Liputan6.com, Jayapura - Pemerintah Provinsi Papua menerapkan pembatasan perlintasan manusia untuk mencegah penyebaran corona COVID-19 di tanah Papua hingga 6 Mei 2020.
Untuk mendukung aturan pemerintah ini, situs Megalitik Tutari yang berada di perbukitan di Kampung Doyo Lama, Kabupaten Jayapura juga ditutup sementara waktu. Akibatnya, situs yang biasa dikunjungi banyak orang, tiba-tiba sepi dan senyap tanpa aktivitas manusia di sekitarnya.
Situs yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Papua mulai ramai dikunjungi sejak Balai Arkeologi Papua beberapa kali menggelar kegiatan Rumah Peradaban di lokasi situs. Kegiatan terakhir yang dilakukan pada Rumah Peradaban adalah untuk generasi milenial akhir tahun lalu.
Advertisement
Baca Juga
Untuk menuju ke situs, banyak ditemui pohon kayu putih, batu-batu hitam dan rumput ilalang memenuhi lokasi ini. Ketiganya menghiasi kanan dan kiri jalan, mulai dari pintu masuk hingga lokasi situs tertinggi.
Walau begitu ada jalan yang telah dibangun untuk memudahkan pengunjung menyusuri setiap bagian situs. Pada beberapa lokasi situs juga disediakan pondok tempat istirahat. Beberapa pondok berada di ketinggian dengan pemandangan hamparan Danau Sentani.
Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto menyebutkan situs Megalitik Tutari menyimpan sejarah kebudayaan masyarakat di pinggir Danau Sentani pada masa prasejarah, tepatnya zaman neolitik akhir. Pada zaman itu manusia sudah mulai hidup bercocok tanam, berkelompok, menetap dan tinggal bersama di dalam kampung.
Sejarah kebudayaannnya terlihat dari peninggalan-peninggalan yang ada di Situs Megalitik Tutari. Situs itu diberi nama Tutari karena berada di Bukit Tutari. Konon lokasi itu ditempati suku Tutari.
Suku Tutari memperoleh makanan dengan berburu, menangkap ikan, beternak, dan bercocok tanam. Saat itu lokasi ini situs digunakan sebagai tempat penyembahan.
Musnahnya Suku Tutari
Suku Tutuari saat ini sudah musnah akibat perang suku. Masyarakat Doyo Lama yang saat ini berdiam di sekitar situs bukanlah keturunan suku Tutari. Mereka percaya bahwa sebagian suku Tutari telah menjelma jadi batu yang sekarang ada di situs ini.
"Masyarakat Doyo Lama percaya bahwa situs ini sakral dan hingga kini mitos tentang suku Tutari dan nenek moyang masyarakat Doyo Lama diceritakan secara turun temurun pada generasi muda. Peninggalan di situs ini antara lain batu lukis, batu bongkahan berbentuk arca, batu berbaris dan menhir (batu berdiri),” kata Hari.
Balai Arkeologi Papua mengelompokan peninggalan pada situs ini menjadi 6 yakni lokasi batu lukis yang ditemukan banyaknya motif lukisan bervariasi, diantaranya motif manusia, manusia setengah ikan, binatang, tumbuhan, dan benda-benda budaya seperti gelang, kapak batu serta motif geometris seperti lingkaran dan matahari. Semuanya adalah ekspresi pengetahuan manusia saat itu tentang alam sekitar.
Lalu ada batu bongkahan berbentuk arca, masing-masing berbentuk menyerupai kepala, leher dan badan. Disebut juga batu ondoafi dan berjumlah empat. Keempat batu tersebut dipercaya sebagai representasi empat panglima perang ondoafi Uii Marweri yang mengalahkan suku Tutari yaitu Ebe, Pangkatana, Wali dan Yapo.
Hal lainnya yang ditemui pada situs itu adalah batu yang membentuk dua barisan dengan orientasi memanjang antara barat laut dan timur daya. Letaknya ada diantara lokasi batu lukis dan batu berdiri. Barisan batu ini dipercaya sebagai jalan penghubung antara dunia manusia dan alam tempat roh nenek moyang bersemayam.
Sementara lokasi situs yang paling tinggi pada masa prasejarah, tempat yang paling tinggi dipercaya sebagai tempat yang paling sakral atau suci.
“Di sini terdapat 110 batu berdiri yang ditopang oleh batu-batu kecil. Batu-batu tersebut berbentuk lonjong dengan ukuran bervariasi. Batu-batu ini dipercaya sebagai tempat bersemayamnya roh nenek moyang,” kata Hari.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement