Rekomendasi Anti-Diskriminasi dari Setara Institute untuk Ridwan Kamil

Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengungkapkan bahwa saat ini belum ada lembaga yang memperkuat efektivitas Peraturan Gubernur (Pergub) No. 21 Tahun 2018.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 24 Jul 2019, 17:00 WIB
Diterbitkan 24 Jul 2019, 17:00 WIB
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengungkapkan bahwa saat ini belum ada lembaga yang memperkuat efektivitas Peraturan Gubernur (Pergub) No. 21 Tahun 2018 Tentang Peraturan Pelaksanaan Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah Provinsi Jawa Barat.

Menurut Ismail, pihaknya ingin mendorong pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan membentuk perangkat yang melembaga sehingga secara konsisten dan terus menerus melakukan pemantauan, mendiskusikan, dan mencarikan jalan keluar atas potensi munculnya peristiwa dan kebijakan intoleran dan diskriminatif di Jawa Barat.

Pelembagaan partisipasi yang dimaksud ialah dengan membentuk Local Law Center atau Pusat Hukum Daerah. Lembaga tersebut nantinya sebagai organ ad hoc atau permanen di tingkat provinsi yang bisa dibentuk dengan menggunakan pergub sebagai tindak lanjut dari Pergub Nomor 21 Tahun 2018.

Menurut Ismail, ada beberapa perubahan yang terjadi di Jawa Barat sejak era kepemimpinan Ridwan Kamil. Hadirnya kelompok kerja kerukunan umat beragama, Gerakan Welas Asih dan juga sejumlah langkah dari pemerintah kabupaten kota yang sudah positif melatari dibentuknya lembaga Pusat Hukum Daerah.

"Saya kira dorongan ini melengkapi inisiatif-inisiatif yang sudah mulai muncul di kepemimpinan Pak Ridwan Kamil. Adanya perubahan tadi menjadi pembeda dari kepemimpinan sebelumnya untuk terus menerus menurunkan "prestasi" Jabar sebagai kota intoleran. Saya kira itu harus diakhiri dan kita harus bergerak mendorong munculnya kebijakan-kebijakan toleran di Jawa Barat," kata Ismail di Bandung, Selasa (23/7/2019).

Dalam kesempatan itu, Ismail memaparkan sejumlah temuan terbaru Setara Institute. Lembaga swadaya masyarakat yang melakukan penelitian dan advokasi tentang demokrasi, kebebasan politik dan hak asasi manusia melakukan penelitian tentang dampak produk hukum daerah diskriminatif terhadap akses pelayanan publik di Jawa Barat.

Penelitian yang dilakukan sejak September 2018-Februari 2019 ini mengkaji 91 produk hukum daerah di Jawa Barat. Kajian hukum ini dilengkapi dengan wawancara terstruktur pada kelompok-kelompok minoritas dan terkena dampak untuk memperoleh informasi tentang contoh-contoh dan pengalaman spesifik diskriminasi pelayanan publik di masing-masing provinsi.

Padahal, lanjut Ismail, pelayanan publik adalah hak semua warga negara. Oleh karena itu ia berharap Gubernur Ridwan Kamil bisa memprakarsai terbentuknya lembaga Pusat Hukum Daerah sebagai tindak lanjut dari Pergub Nomor 21 Tahun 2018.

"Karena itu saya kira Kang Emil bisa memprakarsai evaluasi terhadap 91 produk hukum daerah yang dinilai diskriminatif ini. Apa dasar hukumnya? Biro hukum provinsi oleh Undang-Undang diberikan kewenangan untuk melakukan evaluasi dan pengkajian, jadi saya kira bisa dimulai langkah-langkah baik ini," ujar Ismail.

 

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini

Dampak Peraturan Hukum Daerah Terhadap Pelayanan Publik

Rumah Ibadah Berdampingan
Vihara Karuna Mukti di Jalan Pasundan berdampingan dengan Masjid As Salam di Jalan Sasak Gantung, Kota Bandung. Sebanyak dua wilayah RW di Kelurahan Balonggede menjadi Kampung Toleransi. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Riset Setara juga mencatat 91 produk hukum daerah yang berpotensi diskriminatif di Jawa Barat, baik produk di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat dengan beragam jenis. Yaitu Peraturan Gubernur sebanyak 1 buah, Peraturan Daerah Provinsi (1), Perda Kab/Kota (37), Surat Edaran (18), Perbup/Perwal (9), SKB (8), SK Bupati/Walikota (6), Imbauan/Instruksi Bupati (9), dan Keputusan Walikota (2). Dari 91 produk hukum tersebut 5 di antaranya di Kota Tasikmalaya, 3 di Kota Bogor, dan 10 di Cianjur.

"Diskriminasi itu terdapat di sektor administrasi dan jasa seperti jasa penggunaan ruang, jasa tempat ibadah. Dari studi yang kita lakukan dampaknya nyata, misalnya ada sebagian orang yang tidak bisa menjalankan ibadah haji karena keyakinan yang berbeda, ada orang yang tidak punya KTP dan lain-lain," katanya.

Lebih jauh Ismail mengungkapkan, peraturan hukum di daerah, jika dilihat muatan kontennya lekat dengan isu-isu keagamaan. Pihaknya ingin memfokuskan isu tersebut pada pelayanan publik.

"Karena itu kami tidak mau terjebak pada soal isu ini, dalam riset kami ingin melihat ada tidak dampaknya pada pelayanan publik. Karena pelayanan publik itu harus diberikan ke warga negara tanpa syarat," ujarnya.

Adapun dasar hukum pembentukan lembaga Pusat Hukum Daerah sangat kuat dan berdasar. Di level nasional sudah ada UU Pemerintahan Daerah, lalu diperkuat UU No 12 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada pemerintah provinsi untuk mengevaluasi rancangan produk hukum kabupaten/kota.

Ismail menyebutkan, lembaga Pusat Hukum Daerah harus ada agar memperkuat efektivitas Biro Hukum di pemerintahan provinsi.

"Karena Biro Hukum itu tidak mungkin mampu secara teknis apalagi dengan SDM terbatas dia harus memeriksa 27 aturan kota/kabupaten. Ini jelas pekerjaan yang tidak ringan. Makanya kita dorong badan ini yang nantinya berisi kalangan perguruan tinggi, kanwil kumham, LSM termasuk kelompok potensial yang kena dampak," katanya.

Selain itu, lembaga ini jika dibentuk nantinya tidak perlu menambah anggaran negara.

"Lembaga ini tidak perlu biaya karena kegiatannya rapat, pakai biaya biro hukum bisa. Minggu lalu ke biro hukum dan kesbangpol dan posibilitynya sudah ada," ujar Ismail.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya