Perjuangan Penghayat Kepercayaan Kala Menikah dan Cari Kerja

Dianggapnya KTP “strip” yang dipegang penghayat kepercayaan sama artinya dengan tak beragama alias ateis

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 11 Nov 2017, 03:01 WIB
Diterbitkan 11 Nov 2017, 03:01 WIB
Penghayat kepercayaan dan aliran kejawen memiliki ritual khusus yang diajarkan secara turun temurun, ratusan tahun. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Penghayat kepercayaan dan aliran kejawen memiliki ritual khusus yang diajarkan secara turun temurun, ratusan tahun. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Kabupaten Cilacap menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan tuntutan agar penghayat kepercayaan dicantumkan dalam kolom agama di KTP.

Putusan itu dinilai bakal mendorong kesetaraan hak beragama bagi seluruh warga Indonesia. Pun, ketok palu MK itu sesuai dengan semangat untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM).

Musababnya, penggunaan tanda setrip (-) dalam KTP yang kini digunakan oleh penghayat kepercayaan, kerap menimbulkan multitafsir. Berbagai kisah pilu dilalui para penghayat kepercayaan. Bahkan, ketika hendak melangsungkan ritual sakral pernikahan pun, kesulitan mendera di depan mata.

Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (MLKI) Kabupaten Cilacap, Basuki Raharja mengisahkan, pernah terjadi, seorang penghayat kepercayaan berusia muda jatuh cinta kepada gadis yang menganut sebuah agama. Maka, setelah pertemuan kedua keluarga, sepasang kekasih ini menyepakati hari pernikahan.

Namun, ternyata, mempelai pria tak lantas memperoleh rekomendasi pernikahan dari desanya. Musababnya, kolom agama dalam KTP-nya, setrip. Oleh perangkat desa, dianggapnya KTP yang dipegang penghayat kepercayaan sama artinya dengan tak beragama, alias ateis. Sebab itu, desa setempat tak mau menerbitkan surat pengantar menikah.

MLKI Cilacap, yang waktu itu masih bernama Badan Koordinasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (BKOK) sampai harus turun tangan menjelaskan kepada pemerintah desa bahwa KTP setrip diartikan sebagai penghayat kepercayaan, alias memiliki Tuhan, dan bukan ateis.

Ternyata, aral menikah untuk penghayat kepercayaan tak berhenti di situ. Sesuai aturan, pernikahan dilangsungkan dan dicatat oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil). Namun, ternyata, perbedaan agama menjadi persoalan.

"Akhirnya bisa menikah, tetapi mengikuti tata cara sebuah agama. Setelah itu, baru dinikahkan dengan cara adat," Basuki menerangkan, Rabu 8 November 2017.

Penghulu adat untuk penghayat kepercayaan di Cilacap pun amat minim. Tahun 2017 ini, hanya ada dua penghulu yang dilegalkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Padahal, jumlah penghayat kepercayaan di Cilacap mencapai 99 ribu orang. Mereka terbagi menjadi 29 kelompok yang berbeda.

Gugur Seleksi Perangkat Desa Gara-gara KTP Setrip

Penghayat kepercayaan pemegang KTP Strip. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Penghayat kepercayaan pemegang KTP Strip. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Derita pemegang KTP setrip juga terjadi pada seleksi penerimaan perangkat desa di Desa Segaralangu, Cipari, Cilacap. Akhir 2016 lalu, Pemerintah Desa Segaralangu membentuk kepanitiaan untuk mengisi jabatan kepala urusan dan kepala seksi dalam struktur pemerintahan desa.

Dari belasan pelamar, seorang di antaranya adalah pemegang KTP setrip. Kepala Desa Segaralangu, Mustofa pun bingung. Sebab, dalam prasyarat penerimaan perangkat desa yang tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda), disebut bahwa pelamar adalah seorang yang harus menganut dari enam agama yang ada di Indonesia. Sementara, penghayat kepercayaan, sama sekali tak disebut.

Maka, Mustofa pun berinisiatif menanyakan persoalan ini ke Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah (Setda) Cilacap. Jawabannya, amat menyedihkan. Penghayat kepercayaan, dianggap bukan agama. Akibatnya, penghayat kepercayaan otomatis gugur.

"Kalau saya sendiri sebenarnya berharap agar semuanya bisa mengikuti seleksi. Tetapi karena dianjurkan seperti itu, ya mau bagaimana lagi," tutur Mustofa, yang dikenal sebagai salah satu Kepala Desa inklusif di Cilacap.

 

 

Tidak Sama dengan Ateis

Siswa penghayat belajar ke pendamping atau guru pelajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Siswa penghayat belajar ke pendamping atau guru pelajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Sementara, Sekretaris MLKI Cilacap, Muslam Hadiwiguna Putra mengakui penggunaan setrip dalam kolom agam di KTP para penghayat kepercayaan kerap disalahartikan sebagai orang yang tak beragama atau ateis. Pemegang KTP setrip pun kerap terdiskriminasi.

Ia berharap munculnya kepercayaan dalam kolom agam di KTP bisa meminimalisir kemungkinan diskriminasi pada para penghayat kepercayaan.

Namun begitu, MLKI Cilacap belum mengambil sikap apapun terkait putusan ini. Hanya saja, kabar baik ini sudah diinformasikan kepada penghayat kepercayaan lewat saluran komunikasi perorangan. Sebab, sebagian pengurus utama MLKI mengikuti sidang putusan di MK, Jakarta dan Solo.

MLKI juga akan melakukan rapat dan menindaklanjutinya dengan berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Cilacap.

"Iya ini nanti kita ada koordinasi. Ini kan baru pembacaan, baru dikabulkan. Ini kan kita juga baru mengabarkan kabar baik," Muslam menerangkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya