Menengok Praktik ‘Jangka Benah’ Atasi Ketelanjuran Sawit di Kawasan Perhutanan Sosial

Praktik jangkah benah dengan sistem agroforesty dan silvopastura menjadi solusi mengatasi keterlanjuran sawit di kawasan perhutanan sosial.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 03 Apr 2022, 09:26 WIB
Diterbitkan 03 Apr 2022, 08:00 WIB
KTH Padukuhan Mandiri
Supradillah, Ketua KTH Padukuhan Mandiri, menunjukan jengkol yang ditanam di kebun sawitnya di kawasan perhutanan sosial. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Liputan6.com, Jambi - Aneka bibit tanaman kayu keras dan tanaman hutan bukan kayu berjejer di hadapan belasan petani Desa Suo-suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi. Dalam persamuhan pagi itu, belasan petani yang tergabung dalam anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Padukuhan Mandiri, meriung di bawah tenda sebelum acara penanaman bersama di Hutan Tanaman Rakyat (HTR).

Para petani yang tergabung di KTH Padukuhan Mandiri itu mendapatkan izin pengelolaan perhutanan sosial melalui skema HTR. Mereka belajar dan mendapat pengetahuan bagaimana mengembangkan wanatani atau agroforesty dan silvopastura, sistem jangkah benah untuk membenahi keterlanjuran sawit di kawasan hutan perhutanan sosial.

Bibit tanaman kayu dan tanaman hutan bukan kayu, di antaranya seperti sengon, pinang, cengkeh, dan durian akan ditanam dalam acara penanaman bersama di HTR di Desa Suo-suo. Pengkayaan tanaman di kawasan HTR ini dalam rangka pengendalian keterlanjuran tanaman sawit dan mencegah ekspansi perusahaan HTI di areal perhutanan sosial.

HTR yang dikelola anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Padukuhan Mandiri adalah salah satu perhutanan sosial yang mengalami keterlanjuran sawit. Sistem agroforesty dan silvopastura pun dilakukan secara swadaya oleh petani. Hal ini mereka lakukan untuk mengatasi keterlanjuran tanaman kelapa sawit.

“Potensi di area HTR ini awalnya didominasi sawit, jadi untuk mengatasi keterlanjuran tanaman sawit ini kita fasilitasi masyarakat supaya dapat mengelola kawasan mereka dengan baik,” kata Wakil Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Adi Junedi di Desa Suo-suo, beberapa waktu lalu.

KTH Padukuhan Mandiri secara resmi mengelola perhutanan sosial seluas 85 hektare. Izin tersebut diberikan pada tahun 2018 melalui SK. 3929/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/6/2018. Kawasan perhutanan sosial ini masuk zona  penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT).

Sebagai kilas balik, KTH Padukuhan Mandiri mulanya tidak mengetahui kalau lahan yang mereka tanami sawit adalah kawasan hutan. Peraturan mengenai tanaman sawit tersebut baru mereka ketahui seiring dengan izin perhutanan sosial melalui skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang dikeluarkan Kementerian LHK.

“Kami kebingungan, meskipun kegiatan kami mengelola hutan sudah dilegalkan tetapi tanaman tanamannya (sawit) justru menyalahi aturan,” kata Supradillah, Ketua KTH Padukuhan Mandiri.

Meski mengalami keterlanjuran tanaman sawit, HTR yang dikelola oleh Supradillah beserta belasan anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Padukuhan Mandiri akhirnya mendapat titik temu. Pemerintah menerapkan strategi jangka benah. Strategi ini menjadi upaya untuk memperbaiki struktur dan fungsi ekosistem hutan yang telah rusak akibat tanaman kelapa sawit.

Aturan terkait jangka benah ini tertuang dalam Pasal 117 Peraturan Menteri LHK Nomor 09 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. Pemegang izin perhutanan sosial dengan keterlanjuran tanaman sawit tidak boleh melakukan peremajaan sawit dalam masa jangkah benah. Tanaman sawit hanya diberi kesempatan satu daur ulang selama 25 tahun. Kemudian pemegang izin dilarang menanam tanaman sawit baru.

Dari sinilah KTH Padukuhan Mandiri yang disokong pembinaan KKI Warsi menerapkan stratgei jangka benah. Para petani menerapkan praktik jangka benah dengan sistem agroforsty untuk mengubah monokultur sawit menjadi polikultur.

Dengan diberikannya izin Perhutanan Sosial sehingga KTH Padukuhan Mandiri diwajibkan untuk menerapkan jangka benah (agroforestry). Penanaman tanaman kehutanan sedikitnya 100 batang per hektare.

Inisiatif dan kesadaran komitmen pengelola perhutaan sosial melakukan praktik jangka benah ini mucul tidak serta merta. Irad--sapaan Supradillah menjelaskan, ketika masifnya penanaman sawit di Desa Suo Suo banyak hal yang berubah dari kehidupan mereka.

Dahulu mereka bisa panen durian yang berlimpah dari kebunnya. Namun, ketika sawit menjadi primadona, buah durian menjadi barang langka. Berangkat akan kondisi ini, KTH Padukuhan Mandiri berkomitmen untuk melakukan pengkayaan tanaman kehutanan di area kebun sawitnya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Saksikan Video Pilihan Ini:

Tidak Hanya Andalkan Satu Komoditas

KTH Padukuhan Mandiri
Anggota KTH Padukuhan Mandiri Desa Suo-suo saat menanam sengon di kebun kawasan perhutanan sosial yang mengalami keterlanjuran sawit. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Supradilah (43) bungah. Di bawah pohon jengkol di antara tanaman sawit itu tatapannya menengadah.Tak lama lagi, kata dia, biji jengkol yang bergantungan di pohon itu siap dipanennya.

“Ini (jengkol) satu setengah bulan lagi bisa dipanen,” kata Supradilah kepada Liputan6.com di kebun sawit miliknya di Desa Suo Suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi.

Di kebun sawit seluas satu hektare miliknya itu, tak hanya ada tanaman jengkol. Hanya sepeleparan batu dari Irad berdiri, tiga batang duren juga telah tumbuh dan akan berbuah saat musimnya tiba. Dia juga menanam sengon dan tanaman kehutanan lainnya di kebun sawitnya itu.

Menurut Irad--sapaan Supradillah, anggota kelompok taninya tak boleh hanya mengandalkan sawit sebagai satu komoditas saja. Saat ini sawit memang sedang menjadi primadona karena harganya yang tinggi.

Namun kata dia, suatu saat ini saat harga sawit anjlok akan berdampak pada ekonomi keluarga. Sebab itu kata dia, harus ada komoditi sampingan yang bisa diandalkan jika suatu sata ini harga sawit anjlok.

“Kalau harga sawit turun, kami jadi bisa andalkan komoditi lain yang harganya lebih tinggi,” kata Irad seraya menambahkan mereka kini sadar tidak mungkin terus bergantung dengan satu komoditi.

Sementara itu, menurut Adi Junedi, tanaman kelapa sawit menurut bagai dua mata sisi yang berbeda. Satu sisi komoditas ini berkontribusi terhadap ekonomi dan berkontribusi terhadap kerusakan ekologi karena menyebabkan deforestasi di tanaman di kawasan hutan.

“Jadi jangkah benah ini menjadi solusi yang bisa mempertemukan ekologi dan ekonomi, secara perlahan masyarakat bisa memeperbaiki kawasna hutan yang rusak,” kata Adi Junedi.

Adi berharap, praktik jangkah benah ini bisa diterapkan oleh masyarakat lainnya yang mengalami keterlanjuran tanaman sawit di kawasan perhutanan sosial. Praktik swadaya yang dilakukan KTH Padukuhan Mandiri bisa menjadi contoh baik bagi masyarakat pengelola perhutanan sosial dengan persoalan serupa.

“Kita bisa belajar dari kelompok ini (KTH Padukuhan Mandiri),” kata Adi Junedi.

Menurut Adi, perhutanan sosial hadir untuk pemberdayaan sosial dan upaya pengentasan kemiskinan. Namun ketika izin perhutanan sosial dikeluarkan tidak semata bisa menyelesaikan persoalan kemiskinan tersebut.

“Persoalan yang timbul kemudian bisa dicari solusi seperti keterlanjuran sawit dengan penerapan jangka benah,” ucap Adi.

Upaya kemandirian masyarakat untuk keluar dari jerat kemiskinan harus mendapat dukungan dari semua pihak melalui pemberdayaan. Sehingga masyarakat di pedesaan kelak bisa mengelola perhutanan sosial secara mandiri.

“Dan yang paling penting bagaimana kita bisa mencegah ekspansi atau perluasan perusahaan HTI di kawasan perhutanan sosial,” kata Adi.

 

Cegah Ekpansti HTI di Areal Perhutanan Sosial

KTH Padukuhan Mandiri
Anggota KTH Padukuhan Mandiri Desa Suo-suo. (Liputan6.com/dok KKI Warsi)

Sistem agroforesty dan silvopastura dalam rangka jangka benah ini, selain untuk memperbaiki kawasan hutan, juga dapat mencegah monokulturisasi ekspansi akasia dan eukaliptus oleh perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Inisiatif penerapan jangka benah ini tidak terlepas dari upaya masyarakat secara mandiri.  Inisiasi menerapkan praktik ini muncul di tengah gencaranya tawaran mitra dari perusahaan HTI untuk ekspansi.

Upaya melakukan praktik jangka kata Supradillah, pernah pernah diuji dengan tawaran bermitra dari perusahaan HTI. Menurut dia, kelompoknya pernah ditawari oleh perusahaan HTI dengan tanaman monokultur lainnya seperti akasia dan eukaliptus untuk bermitra.

Dalam tawaran kerja sama tersebut, perusahaan menyatakan sanggup membiayai segala kebutuhan pendanaannya. Namun tawaran tersebut oleh KTH Padukuhan Mandiri ditolak mentah-mentah.

“Kami menatap dengan optimis, perhutanan sosial ini kalau dijalankan secara bersama-sama bisa menjadi solusi bagi kesejahteraan kami, yang tujuannya utamanya untuk hutan lestari dan masyarakat sejahtera,” ujar Supradillah.

Ekspansi perusahaan HTI di area perhutanan sosial harus bisa dicegah sedini mungkin. Dari luasan 105 ribu hekatre di wilayah kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Tebo Timur Unit X menyebutkan, terdapat tiga konsesi raksasa. Kondisi ini bisa saja korporasi memanfaatkan strategi kemitraan kepada masyarakat untuk mengelola perhutanan sosial. 

Heri Nurhadi, Kasi Perencanaan Hutan pada KPHP Tebo Timur menegaskan, masyarakat harus dapat mengelola perhutanan sosial secara baik. Perhutanan sosial menurut Heri, diberikan bukan untuk perusahaan, tetapi untuk dikelola masyarakat. 

“(Perhutanan sosial) bukan untuk perusahaan dan sebagainya. Tapi masyarakat itulah yang bisa mengelola hutan tersebut secara mandiri,” kata Heri Nurhadi.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya