Ritual Anak Putu Banokeling Banyumas Tangkal 'Upas' Corona Covid-19

Wabah Corona Covid-19 dalam khazanah komunitas Banokeling disebut sebagai upas alias racun

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 27 Mar 2020, 03:01 WIB
Diterbitkan 27 Mar 2020, 03:01 WIB
Juru Kunci Panembahan Banokeling, Kiai Kartasari. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Juru Kunci Panembahan Banokeling, Kiai Kartasari. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banyumas - Anak putu Banokeling, Banyumas, Jawa Tengah sebentar lagi menggelar Punggahan, yakni tradisi adat menjelang Ramadan. Biasanya, ribuan anak putu yang tersebar di penjuru tanah air melakukan berbagai ritual adat.

Punggahan telah dilakukan ratusan tahun, turun temurun. Belasan ribu orang bergabung dalam tradisi kejawen ini.

Tetapi, tahun ini tampaknya akan berbeda. Ritual Punggahan tidak akan dihadiri ribuan orang. Para tetua komunitas adat Banokeling memutuskan untuk membatasi peserta lantaran wabah Corona Covid-19.

“Ini pertama kalinya dibatasi. Jadi yang ikut nanti anak putu yang berada di Desa Pekuncen saja,” ucap Sumitro, Juru Bicara Komunitas Adat Banokeling, Kamis (26/3/2020), saat ditelepon.

Sumitro mengatakan langkah itu dilakukan sesuai dengan anjuran pemerintah untuk membatasi kegiatan yang bisa menyebabkan berkumpulnya banyak orang dalam masa darurat Corona Covid-19. Peserta akan dibatasi hanya anak putu atau keturunan Desa Pekuncen.

“Yang luar desa, yang dari Cilacap, Kroya, semuanya tidak boleh,” dia menjelaskan.

Keputusan pembatasan peserta punggahan merupakan hasil musyawarah adat pada Rabu (25/3/2020) malam. Anak putu di luar Desa Pekuncen yang diperbolehkan ikut dalam punggahan adalah kiai kunci.

"Bisa dipertimbangkan satu atau dua orang saja," ucapnya.

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Covid-19 dalam Khazanah Komunitas Banokeling

Ribuan penganut Islam Kejawen dan penghayat kepercayaan melakukan ‘laku lampah’ atau berjalan kaki puluhan kilometer dalam ritual Punggahan menjelang Ramadan ke Panembahan Banokeling, Jatilawang, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ribuan penganut Islam Kejawen dan penghayat kepercayaan melakukan ‘laku lampah’ atau berjalan kaki puluhan kilometer dalam ritual Punggahan menjelang Ramadan ke Panembahan Banokeling, Jatilawang, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Laku jalan kaki dari sejumlah wilayah Cilacap ke Desa Pekuncen yang jadi tradisi Banokeling juga ditiadakan. Sedang anak putu yang merantau di luar kota dilarang untuk pulang menghadiri punggahan.

“Yang dari Jakarta, perantauan, di larang pulang. Tidak usah ikut,” dia menegaskan.

Menurut dia, pembatasan jumlah peserta ini sangat penting. Pasalnya, punggahan Ramadan di Panembahan Banokeling selalu diikuti oleh ribuan orang dari berbagai wilayah Indonesia.

“Sekarang semuanya dilarang. Lebih baik berdoa dari rumah saja,” ucapnya.

Dia mengemukakan, komunitas adat Banokeling sangat mendukung upaya pemerintah mengatasi wabah Covid-19. Di antaranya dengan meniadakan acara yang diikuti ribuan orang.

Wabah Corona Covid-19 dalam khazanah komunitas Banokeling disebut sebagai upas alias racun. Dalam sistem pengetahuan turun temurun di Banokeling, virus Corona Covid-19 yang telah menjadi wabah merupakan bentuk lain dari upas.

Upas dalam pengertian masyarakat adat Banokeling yakni wabah atau juga racun dalam pengertian bahasa Banyumas. Wabah dipercaya terjadi karena ulah manusia merusak bumi atau lingkungan.

Menangkal upas, masyarakat adat banokeling melakukan pendekatan religius dengan semedi atau bertapa. Semedi ini dilakukan dengen menyepi di areal makam Banokeling oleh enam kesepuhan yang merupakan pimpinan spiritual adat yakni Kyai Kunci dan para Bedogol.

 

Semedi dan Imbauan Social Distancing

Ritual Punggahan komunitas Kejawen dan penghayat kepercayaan menjelang Ramadan di Panembahan Banokeling, Pekuncen, Jatilawang, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ritual Punggahan komunitas Kejawen dan penghayat kepercayaan menjelang Ramadan di Panembahan Banokeling, Pekuncen, Jatilawang, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Semedi dilakukan sebagai penyuwunan atau permintaan pada sang pencipta untuk segera menghentikan wabah. Semedi, bagi Sumitro juga merupakan upaya memperkuat daya tahan tubuh secara spiritual.

Doa-doa yang dipanjatkan pun tak terbatas kepada diri dan anggota keluarga atau kelompoknya. Doa ditujukan untuk seluruh bangsa Indonesia.

Upas niku panase pitung panungkul (berhawa panas tujuh kali lipat). Semedi untuk adang-adangan (penghadang) upas,” kata Sumitro.

Virus atau upas yang telah mewabah begitu luasnya, memang semestinya dilawan dengan semedi menyepikan diri. Mendekatkan diri pada sang Pencipta untuk mengevaluasi segala perilaku yang membuat alam jadi marah.

Menurut Sumitro, wabah Covid-19 ini, masyarakat juga diimbau untuk tidak kerap berkumpul dan berkerumun. Tetapi, pekerjaan tetap dilakukan.

Anak putu Banokeling tetap ke ladang atau sawah. Sebab, ladang dan sawah adalah sumber penghidupan yang mesti dirawat.

Akan tetapi, sepulang bekerja, lebih baik warga menyepi. Dan itu adalah bagian dari social distancing yang dianjurkan pemerintah.

“Di rumah saja baiknya selama wabah ini belum pergi. Lakukan semedi,” dia menjelaskan.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya