Monsun Australia Jadi Kambing Hitam Musim Hujan Rasa Kemarau di Yogyakarta

Stasiun Klimatologi (Staklim) Mlati Yogyakarta meralat penyebab musim hujan rasa kemarau yang terjadi di daerah ini.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 18 Jan 2020, 19:30 WIB
Diterbitkan 18 Jan 2020, 19:30 WIB
Hujan Deras di Yogyakarta
Membuka 2020, BMKG DIY memprediksi Yogyakarta akan diguyur hujan deras selama seminggu. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta Sudah dua hari terakhir ini Yogyakarta sama sekali tidak diguyur hujan, padahal Januari sudah masuk musim hujan. Semula Stasiun Klimatologi (Staklim) Mlati Yogyakarta mengungkapkan kondisi ini karena pengaruh hembusan Monsun Australia atau Angin Timuran yang mencapai Jawa dan Sulawesi.

Angin yang bersifat kering inilah yang membuat cuaca menjadi cerah dan panas. Informasi itu kemudian diralat oleh Staklim Mlati Yogyakarta.

Berdasarkan pengamatan cuaca pada 17 dan 18 Januari 2020, pantauan citra satelit Himawari memperlihatkan tidak ada awan hampir di seluruh Jawa. Analisis angin di Jawa menunjukkan pola menyebar atau divergen yang membuat potensi pembentukan awan sangat kecil.

Tidak terbentuknya awan mengakibatkan cuaca cerah dan radiasi matahari ke bumi lebih besar, sehingga suhu udara pun semakin lebih panas.

“Jadi bukan karena Monsun Australia musim hujan di Yogyakarta seperti kemarau, kami minta maaf atas informasi sebelumnya,” ujar ujar Reni Kraningtyas, Kepala Stasiun Klimatologi Mlati Yogyakarta, Sabtu (18/1/2020).

Ia mengakui hal ini termasuk anomali atau gangguan cuaca. Kondisi ini diperkirakan berlangsung sampai 21 Januari mendatang di Yogyakarta, bukan lima sampai tujuh hari seperti yang diberitakan sebelumnya.

“Kondisi ini akan normal lagi seperti hari-hari sebelumnya saat musim hujan,” ucapnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya