5 Ritual Besar Suku Dayak di Kalimantan Tengah

Bagi masyarakat setempat, tradisi berupa upacara ritual Suku Dayak umumnya dibagi menjadi dua, yaitu ritus kehidupan dan kematian.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 11 Jan 2023, 05:00 WIB
Diterbitkan 11 Jan 2023, 05:00 WIB
dayak
Mandau dan perisai menjadi pemandangan dan perlengkapan harian suku Dayak ketika menempuh perjalanan. (foto: Liputan6.com / FB / edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Palangka Raya - Suku Dayak di Kalimantan Tengah memiliki ragam tradisi. Suku Dayak umumnya terbagi atas berbagai sub suku, di antaranya Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Ma'anyan, Dayak Lawangan, Dayak Taboyan, Dayak Siang, dan lainnya.

Masing-masing suku tersebut juga memiliki keunikan ritual tersendiri. Bagi masyarakat setempat, tradisi berupa upacara ritual Suku Dayak umumnya dibagi menjadi dua, yaitu ritus kehidupan dan kematian.

Dari semua upacara ritual tersebut, lima di antaranya disebut sebagai ritual besar yang melibatkan banyak orang dan dana. Apa saja?

1. Tiwah

Tiwah merupakan upacara ritual kematian tingkat akhir masyarakat Suku Dayak, khususnya Dayak Pedalaman penganut agama Kaharingan. Agama Kaharingan merupakan agama leluhur masyarakat Dayak.

Upacara tiwah merupakan upacara kematian yang digelar untuk seseorang yang telah meninggal dan dikubur cukup lama dan hanya menyisakan tulang. Ritual ini bertujuan untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah menuju Lewu Tatau yang dalam bahasa Sangiang berarti surga.

Dengan ritual Dayak ini, diharapkan roh bisa tentram dan damai di alam Sang Kuasa. Selain itu, ritual ini juga bertujuan untuk melepas rutas atau kesialan bagi keluarga yang ditinggalkan. Tiwah juga berujuan untuk melepas ikatan status janda atau duda bagi pasangan yang telah berkeluarga.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Pakanan Sahur Lewu

2. Pakanan Sahur Lewu

Upacara pakanan sahur lewu merupakan upacara memberi persembahan sebagai penghormatan kepada para leluhur yang menjaga kampung. Upacara ini bertujuan untuk melindungi desa atau kampung dari mara bahaya, sehingga bisa hidup dalam keamanan.

Nama 'pakanan' berarti memberikan persembahan berupa sesajen kepada para leluhur atau orang-orang suci. Sementara itu, 'sahur' diartikan sebagai leluhur atau dewa yang dipercaya menjaga kehidupan manusia, memberikan kesehatan, keselamatan, perdamaian, berkah dan anugerah bagi yang mempercayai-Nya.

Adapun 'lewu' berarti kampung atau desa tempat bermukimnya suatu penduduk pada suatu wilayah. Melalui ritual ini, diharapkan masyarakat dapat hidup tentram, rukun, damai, dan mendapatkan rezeki berlimpah.

Upacara ini umumnya dilakukan sekali dalam setahun setelah panen. Jika disesuaikan dengan kalender Dayak, upacara ini bertepatan dengan tahun baru kalender Dayak, yakni sekitar bulan Mei dalam hitungan Kalender Masehi.

3. Nahunan

Nahunan merupakan ritual memandikan bayi secara ritual menurut kebiasaan Suku Dayak. Tujuan ritual ini adalah sebagai prosesi pemberian nama sekaligus pembaptisan menurut agama Kaharingan.

Upacara nahunan berasal dari kata 'nahun' yang berarti tahun. Dengan demikian, ritual ini umumnya digelar untuk bayi yang telah berusia satu tahun atau lebih. Selain sebagai sarana pemberian nama, nahunan juga dimaksudkan sebagai upacara membayar jasa bagi bidan yang membantu proses persalinan.

 

Manyanggar

4. Manyanggar

Istilah 'manyanggar' berasal dari kata 'sangga' yang berarti batasan atau rambu-rambu. Upacara manyanggar kemudian diartikan sebagai ritual untuk membuat batas-batas berbagai aspek kehidupan dengan makhluk gaib yang tidak terlihat.

Masyarakat setempat percaya dunia ini tak hanya dihuni manusia, tetapi juga makhluk halus. Dengan membuat rambu-rambu dengan roh halus, diharapkan keduanya tidak saling mengganggu alam dan kehidupan masing-masing.

Selain itu, ritual ini juga dimaksudkan sebagai ungkapan penghormatan terhadap batasan kehidupan makluk lain. Ritual ini biasanya digelar saat manusia ingin membuka lahan baru untuk pertanian atau tempat tinggal.

5. Pakanan Batu

Pakanan batu adalah ritual tradisional yang digelar setelah panen ladang atau sawah. Ritual ini bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada peralatan yang dipakai saat bercocok tanam.

Peralatan-peralatan tersebut merupakan alat yang digunakan, mulai dari membersihkan lahan hingga menuai hasil panen. Adapun benda atau barang yang dituakan dalam ritual ini adalah batu.

Batu dianggap sebagai sumber energi yang dapat menajamkan alat-alat yang digunakan untuk becocok tanam. Pasalnya, benda tersebut memang berguna untuk mengasah parang, balayung, kapak, ani-ani, atau benda dari besi lainnya.

Selain memberikan kelancaran pekerjaan, bagi para pemakai peralatan bercocok tanam dan berladang, batu juga dianggap telah memberikan perlindungan bagi si pengguna peralatan. Mereka berterima kasih karena selama bercocok tanam tak mengalami luka atau musibah.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya