Liputan6.com, Yogyakarta - Lontong Cap Go Meh merupakan sajian khas yang selalu hadir di meja perayaan hari ke-15 Konyan atau Imlek. Hal ini berkaitan dengan keberadaan peranakan Tionghoa yang telah lama bermukim di Indonesia.
Hal tersebut pun sangat mempengaruhi selera masakan Indonesia. Menurut beberapa sumber, lontong Cap Go Meh adalah adaptasi tang yuan Suku Tionghoa Indonesia dengan masakan lokal Indonesia.
Para pendatang Tionghoa pertama kali bermukim di kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa, seperti Semarang, Pekalongan, Lasem, dan Surabaya. Hal ini berlangsung sejak zaman Majapahit.
Advertisement
Baca Juga
Untuk merayakan Imlek, saat Cap Go Meh, kaum peranakan Jawa mengganti hidangan yuan xiao (bola-bola tepung beras) dengan lontong. Lontong tersebut kemudian disertai berbagai hidangan tradisional Jawa yang kaya rasa, seperti opor ayam dan sambal goreng.
Hidangan lontong Cap Go Meh juga merupakan lambang asimilasi atau semangat pembauran antara kaum pendatang Tionghoa dengan penduduk pribumi di Jawa. Lontong Cap Go Meh dipercaya mengandung perlambangan keberuntungan.
Lontong yang padat dianggap berlawanan dengan bubur yang encer. Hal tersebut berkaitan dengan anggapan tradisional Tionghoa yang mengatakan bubur sebagai makanan orang miskin atau orang sakit. Oleh karena itu, masyarakat Tionghoa menganggap bubur sebagai hidangan yang dilarang disajikan dan dikonsumsi saat Imlek dan Cap Go Meh.
Bentuk lontong yang panjang juga dianggap melambangkan panjang umur. Sementara itu, telur dalam kebudayaan apapun selalu melambangkan keberuntungan, sedangkan kuah santan yang dibubuhi kunyit berwarna kuning keemasan, melambangkan emas dan keberuntungan.
Banyaknya makna baik pada lontong Cap Go Meh menjadikan sajian ini wajib ada saat perayaan Cap Go Meh. Tak hanya lezat, sajian ini juga menambah rasa kebersamaan, terutama jika dinikmati bersama keluarga.
(Resla Akanita Chak)