Liputan6.com, Jambi - Hutan Lindung Gambut (HLG) Sungai Buluh di Tanjung Jabung Timur--kabupaten paling timur di Provinsi Jambi itu dikenal sebagai satu-satunya hutan lindung gambut dengan kerapatan tutupan pohon yang masih baik. Hutan rawa gambut itu telah menopang kelestarian keanekaragaman hayati.
HLG yang memiliki luas 17.476 hektare itu memiliki kedalaman gambut yang bervariasi mulai dari 1-6 meter. Beragam satwa dan tanaman khas hutan gambut masih sering ditemui di kawasan itu. Hutan gambut itu digadang-gadang menjadi menyimpan cadangan karbon yang tinggi dan memiliki fungsi untuk pencegahan perubahan iklim.
Tak hanya itu, keberadaan hutan tersebut menjadi penunjang perekonomian bagi masyarakat desa yang berada di sekitarnya. Di lansekap HLG Sungai Buluh terdapat tiga desa yang memiliki persetujuan perhutanan sosial, yaitu Hutan Desa Pematang Rahim dengan luas 1.185 hektare, Hutan Desa Sinar Wajo dengan luas 5.500 hektare, dan Hutan Desa Sungai Beras dengan luas 2.200 hektare.
Advertisement
Namun di tengah kondisi tutupan hutan serta tegakan kayu yang masih rapat, HLG Sungai Buluh kini menghadapi banyak tekanan kuat. Keadaan hutan pun rawan terhadap illegal logging, perambahan, hingga kebakaran hutan.
Dan dengan keterbatasannya, masyarakat tiga desa; Pematang Rahim, Sinar Wajo, dan Sungai Beras--pemegang izin perhutanan sosial dengan skema hutan desa masih berjibaku dan jatuh bangun menjaga hutan di lanskap hutan lindung gambut tersebut agar tetap lestari. Berikut kisah mereka:
Dari awal persamuhan malam itu, Burhanudin tak banyak bicara. Tapi sekali ia diberi kesempatan, nada bicaranya diselimuti sisa-sisa kemasygulan. Duduk bersila di dekat pintu, Burhanudin menceritakan kondisi Hutan Lindung Gambung (HLG) Sungai Buluh di Desa Pematang Rahim, Kecamatan Mendahara Hulu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi
“Saya sedih melihat hutan gambut di desa kami ini dirambah oleh kelompok orang yang tidak bertanggung jawab,” ucap pria berkaca mata itu di rumah Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Pematang Rahim, Selasa malam (13/6/2023).
“Bagus kalau bapak sedih, artinya masih ada kepedulian. Sekarang mari sama-sama kita pikirkan bagaimana hutan gambut yang tersisa ini tetap terjaga,” kata Agus Sumarli dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi menimpali apa yang dikatakan Burhanudin.
Burhanudin adalah anggota Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Pematang Rahim--sebuah lembaga yang diberi mandat perhutanan sosial melalui skema hutan desa. Dia mengutarakan tantangan sebenarnya yang mereka hadapi saat mengelola hutan gambut satu-satunya yang masih tersisa itu.
Baca Juga
Apa yang dikatakan Burhanudin bukan omong kosong. Dan saya pun menyaksikan sendiri pada Selasa sorenya. Hanya sepelemparan batu dari jalan koridor yang berdebu itu, pepohonan di hutan lindung gambut yang berbatasan langsung dengan desa, masih jelas bekas tebangan pohon yang belum sempat digarap perambah.
Tak jauh dari lokasi di mana saya berdiri, menurut seorang warga desa, oknum perambah tak hanya menebang pohon, tetapi telah membuka kanal untuk kebun.
LPHD Desa Pematang Rahim itu tak bisa berbuat banyak ketika menghadapi perambah. Yang bisa mereka lakukan hanya mengingatkan bahwa hutan tersebut milik negara yang mesti dijaga bersama.
Tapi semua itu dianggap angin lalu oleh perambah. Sepetak demi sepetak hutan tersebut digarap. Dan kini menurut warga, luas kaplingan yang dirambah itu mencapai 38 hektare. Kaplingan dan bekas tebangan pohon yang digarap itu berada tak jauh dari desa.
“Kalau kami menghadapi warga (perambah) tidak mungkin, pasti terjadi konflik adu domba,” kata Ketua LPHD Desa Pematang Rahim, Suryani.
“Kami sudah melaporkan kepada pihak berwenang, tapi belum ada tindak lanjutnya,” sambung Suryani.
Pak Sur--begitu Suryani disapa, menceritakan awal mula mereka menerima mandat mengelola hutan gambut tersebut. Pada 26 Oktober 2017 kata dia, warga Pematang Rahim mendapat izin mengelola Perhutanan Sosial dengan skema hutan desa dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pengelolaan hutan desa tersebut meliputi; pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan. Masanyarakat sangat dilarang memanfaatkan menebang pohon, apalagi membuka kebun.
Surat izin pengelolaan dan merawat hutan gambut tersebut diserahkan langsung Presiden Joko Widodo 17 Desember 2018. Dalam surat keputusan yang dikeluarkan pemerintah, Suryani bilang, warga Desa Pematang Rahim mendapat hak kelola seluas 1.185 hektare--bagian dari HLG Sungai Buluh yang luasnya mencapai 17.721 hektare.
Usai mendapat izin tersebut, warga yang tergabung lembaga pengelola berjibaku merawat hutan desa. Mereka acap kali berpatroli memantau kondisi hutan desa. Mereka membangun semangat agar hutan gambut yang ada di wilayah mereka dapat dilestarikan.
Namun tak dinyana saat puncak gelombang pandemi Covid-19 mewabah, segala aktivitas termasuk patroli rutin di lapangan mandek. Anggaran patroli untuk tim LPHD yang dikeluarkan pemerintah desa pun mandek karena dialihkan untuk penanganan pandemi.
Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh perambah untuk membuka kebun di hutan gambut tersebut. Bahkan di desa tersebut sempat santer isu yang menuding lembaga pengelola hutan desa itu melakukan pembiaran.
“Kami yang memegang SK Perhutanan Sosial ini sempat disalahkan. Kami diberi kewajiban menjaga, tapi tidak dikasih wewenang. Kalau kami dikasih wewenang untuk mengamankan perambah jadinya adu domba. Jadi seharusnya ada pihak ketiga aparat yang berwenang membantu kami,” ujar Suryani.
Meski tengah mengahadapi berbagai persoalan, dan kini pandemi telah berakhir, mereka membangun semangat kembali dan berharap ada dukungan dari pemerintah daerah setempat untuk bersama-sama mencari solusi agar hutan lindung gambut di desa mereka tetap terjaga.
“Bagaimanapun kami harus menjaganya. Kalau masyarakat sejahtera, maka tidak akan ada lagi yang terpancing masuk (merambah) hutan lindung,” katanya.
Sementara itu, Kepala Desa Pematang Rahim M Dong mengatakan bahwa pemerintah desanya mendukung aktivitas perhutanan sosial yang ada di desa mereka. Dia meminta warganya untuk sama-sama turut menjaga dan memanfaatkan hutan tersebut secara arif, tanpa merusak.
Untuk mencegah perambahan hutan, pihak pemerintah desa kata M Dong, telah menyurati Dinas Kehutanan Provinsi Jambi tentang persoalan tersebut. “Kami sudah surati dua kali dinas kehutanan, untuk memperjelas tapal batas. Tapi sampai sekarang belum juga permohonan kami ditindaklanjuti mereka,” ujar M Dong.
Simak Video Pilihan Ini:
Dari Karhutla Sampai Ilegal Logging
Ketua Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Sinar Wajo, Kecamatan Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, Yunus mengakui, kebakaran hutan dan lahan di HLG Sungai Buluh masih rawan. Dia ingat jelas akan peristiwa kebakaran hutan pada 2019 silam. Yunus kala itu bersama anggota berjibaku memadamkan api.
Dengan alat yang minim, mereka terus memadamkan api agar tak merembet membakar hutan lindung gambut itu. Lahan gambut yang kering karena kemarau menjadi sulit dipadamkan, belum lagi kanal di sekitar hutan turut mengering, sehingga menyulitkan pemadaman.
Diduga, pemicu kebakaran hutan dan lahan kala itu terjadi karena ulah masyarakat yang sengaja membakar untuk membuka perkebunan. Sebagai hutan yang masih baik, keberadaan kayu di HLG Sungai Buluh rawan terhadap perambahan dan penebangan kayu.
MPA di desa itu kata dia, dibentuk oleh pemerintah desa untuk mencegah kebakaran. Saat ini kelompok tersebut mengakui kurang mendapat dukungan dari pemerintah dan peralatan yang mereka gunakan masih minim.
Mereka berharap ada perhatian untuk MPA, terlebih tahun ini mereka telah mendengar kabar akan terjadi musim kemarau el nino, sehingga potensi kebakaran masih tinggi. “Kami cuma memiliki dua alat mesin pompa air untuk memadamkan api,” kata Yunus.
Yunus berharap ada tambahan alat pemadam. Untuk mengamankan hutan desa yang begitu luas menurutnya, tak cukup kalau hanya menggunakan alat yang minim. “Kadang juga kami terkendala untuk operasional patroli,” ucap Yunus.
Lain desa, lain pula persoalannya. Di Desa Sungai Beras, tetangga Desa Sinar Wajo yang juga masuk bagian lanskap HLG Sungai Buluh di sana aktivitas ilegal di hutan lindung tersebut masih rawan.
Di tempat saya berdiri di ujung desa yang berbatasan dengan hutan itu, raungan mesin penebang pohon (cinsaw) terdengar jelas dari dalam hutan. Abdul Hamid selaku Bendara LPHD Sungai Beras tak menampik aktivitas penebangan kayu itu berada di dalam hutan lindung. Sebab di dalam hutan itu masih terdapat tegakan kayu besar jenis; punak, meranti, kempas, rengas dan pohon endemik gambut lainnya.
“Tuh ada bunyi (suara cinsaw), mungkin dia nebang butuh kayu untuk keperluan dialah. Itu yang membunyikan cinsaw risiko dialah, ” kata Hamid.
Hamid dan anggota lembaganya tidak bisa berbuat banyak. Mereka telah melaporkan aktivitas penebangan kayu itu ke pihak berwenang seperti Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Tanjab Timur Unit XIV yang merupakan unit teknis di bawah kendali Dinas Kehutanan Provinsi Jambi.
“Kewenangan kami hanya bisa melaporkan dan mengingatkan agar masyarakat kita tidak melakukan itu (ilegal logging). Sudah sering kami laporkan. Kemarin itu sudah saya laporkan ke Dinas Kehutanan. Tapi petugasnya tidak turun sampai ke lapangan. Cuma dimobil,” ujar Hamid.
Sementara itu, Kepala KPH Tanjab Timur XIV melalui Kepala Seksi Perlindungan Hutan Edi Suprapto mengaklaim, pihaknya sudah sering menggelar patroli terpadu bersama masyarakat pemegang izin hutan desa di lanskap HLG Sungai Buluh.
“Menjaga hutan itu jadi tanggung jawab bersama, termasuk LPHD selaku pemegang izin karena di SK Menteri LHK, mereka (pemegang izin) bertanggung jawab mengamankan arealnya dari kerusakan,” kata Edi.
Edi mengatakan pada 2020 silam, pihaknya bersama Polisi Kehutanan (Polhut) Dinas Kehutanan (Dishut) menangkap 10 orang yang diduga melakukan aktivitas ilegal logging di kawasan HLG Sungai Buluh di Desa Sungai Beras, Kecamatan Mendahara Ulu, Tanjung Jabung Timur.
Dalam penangkapan itu, pihaknya mengamankan barang bukti kayu bintangur berdiameter 20cm, 2 unit mesin pemotong kayu, satu bilah kapak dan satu bilah parang.
“Penangkapan ini kami minta backup Dishut Provinsi Jambi. Dari 10 yang kita tangkap itu mengerucut jadi 3 tersangka, sudah disidang dan kalau tidak salah 2 tahun vonis,” ucap Edi.
Advertisement
Dibutuhkan Kolaborasi
Pengelolaan dan perlindungan Hutan Lindung Gambut (HLG) Sungai Buluh satu-satunya hutan lindung gambut yang masih utuh di Provinsi Jambi, penting dan mendesak dilakukan. Koordinator Program KKI Warsi Ade Chandra mengatakan, sangat penting dilakukan upaya bersama atau kolaborasi semua pihak untuk perlindungan HLG Sungai Buluh.
Sementara itu untuk mengendalikan ancaman pada kawasan hutan lindung gambut ini, KKI Warsi pada 2021 telah berinisiatif membentuk forum kolaborasi semua pihak, baik itu pemerintah, swasta serta lembaga swadaya masyarakat untuk turut serta membantu masyarakat mengelola lanskap HLG Sungai Buluh.
“HLG Sungai Buluh ini merupakan satu-satunya hutan lindung gambut yang memiliki tutupan hutan yang masih baik,” katan Ade.
KKI Warsi--lembaga nirlaba yang fokus pada isu konservasi intens mendampingi masyarakat di tiga desa itu dari awal memperoleh izin perhutanan sosial hingga sekarang. Ade berharap masyarakat desa bisa mengelola hutan setelah pemerintah memberikan akses.
KKI Warsi terus mendorong supaya masyarakat juga bisa mengelola hutan secara bijak dan lestari karena tak sedikit masyarakat banyak yang bergantung kepada hutan.
“Kita tingkatkan ekonomi masyarakat. Muaranya masyarakat sejahtera, dan hutan lestari terjaga,” ujar Ade.
Meski lanskap HLG Sungai Buluh tengah mengahadapi tekanan, masyarakat dari tiga tersebut masih komitmen untuk menjaga hutan negara tersebut. Suryani bilang, dia dan lembaga LPHD yang dibentuk bersama masyarakat tak punya kepentingan apapun terhadap hutan lindung yang ada di desanya itu.
“Kepentingan kami hanya satu, hutan terjaga untuk masa depan anak cucu. Jangan sampai nanti hutan hanya tinggal cerita, tidak ada bentuknya lagi,” ujar Suryani.