Mengintip Kampung Pengemis di Kaki Gunung Agung

Mayoritas warga desa ini adalah pengemis di Bali

oleh Dewi Divianta diperbarui 01 Feb 2019, 07:35 WIB
Diterbitkan 01 Feb 2019, 07:35 WIB
Desa Pengemis di Bali
Anak-anak bermain di desa yang terkenal sebagai pengemis di Kabupaten Karangasem, Bali (Liputan6.com/Dewi Divianta)

Liputan6.com, Denpasar - Hari masih siang. Terik mentari terasa menyengat kepala. Peluh membasahi sekujur tubuh saat harus harus menaiki jalan terjal di kaki Gunung Agung. Membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk mencapai Banjar Muntigunung, Desa Tianyar Barat, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali.

Begitu tiba, anak-anak tengah bermain di halaman areal perumahan yang merupakan bantuan dari Kementerian Sosial. Ada 50 rumah untuk 50 kepala keluarga (KK). Inilah ‘desa pengemis’. Sebutan itu disematkan lantaran hampir seluruh warga di sini bepergian ke kota besar seperti Denpasar, Gianyar dan Badung untuk mengemis.

Bersama anak mereka yang masih kecil, biasanya para orangtua mengemis di tiap-tiap perempatan jalan. Kepala Desa Tianyar Barat, I Gede Agung Pasrisak Juliawan menjelaskan, awalnya satu dua orang saja warganya yang bepergian untuk mengemis.

Namun, keterbatasan ekonomi membuat hampir sebagian besar warganya tergiur mengemis untuk mendapatkan uang dalam waktu cepat. “Awalnya hanya satu dua orang warga saja yang mengemis. Tetapi begitu mereka pulang dari mengemis dengan membawa sejumlah sembako dan sisa uang yang masih banyak, itu membuat warga lainnya tergiur mengemis juga,” ujar Gede Pasrisak kepada Liputan6.com, Kamis (31/1/2019).

Dari situ berduyun-duyun warga mengikuti jejak langkah untuk mengemis. Alhasil, desa mereka dijuluki sebagai desa pengemis. Sebagian besar pengemis di seluruh penjuru Bali berasal dari sini. Gede Pasrisak tak nyaman dengan sebutan ‘desa pengemis’.

Ia bertekad mengubah image tersebut. Ia percaya sektor pertanian dan perkebunan yang menjadi andalan di desanya mampu mengangkat harkat derajat warganya. Apalagi, panorama alam desanya amat bagus untuk dieksplorasi.

“Saya dari awal meminta khusus penanganan di sini. Kita ubah image-nya menjadi desa wisata, bukan lagi pengemis. Kita mulai dari infrastruktur. Potensi wisata kita gali. Tracking dari Songan ke Pura Ulundanu jalan ke sini,” jelasnya.

Perlahan, upayanya membuahkan hasil. Banyak turis mancanegara yang menikmati tracking ke ‘desa pengemis’. Ke depan, ia tengah mengupayakan agar rumah-rumah warganya yang merupakan bantuan dari Kementerian Sosial bisa diberdayakan sebagai homestay.

“Kerajinan masyarakat juga kita berdayakan. Jadi selain turis bisa tracking ke sini, mereka yang ingin menginap ada homestay yang tersedia. Sebagai oleh-oleh, kami jajakan souvenir khas desa kami,” ulasnya. Salah satu yang menarik turis untuk datang ke sini adalah pemandangan Gunung Agung yang terlihat jelas dari Desa Tianyar Barat.

 

Evolusi Desa Wisata

Desa Pengemis di Bali
Aktivitas warga di desa yang terkenal sebagai pengemis di Kabupaten Karangasem, Bali (Liputan6.com/Dewi Divianta)

Gede Pasrisak tak meninggalkan citra sebagai desa penemis begitu saja. Justru hal itu dianggap menjadi ciri khas bagi turis yang ingin berkunjung ke sini. “Turis bisa berinteraksi langsung dengan masyarakat. Mereka bisa mendengarkan pengalaman bagaimana kami yang dulunya terkenal sebagai desa pengemis, berubah menjadi desa wisata,” urainya.

Bersyukur, upayanya membuahkan hasil. Tahun lalu, 900 orang turis mengunjungi Desa Tianyar Barat. Mayoritas dari mereka, Gede Pasrisak menuturkan, adalah wisatawan asal Eropa.

Gede Pasrisak kini tengah berupaya keras mempercantik desanya untuk mendukung destinasi wisata yang tengah digagasnya. “Ke depan kami ingin menjalin kerja sama dengan semua pihak yang berkonsentrasi di sini. Selfie zone kita akan buat,” katanya.

Saat ini, yang tengah menjadi fokusnya adalah mengubah mental warganya agar tak kembali turun ke jalan untuk mengemis. “Membangun mental lebih baik ketimbang infrastruktur. Tapi membangun mental tidak langsung selesai. Kami terus berupaya mengenai hal itu,” katanya.

Berkat pariwisata yang bergeliat, kini warganya yang mengemis semakin turun jumlahnya. Dari 14 banjar dinas dengan 5.900 KK, kini hanya sekitar puluhan saja yang masih mengemis. Itupun pelan-pelan mulai meninggalkan dan beralih ke pariwisata yang tengah berkembang di desanya.

“Tahun 2017, jumlah warganya yang mengemis tersisa 100 orang yang masih mengemis. Sekarang sudah terus menurun, paling hanya puluhan bahkan belasan orang saja,” katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya