Ridwan Kamil Pastikan Kenaikan UMP Jabar Tahun Depan

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memastikan akan menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 20 Nov 2021, 12:00 WIB
Diterbitkan 20 Nov 2021, 12:00 WIB
Ridwan Kamil
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memastikan akan menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022. Keputusan ini diambil untuk mengikuti keputusan dari pemerintah pusat sekaligus memberi keadilan bagi buruh dan pengusaha.

Penetapan UMP 2022 ini berdasarkan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dan turunannya PP 36/ 2021 tentang Pengupahan. Bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh agar upahnya tidak dibayar terlalu rendah akibat posisi tawar mereka yang lemah dalam pasar kerja. 

Menurut Emil, sapaan Ridwan Kamil, kebijakan UMP ini merupakan salah satu program strategis nasional yang ditujukan sebagai salah satu instrumen pengentasan kemiskinan serta serta mendorong kemajuan ekonomi Indonesia melalui pengupahan yang adil dan berdaya saing.

"Jadi, kesimpulannya kalau ditanya apakah untuk tahun depan UMP akan naik? Iya kesimpulannya naik," katanya di Gedung Pakuan, Kota Bandung, Kamis (18/11/2021).

Emil juga mengingatkan, penetapan UMP ini hanya untuk pekerja/buruh yang umur kerjanya satu tahun. Adapun bagi pekerja/buruh dengan masa kerja di atas 1 tahun, maka pengupahan yang berlaku dengan menggunakan struktur dan skala upah. 

Maksudnya, pekerja bisa melakukan negosiasi dengan perusahaan secara langsung untuk penetapan upah jika masa kerjanya sudah lebih dari satu tahun. Sebagai salah satu contohnya adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Majalengka, di mana perusahaan dengan inisiatifnya menaikkan upah setelah bernegosiasi dengan para pekerjanya. 

"Kita juga mengingatkan bahwa upah minimum ini hanya untuk pekerja yang umurnya satu tahun dalam usia kerjanya. Sehingga kepada buruh yang di atas satu tahun usia kerjanya itu bisa mengajukan kenaikan yang tidak sama seperti di PP 36/2021 dengan bernegosiasi langsung di perusahaannya. Jadi bisa naiknya sesuai dengan kesepakatan," ujar mantan Wali Kota Bandung itu.

"Ambil contoh di Majalengka ada perusahaan yang menaikkan atas inisiatif sendiri setelah bernegosiasi dengan buruh yang berbeda dengan UMP. Itulah ruang negosiasi sehingga perusahaan-perusahaan bisa menegosiasikan," ujar Emil menambahkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini


Tuntut Kenaikan Upah Minimum 10 Persen

KASBI
Ratusan buruh yang tergabung dalam Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menyerukan sepuluh tuntutan rakyat (sepultura) dalam rangka memperingati ulang tahun World Federation of Trade Unions (WFTU) di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Kamis (14/10/2021). (Foto: Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Sebelumnya, serikat buruh di Jawa Barat (Jabar) sepakat untuk melakukan mogok daerah dan nasional apabila tuntutan upah minimum tahun 2022 sebesar 10% tidak dikabulkan pemerintah. Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK SPSI) Roy Jinto mengatakan, aksi mogok kerja akan dilakukan di Jabar pada awal Desember 2021.

"Mogok akan kita lakukan sebelum penetapan upah minimum tahun 2022 dan di bulan Desember 2021, apabila Mahkamah Konstitusi (MK) tidak membatalkan UU Cipta Kerja yang menurut kami bertentangan dengan UUD 1945 dan UU 12 Tahun 2011," tutur Roy melalui keterangan tertulis, Rabu (17/11/2021).

Roy mengatakan, buruh menuntut pemerintah untuk menetapkan upah minimum tahun 2022 tidak menggunakan formula perhitungan Peraturan Pemerintah (PP) 36 No 2021 tentang pengupahan dengan alasan UU Cipta Kerja yang statusnya masih diuji secara formal dan materiel di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Dan kita sedang menunggu jadwal sidang pembacaan putusan, karena PP 36/2021 merupakan aturan turunan UU Cipta Kerja dan Uu-nya sedang diuji. Sehingga pemerintah harus menghormati proses hukum di MK dengan menunda pelaksanaan UU Cipta Kerja, termasuk peraturan turunannya sampai adanya putusan MK baik secara formil dan materil," katanya.

Roy menuturkan, penetapan upah minimum berdasarkan PP 36/2021 telah menghilangkan hak buruh melalui dewan pengupahan untuk berunding karena semua data-data sudah diputuskan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Sehingga, fungsi dewan pengupahan hanya melegitimasi dan mengamini saja.

Padahal, menurut Roy, langkah tersebut telah bertentangan dengan Konvensi ILO 98 tentang hak berunding bersama dan juga Keputusan Presiden (Kepres) 107/2004 tentang dewan pengupahan. Dalam PP 36/2021, mensyaratkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi kab/kota dalam tiga tahun terakhir. Sedangkan, tidak semua kab/kota menghitung dan merilis pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan tersebut.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya