunggu uluran tangan masyarakat sekitar. Bahkan jika sedang seret bantuan, ia terpaksa makan nasi seadanya.
"Saya sudah seminggu makan nasi sama garam saja," kata dia.
Saat ditanya apakah pernah mendapatkan perawatan pihak medis, Ennit mengatakan, putrinya itu pernah dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Slamet selama 19 hari. Namun, perawatan itu tak bisa dilanjutkan.
"Mungkin karena tidak bayar, ya tidak diperpanjang (rumah sakit). Saya tidak punya uang untuk bayar," ujarnya.
Cimah Rumanta, salah satu warga Kampung Pasir Gelang, menyatakan keprihatinannya akan kondisi keluarga Ennit. Semua anaknya memang perlu dibantu.
"Apalagi suaminya sudah meninggal dunia," ujarnya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari, ia yang bertarung seorang diri dengan kehidupan itu hanya menunggu uluran bantuan dari masyarakat sekitar. "Kadang dari orang mampu, dari sekolah Persus atau mungkin siapa pun yang bantu, ia terima," ujar Cimah.
Sementara itu, Direktur Creative Institute Heri Muhammad Tohari menambahkan, kondisi yang dialami keluarga Ennit sudah berlangsung lama. Namun, minimnya perhatian pemerintah menyebabkan anak yang mengalami gizi buruk dan keterbelakangan mental itu sulit untuk berkembang.
"Jika saja mereka (pemerintah) mau berlapang dada mengurusnya, mungkin bakal beda ceritanya," kata dia.
Dengan semakin besarnya kebutuhan, Heri berharap pemerintah dan aparat sekitar turun tangan dan lebih proaktif membantu kebutuhan Ennit dan anaknya.
"Kalau bukan mereka (pemerintah), siapa lagi? Kan, itu kewajibannya," kata Heri berharap.