Liputan6.com, Sukabumi - Riwayat Penghulu KH Ahmad Djoewaeni, Kepenghuluan atau disebut juga pengadilan agama di Indonesia terutama di Jawa secara jelas mengacu pada Staatsblad tahun 1882 nomor 152.
Dimana diatur komposisi pengadilan agama yang terdiri dari seorang penghulu sebagai ketua dan 3 sampai 8 orang sebagai anggota. Tugasnya menetapkan perkara yang harus diputuskan menurut hukum Islam seperti perihal perkawinan, pembagian warisan dan lain sebagainya, penghululah sebagai pemutusnya.
Baca Juga
"Peraturan ini dikuatkan dengan Staatsblad tahun 1882 No.152. Sukabumi sendiri baru muncul ketentuan tentang penghulu sejak dibentuknya afdeling Sukabumi tahun 1870," kata pengamat sejarah Sukabumi, sekaligus Ketua Yayasan Dapuran Kihapare, Irman Sufi Firmansyah, Sabtu (28/1/2023).
Advertisement
Penghulu pertama ditunjuk 2 tahun kemudian, diangkatlah R H Husein bin R H Hamzah yang merupakan ayah dari R H Ahmad Djoewaeni sebagai penghulu Sukabumi.
Irman menuturkan, Djoewaeni lebih terfokus mengurusi talak, kawin, cerai serta pengurusan imam, muadzin, dan merbot di masjid-masjid. Persyaratan calon penghulu baru muncul sekitar tahun 1894 dimana sang calon harus menyertakan biodata.
Saat muda, Djoewaeni berguru ke Makkah dan Madinah selama beberapa tahun. R H Ahmad Djoewaini yang lahir pada tanggal 23 Juli 1876, sebagai anak keempat dari Ibu bernama Ny. R. Aisyah.
"Saudara-saudara beliau yang lain yaitu R. Moh Uwoh, Ny. R. Salamah, R. Habibah, R.H Abu Bakar, R.H Haris, R.H. Sulaeman, R.H Abdullah, Ny. R. Sahriah, R.H Hasbullah, dan R. Abdul Halim," tutur dia.
Pria kelahiran Bogor itu sempat menjabat khalifah di distrik Gunung Parang sejak Juli 1900, lalu diangkat sebagai wakil penghulu landraad.
Kemudian baru diangkat sebagai penghulu secara resmi oleh Pemerintah Hindia Belanda pada usia 36 tahun yaitu pada tanggal 11 November 1912 dengan didampingi oleh ajun Penghulu R H Ahmad Soedjoeri. Pelantikan dilaksanakan pada tanggal 3 april 1913.
"Beliau sangat aktif dalam dunia Pendidikan, pada tahun 1915 beliau mendirikan lembaga pendidikan Islam formal yang pertama Bernama Ahmadiah School Soekaboemi, yang dibangun di atas tanah miliknya seluas 2.700 meter persegi," ujarnya.
Imam Masjid Agung Sukabumi
Pada masa memiliki jabatan tersebut Djoewaeni tentunya sangat terhormat dan cukup kaya, konon gajinya sekitar 75 gulden. Seorang bernama GF Pijper melukiskan dia sebagai seseorang yang pandai dan beradab, serta memiliki kecenderungan meniru kehidupan bangsa Eropa dengan sangat hati-hati.
Tahun 1960 Djoewaeni mengadakan pertemuan dengan para tokoh Sukabumi dan Batavia dalam rangka pembentukan komite Tangguh Hindia Belanda untuk kelayakan masyarakat.
Staatsblad nomor 119, tahun 1917 yang berisi ketetapan bahwa penghulu landraad menjabat selain sebagai penghulu juga sebagai imam masjid sehingga otomatis RH Ahmad Djoewaeni menjabat juga sebagai imam masjid Agung.
Tugasnya mengepalai seluruh pegawai masjid Agung serta mengatur ihwal peribadatan, mengimami sholat, menjadi khatib, mengurus kas masjid dan lainnya. "Secara umum tugas beliau pun sangat luas tidak seperti penghulu sebelumnya. Selain sebagai qadhi atau hakim yang mengurusi nikah, talak, cerai rujuk, juga sebagai mufti yang menjadi penasihat pengadilan umum serta bupati," jelas dia.
Tugas lainnya juga melakukan penyuluhan soal penyakit dan mengawasi pesantren. Irman menyebut, tugas itu agak riskan karena seringkali berurusan dengan pendapat ulama lain.
"Maka tak heran terjadi friksi antara KH Ahmad Djoewaeni dan ulama lain, misalnya soal pengaturan uang zakat serta transliterasi Al Quran ke latin," terang dia.
Kendati begitu, lanjut dia, Djoewaeni mampu menyelesaikan direksi tersebut dengan bijak dengan melakukan diskusi. Yakni mempertemukan ulama pakauman yaitu KH Uyek Abdullah dengan KH Ahmad Sanoesi dalam sebuah majlis pada bulan maret tahun 1921.
"Saat pengangkatan Bupati pertama Sukabumi yaitu Soerianatabrata bulan Juli 1921, beliau menjelaskan sejarah Sukabumi hingga menjadi kabupaten secara Panjang lebar, menandakan pengetahuan sejarahnya yang luas," ucap Irman.
Tak hanya itu, pada masanya Djoewaeni juga bercerita dalam Bahasa sunda tentang sejarah sejak tahun 1871 sebagai pemekaran wilayah. Kemudian perubahan Cikole menjadi Gunungparang tahun 1841 serta mengucapkan selamat atas nama masyarakat.
"Beliau juga kerap diminta bantuan sebagai saksi ahli dalam kasus pengadilan seperti kasus bapak Adna dan Haji Padil tentang perampokan pada agustus 1921," tuturnya.
Tahun 1928 Djoewaeni diangkat sebagai hoofd panghoeloe dan setahun kemudian mendapatkan penghargaan bintang perak besar atas kesetiaan dan prestasinya.
R H Achmad Djoewaeni sempat menuntut ilmu ke Madinah, Mekkah, Mesir, dan Palestina sekaligus beribadah selama 10 bulan (1929-1930) memanfaatkan fasilitas cuti asing.
Djoewaeni lalu meninggal pada 25 Mei 1940 beberapa bulan sebelum masuknya Jepang ke Hindia Belanda. Dia meninggal sesudah pensiun beberapa bulan sebelumnya dari jabatan Penghulu selama 28 tahun.
"Kondisinya sakit-sakitan, namun hingga akhir hayat beliau dikenal sebagai ulama yang punya pengetahuan agama yang luas, kebijakan dan kemanusiaan. Dr GF Pijper menyebutnya sebagai orang sunda dengan roh dan budaya yang baik, selain abdi pemerintah yang setia," imbuhnya memungkas.