Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi, Mbah Tun Pertahankan Sawah Pusaka di Bumi Wali

Mbah Tun yang buta huruf dan buta hukum terancam kehilangan sawah akibat ulah penipu, di Demak, bumi wali.

oleh Liputan6dotcom diperbarui 21 Jul 2020, 15:30 WIB
Diterbitkan 21 Jul 2020, 15:30 WIB
Mbah Tun mempertahankan sawah pusaka
Tim kuasa hukum Mbah Tun memasang replika putusan MA sebagai bukti sawah tersebut milik nenek buta huruf itu. (foto: Liputan6.com/Kusfitriyah Marstyasih)

Liputan6.com, Semarang - Falsafah Jawa 'sadumuk bathuk sanyari bumi' menjelaskan konsep pertahanan atas serangan pihak luar yang berusaha mengusik hak dan harga diri. Jika hak dan harga diri diserang, meski hanya 'sentuhan di dahi pasangan atau merebut sejengkal tanah, niscaya perlawanan bakal dilakukan sampai penghabisan.

Semangat itu terwujud dalam perjuangan Sumiyatun atau biasa dipanggil Mbah Tun (68 tahun) yang terancam kehilangan sawahnya. Warga Desa Balerejo, Kecamatan Dempet, Kabupaten Demak yang buta huruf itu ditipu mafia tanah. Tanahnya dilelang dan akan dieksekusi.

Tanah Mbah Tun dilelang karena diagunkan ke sebuah bank dengan modus penipuan. Tersangka penipu Mbah Tun, Mustofa, saat ini berstatus buronan. Polres Demak sudah menetapkan Mustofa dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Kasus penipuan atas Mbah Tun yang berujung sengketa ini teregistrasi dalam perkara No 02/Pdt.Eks/2019.

Setelah berjuang 10 tahun, Mahkamah Agung sudah memenangkan Mbah Tun. Putusan Mahkamah Agung No. 139 K/Pdt/2015 menyatakan bahwa Mbah Tun pemilik sah atas sawah dengan luas ± 8.250 m² tersebut. Dalam putusan itu juga tegas disebutkan bahwa proses peralihan hak melalui jual beli cacat hukum.

“Hari ini sengaja kita pasang replika amar Putusan MA No. 139 K/Pdt/2015,” kata Sukarman, kuasa hukum Mbah Tun, Senin (20/7/2020).

Meski demikian, bayang-bayang eksekusi tanah masih menghantui. Mbah Tun belum bisa bernapas lega.

“Gugatan TUN yang dilakukan Mbah Tun dan Gugatan Pembatalan Lelang di Pengadilan Negeri Sedang berjalan persidangannya,” kata Misbakhul Munir, kuasa hukum Mbah Tun lainnya.

 

Muslihat Pakan Ternak

Mbah Tun
Tim kuasa hukum Mbah Tun yang terancam disita sawahnya akibat mafia tanah. (foto: Liputan6.com/erlinda puspita/edhie prayitno ige)

Mbah Tun yang buta huruf dan buta hukum itu jadi korban penipuan. Awalnya, dia didatangi tetangganya, seorang petugas kesehatan, sehingga status sosial di masyarakat cukup meyakinkan.

Mbah Tun dijanjikan mendapatkan bantuan pakan ternak. Sang petugas kesehatan bernama Mustofa itu juga meminjam sertifikat sawah Mbah Tun dan berjanji akan segera mengembalikan ke pemiliknya.

Mbah Tun tak curiga. Apalagi mereka bertetangga dengan baik. Sertifikat tanah dilepas oleh sang pemilik disaksikan anak dan menantunya. Sertifikat Hak Milik Nomor 11 atas nama Sumiyatun itu legalitas kepemilikan sawah luas 8.250 meter persegi.

Empat hari kemudian, Mustofa datang bersama dua staf notaris yang langsung menyodorkan berkas untuk dicap jempol Mbah Tun dan Suwardi suaminya. Meski kebingungan pasutri sepuh itu tetap menuruti.

"Niku pun suwi, sepuluh tahun. Pas bojo kula taksih urip. Sakniki pun ninggal (Itu sudah lama, sepuluh tahun. Pas suami saya masih hidup. Sekarang sudah meninggal)," kata Mbah Tun kepada Liputan6.com, Kamis (13/02/2020).

Ternyata cap jempol Mbah Tun adalah bukti bahwa ia memindahkan hak milik sawahnya. Sertifikat berpindah nama dan bahkan menjadi agunan di sebuah bank. Mbah Tun jadi korban mafia tanah.

 

Perjuangan 10 Tahun

Mbah Tun
Mbah Tun didampingi Karman Sastro, salah satu penasihat hukum yang mendampingi dan Endang menantunya. (foto: Liputan6.com/Erlinda Pustipa Wardani/Edhie Prayitno Ige)

Mbah Tun yang tidak merasa menjual sawah ataupun meminjam uang dengan agunan sertifikat sawah menjadi resah ketika tiba-tiba muncul surat pemberitahuan lelang dengan objek sawah warisan orangtuanya. Ternyata sawah ini sudah menjadi hak tanggungan di Bank Danamon.

"Kula kaget, langsung kados tiyang lumpuh atine mak pyar pyar. Kula boten nampi artane, boten nyade, boten ngampil arta ngangge sertifikat niku kok sanjange sawahe ajeng disita (Saya kaget, langsung merasa lumpuh. Hati saya bergetar pyar pyar. Saya tidak menerima uangnya. Tidak menjua, tidak meminjam uang dengan agunan sertifikat kok ada kabar sawah saya mau disita)," kata mbah Tun dengan suara bergetar.

Setelah peristiwa itu, Sumiyatun didampingi relawan hukum terus berupaya mencari keadilan. Sidang demi sidang dari Pengadilan Negeri Demak hingga Mahkamah Agung dijalani, meski suami sedang sakit keras hingga akhirnya meninggal dunia.

Didampingi Koalisi Advokat Peduli Demak, Mbah Tun mempertahankan sawahnya. Melalui 21 pengacara yang bersimpati, dilayangkan gugatan pembatalan proses lelang sawahnya. Saat itu eksekusi sawah tersebut akan dilakukan pada Kamis (19/03/2020).

Namun pada hari yang sama, Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang juga akan menggelar sidang gugatan Mbah Tun untuk pertama kalinya. Mbah Tun melakukan gugatan terhadap Badan Pertanahan Kabupaten Demak yang memproses peralihan hak atas tanah sawahnya.

Menurut Karman Sastro, salah satu kuasa hukumnya, gugatan yang diajukan ini ada dua. Pertama ke PTUN atas dasar penerbitan sertifikat oleh BPN Demak, dan kedua Gugatan Pembatalan Proses lelang oleh KPKNL.

Sidang perdana saat itu tak dihadiri tergugat, yakni Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), Bank Danamon, dan pemenang lelang. Sidang kemudian ditunda hingga 20 April 2020.

Mbah Tun mengaku menyesal karena untuk datang ke pengadilan ia harus mengumpulkan keberanian dan malamnya bahkan tak bisa tidur.

Sementara dalam sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) juga ditunda. Penundaan sidang karena majelis hakim meminta agar materi gugatan diperbaiki. Sidang akan digelar kembali pada 2 April 2020 nanti.

“Kami berharap sekali agar perkara ini bisa diselesaikan oleh pengadilan. Kita lihat apakah pengadilan mampu menjadi benteng terakhir Mbah Tun untuk mencari keadilan baginya,” kata Karman.

 

Trauma Orang Bersepatu

Sawah Mbah Tun
21 pengacara mengawal kasus perampasan sawah milik nenek renta buta huruf dengan melapor di Komisi Yudisial. (foto:Liputan6.com/erlinda pw/edhie prayitno ige)

Mbah Tun berharap keadilan akan berpihak kepadanya. Tubuh kurusnya menahan beban namun terlihat tetap tegak. Ia setia dengan perjuangannya, mendapatkan kembali sawahnya. Dia menyesal kenapa ia buta huruf sehingga mudah ditipu orang yang mengambil keuntungan dari kekurangannya.

"Kula teng pengadilan pun ping pinten-pinten. Mbah Kakung gerah kula tinggal teng griya. Mangkat esuk wangsul sampun surup. Ngaten terus dugi Mbah kakung seda (Saya sering datang ke pengadilan menghadiri persidangan. Mbah Kakung suaminya sakit parah terpaksa saya tinggalkan di rumah. Seperti itu terus hingga suami meninggal)," kata Mbah Tun.

Kejadian tahun 2010 itu menambah beban pikiran suami Mbah Tun. Pada 2013, suami Mbah Tun meninggal dunia. Tak mau berserah pada nasib dan menyusahkan orang lain, meski di usia senjanya hidup tanpa suami, Mbah Tun terus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

"Saya kerja jadi buruh tani di lahan warga juga. Gak pasti hasilnya," kata Mbah Tun.

Kasus sengketa yang berlarut-larut ini membuat Mbah Tun bingung dan takut bertemu orang. Kini ia tinggal bersama anak bungsunya. Mbah Tun tinggal di rumah kayu yang dindingnya berlubang.

Ia sering meminta mengungsi karena tak mau terlalu sering ditanyai mengenai kasusnya. Menurut Endang, menantunya, Mbah Tun sekarang trauma jika ada tamu bersepatu datang.

"Ndak betah di rumah. Pingin mengungsi, ketakutan. Kalau ada yang mendampingi begini baru mau menemui tamu, lebih lebih kalau tamunya orang asing bersepatu dan bermobil," kata Endang.

Mbah Tun sering sakit. Namun semangat tak surut. Sawah akan dipertahankan sampai penghabisan. Sawah warisan itu pegangannya di masa senja, dan untuk tinggalan anak cucunya.

(Kusfitria Marstyasih, Erlinda Puspita Wardhani, Sheyla Al-Kautsar)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya